Minggu, 03 Juni 2012

Menimbang Keadilan dan kesetaraan Gender


Oleh Rira Nurmaida*

Sepintas kedua kata itu (kesetaraan dan keadilan) terdengar merdu di telinga. Secara alamiah, manusia berkecenderungan untuk menuntut diperlakukan sama dan tidak dibeda-bedakan dengan yang lainnya. Hal itulah yang menjadi persepsi kesetaraan baginya. Sementara tidak adil adalah kedzaliman, kesewenang-wenangan, kejahatan, bahkan penghinaan terhadap kemanusiaan.

Kedua kata itu kemudian disandingkan dengan kata gender. Gender yang sering dipahami sebagai bentukan budaya atas peran dan posisi yang layak atau tidak layak, pantas atau tidak pantas, serta baik atau tidak baik terkait dengan perbedaan jenis kelamin (seks). Sehingga dalam konteks demikian keseteraan gender berarti menuntut terdapatnya perlakuan dan sikap yang sama dii antara dua jenis seks yang berbeda, yakni laki-laki dan perempuan serta mewujudkan keadilan yang diharapkan oleh keduanya. Pertanyaannya, siapakah yang berhak menentukan parameter keadilan itu sendiri?.

Manusia, dengan berbagai potensi yang melekat pada dirinya mempersepsi dunia dengan keunikannya tersendiri. Penuh dengan subyektivitas yang terbangun di atas akumulasi pengetahuan serta pengalamannya di dalam kehidupan. Ketika dia berhadapan dengan berbagai hal pada kehidupannya sehari-hari sikapnya begitu beragam. Kita belum berbicara terkait keinginan atau sikap banyak orang. Tapi bicara tentang sikap satu orang saja, sudah nampak tingkat relativitas persepsinya. Hari ini suka, besok bisa benci. Apa yang ia sukai ia pandang sebagai kebaikan, sementara apa yang dibencinya dipandang sebagai keburukan. Begitu pula apapun yang mendatangkan banyak manfaat dia anggap itu kebaikan, namun ketika itu mendatangkan kemadharatan maka dikatakannya sebagai hal yang buruk. Dengan begitu standarnya tentang keadilan sekalipun dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang tertentu.

Dengan demikian, standar yang ditetapkan sebagai keadilan tidak akan pernah selesai dirumuskan bersama atas dasar kesepakatan manusia sehingga dapat tercipta keadilan bagi seluruhnya. Dalam dunia industri, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya oleh pengusaha dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi dari aspek upah buruh. Hal itu baik bagi majikan karena memberi keuntungan berlebih, tapi buruk bagi buruh karena mereka mendapatkan upah yang tidak semestinya. Majikan merasa bahwa hal itu adil karena dia telah menanam modal yang sedemikian besar dari segi aset perusahaan dll. Sementara buruh sekedar menyewakan jasanya. Tapi kembali lagi dalam sudut pandang buruh, hal tersebut tidak adil.

Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa adil tidaknya sesuatu bukan semata-mata hal yang lahir secara otomatis dari peristiwa. Yakni, majikan membayar uang sejumlah tertentu pada buruh, itu belum dapat dinilai adil atau tidak. Tapi penilaian adil atau tidak itu ditentukan oleh unsur eksternal yaitu penilaian kedua belah pihak.  Hal ini berlaku sebagaimana penentuan standar baik-buruk pada umumnya. Berbohong tidak dikatakan buruk semata-mata karena sifat buruk melekat dalam aktivitas berbohong itu. Akan tetapi kita harus selalu dapat melihat konteksnya. Kebohongan seorang pedagang pada pembelinya adalah hal yang buruk, tapi membohongi musuh di medan perang adalah siasat yang harus ditempuh.

Adapun terkait dengan kesetaraan dan keadilan gender yang diusung oleh kaum feminis dan liberal, maka yang mereka ajukan itupun berdasarkan standar atau pandangan yang tertentu terhadap kehidupan. Sekalipun mereka mengklaim bahwasanya keadilan yang mereka agung-agungkan itu merupakan tuntutan dasar kemanusiaan atau merupakan hak asasi manusia, tapi yang jelas hal itu hadir atas pandangan mereka yang meletakkan liberalisme individualisme sebagai asasnya. Kesetaraan dan keadilan gender tidak semata-mata dipandang baik karena secara intrinsik mengandung kebaikan. Tapi dianggap baik karena berdasar pada asumsi-asumsi liberal yang berupaya melepaskan diri dari aturan-aturan hidup yang digariskan agama: perempuan dan laki-laki berhak atas porsi waris yang sama; sama-sama punya potensi kepemimpinan yang sama dalam hidup berkeluarga maupun aspek kehidupan lainnya, dsb. Padahal keadilan yang hakiki hanyalah apa-apa yang telah digariskan oleh Allah sebagai zat yang paling mengetahui hakikat manusia dan paling mengetahui apa-apa yang baik baginya.

Dalam membangun argumentasinya, pengusung KKG tidak lagi memandang baik dan buruk , adil dan tidak adil berdasarkan kesesuaiannya dengan tuntunan dan larangan Allah, tetapi hawa nafsu saja. Maka mereka berani menggugat sejumlah hukum yang sudah diatur jelas dalam Islam seperti hukum terkait nafkah, izin bagi wanita untuk keluar rumah, kepemimpinan dalam rumah tangga, kebolehan perempuan untuk bekerja, hak waris bagi perempuan, kesaksian perempuan di pengadilan, dll.

Justru mereka "tidak adil" dalam menggaungkan konsep KKG ini. Mereka berpijak dari realitas yang rusak ketika Islam tidak diterapkan dan perempuan menjadi menderita namun yang mereka kambinghitamkan sebagai penyebab adalah hukum-hukum Islam itu sendiri. Maka teranglah tujuan mereka sesungguhnya bukan semata-mata membela perempuan akan tetapi berusaha menyudutkan dan memberi pelabelan negatif pada Islam (dengan istilah yang mereka gunakan: "fundamentalisme agama", "absolutisme budaya, dll) sehingga kaum muslim semakin jauh dari agamanya. Setelah berbagai institusi Islam hancur, mulai dari negara hingga berbagai tatanan masyarakat, kini benteng terakhir  berupa keluarga pun hendak mereka goyahkan dengan menghembuskan isu-isu semacam ini yang hendak diperkuat posisinya melalui instrument hukum dan dipaksakan implementasinya oleh negara.

*penulis adalah  Sekretaris Redaksi thisisgender








Tidak ada komentar:

Posting Komentar