Diriwayatkan
bahwa seorang laki-laki mendatangi Umar ibn al-Khattab r.a, hendak
mengadukan akhlak isterinya. Sesampainya di sana, dia berdiri menunggu
di depan pintu. Tiba-tiba dia mendengar isteri Umar sedang ngomel-ngomel
memarahi beliau. Umar pun hanya terdiam, tidak membalas omelan
isterinya.
Lelaki itu pun pulang dan berkata pada dirinya: "Jika saja seorang Amirul Mukminin seperti ini, lalu bagaimana dengan diriku?" Tidak lama berselang, Umar keluar dan melihat lelaki itu sedang meninggalkan rumahnya, lalu memanggilnya: "Apa keperluanmu?!" Dia menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, saya datang bermaksud untuk mengadukan akhlak isteriku yang suka memarahiku kepadamu. Lalu aku mendengar isterimu tengah memarahimu. Maka aku berkata pada diriku sendiri: "Jika Amirul Mukminin saja sabar menghadapi omelan isterinya, lalu kenapa saya harus mengeluh?" Maka Umar berkata: "Wahai saudaraku, sesungguhnya saya bersabar, karena memang isteriku mempunyai hak atasku. Dialah yang telah memasak makanan buatku, mencuci pakaianku dan menyusui anakku, padahal kesemuanya itu tidak diwajibkan atasnya. Di samping itu, dia telah mendamaikan hatiku untuk tidak terjerumus kedalam perbuatan yang diharamkan. Oleh karena itu, aku bersabar atas segala pengorbanannya". "Wahai Amirul Mukminin, isteriku pun demikian", kata lelaki tadi. Maka Umar pun menasehatinya: "Bersabarlah wahai saudaraku, karena omelan istrimu itu hanyalah sebentar".[1] Demikianlah kedudukan perempuan dalam Islam, sehingga sang khalifah pun memberikan suri tauladan yang baik dalam berinteraksi dengan mereka.
Lelaki itu pun pulang dan berkata pada dirinya: "Jika saja seorang Amirul Mukminin seperti ini, lalu bagaimana dengan diriku?" Tidak lama berselang, Umar keluar dan melihat lelaki itu sedang meninggalkan rumahnya, lalu memanggilnya: "Apa keperluanmu?!" Dia menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, saya datang bermaksud untuk mengadukan akhlak isteriku yang suka memarahiku kepadamu. Lalu aku mendengar isterimu tengah memarahimu. Maka aku berkata pada diriku sendiri: "Jika Amirul Mukminin saja sabar menghadapi omelan isterinya, lalu kenapa saya harus mengeluh?" Maka Umar berkata: "Wahai saudaraku, sesungguhnya saya bersabar, karena memang isteriku mempunyai hak atasku. Dialah yang telah memasak makanan buatku, mencuci pakaianku dan menyusui anakku, padahal kesemuanya itu tidak diwajibkan atasnya. Di samping itu, dia telah mendamaikan hatiku untuk tidak terjerumus kedalam perbuatan yang diharamkan. Oleh karena itu, aku bersabar atas segala pengorbanannya". "Wahai Amirul Mukminin, isteriku pun demikian", kata lelaki tadi. Maka Umar pun menasehatinya: "Bersabarlah wahai saudaraku, karena omelan istrimu itu hanyalah sebentar".[1] Demikianlah kedudukan perempuan dalam Islam, sehingga sang khalifah pun memberikan suri tauladan yang baik dalam berinteraksi dengan mereka.
Namun
ternyata tidak sedikit umat Islam yang tidak perduli dengan teladan
yang diberikan tokoh-tokoh terkemuka umat Islam dan justru terkesima
dengan paham-paham yang berasal dari Barat. Paham feminisme dan
kesetaraan gender misalnya, yang merupakan respon atas kondisi lokal
terkait dengan masalah politik, budaya, ekonomi dan sosial yang dihadapi
masyarakat Barat dalam menempatkan perempuan di ruang publik, justru
marak didengung-dengungkan di dunia Islam. Padahal umat Islam memiliki
tradisi, khazanah keilmuan dan latar belakang permasalahan yang berbeda
dengan Barat. Ini tentu tidak terlepas dari hegemoni Barat, yang memang
pada zaman ini menjadi sebuah kawasan yang sedang maju dalam bidang
teknologi, persenjataan dan pembangunan fisik-empirik lainnya, sehinga
mempengaruhi kawasan-kawasan yang belum maju. Hal ini sudah menjadi
sunnatullah bahwa pihak yang kalah akan meniru yang menang, sebagaimana
disindir oleh Ibnu Khaldun (1332-1406M) dalam pernyataannya: "Si
Pecundang akan selalu meniru pihak yang mengalahkannya, baik dalam
slogan, cara berpakaian, cara beragama, gaya hidup serta adat
istiadatnya".[2]
Derasnya
arus globalisasi budaya, menyebabkan gerakan feminisme di Barat
menyebar cepat ke seluruh pelosok dunia. Feminisme atau paham kesetaraan
gender semakin kuat pengaruhnya, terlebih setelah digelarnya Konferensi
PBB IV tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Di Indonesia, hasil
konferensi tersebut dilaksanakan oleh para feminis, baik melalui lembaga
pemerintah, seperti tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen
Pemberdayaan Perempuan, maupun melalui LSM-LSM yang kian menjamur. Di
ranah pendidikan tinggi, telah didirikan institusi-institusi Pusat Studi
Wanita (PSW/PSG). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dalam
www.mennegpp.go.id, melaporkan jumlah PSW hingga tahun 2005 telah
mencapai 132 di seluruh universitas di Indonesia. Feminisme pun
seolah-olah telah menjadi global theology dan semakin mengakar
pengaruhnya di Indonesia setelah masuk dalam 10 program PKK dan
diresmikannya UU Pemilu 2003 Pasal 65 Ayat 1 yang menyatakan batas
minimal keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR/DPRD dari setiap
partai adalah 30%.[3]
Di Indonesia, feminisme bak sebuah franchise
yang telah merasuk jauh kedalam lingkungan institusi-institusi
pendidikan tinggi. Kurikulum pendidikan, diktat-diktat perkuliahan,
beragam seminar dan pelatihan, serta tugas akhir akademis baik yang
berupa skripsi, tesis maupun disertasi disusun untuk mendukung paham
ini. Kuatnya pengaruh feminisme dalam pendidikan, di antaranya bisa
dilihat dari festival Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
VII di Pekanbaru, 21-24 Nopember 2007 yang diprakarsai oleh Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI dan UIN Sultan Syarif Kasim
Riau. Acara ini diikuti oleh utusan universitas-universitas Islam di
Indonesia. Banyak makalah tentang isu kesetaraan gender dibentangkan
untuk mengkaji ulang hukum Islam yang berkenaan dengan hak-hak
perempuan.[4]
Artikel
ini secara ringkas akan difokuskan pada pembahasan kesetaraan gender
dalam studi Islam, seperti metode mendudukkan al-Qur'an dalam kerangka
jender, beberapa contoh hasil penafsiran feminis terhadap ayat-ayat
al-Qur'an, serta diskripsi ringkas tentang perkembangan gerakan gender
di perguruan tinggi. Namun demikian, kajian ini tidak menyinggung
kasus-kasus yang bukan merupakan substansi paham kesetaraan gender,
seperti pelanggaran hukum dan kriminal terhadap perempuan, serta
pembelaan terhadap nasib buruh perempuan.
Definisi
Feminisme
adalah paham yang beragam, bersaing dan bahkan bertentangan dengan
teori-teori sosial, gerakan politik dan falsafah moral. Kebanyakan paham
ini dimotivasi dan difokuskan perhatiannya pada pengalaman perempuan,
khususnya dalam istilah-istilah ketidakadilan sosial, politik dan
ekonomi. Salah satu tipe utama dari feminisme secara institusional,
difokuskan pada pembatasan atau pemberantasan ketidakadilan gender untuk
mempromosikan berbagai hak, kepentingan dan isu-isu kaum perempuan
dalam masyarakat. Tipe lainnya yang berlawanan dengan feminisme modern,
-dengan akar sejarahnya yang mendalam-, memfokuskan pada pencapaian dan
penegakan hak keadilan oleh dan untuk perempuan, dengan dihadap-hadapkan
dengan laki-laki, untuk mempromosikan kesamaan hak, kepentingan dan
isu-isu menurut pertimbangan gender. Jadi, seperti halnya suatu
ideologi, gerakan politik atau filsafat manapun, tidak pernah didapati
bentuk feminis yang tunggal dan universal yang mewakili semua aktivis
feminis.
Dalam
menggemakan feminis anarkhis, seperti Emma Goldman, telah berasumsi
bahwa hirarkhi dalam bisnis, pemerintahan dan semua organisasi perlu
dirombak dengan desentralisasi ultra-demokrasi. Sebagian feminis lainnya
berpendapat bahwa pemimpin pusat (central leader) dalam
organisasi apapun berasal dari struktur kekeluargaan yang andosentrik.
Maka struktur seperti ini perlu dirombak. Oleh sebab itu, para sarjana
tersebut melihat bahwa esensi feminisme sebenarnya adalah isu seks dan
gender.
Para
aktivis politik feminis pada umumnya mengkampanyekan isu-isu seperti
hak reproduksi, (termasuk hak yang tidak terbatas untuk memilih aborsi,
menghapus undang-undang yang membatasi aborsi dan mendapatkan akses
kontrasepsi), kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan hal-hal yang
berkaitan dengan keibuan (maternity leave), kesetaraan gaji, pelecehan seksual (sexual harassment), pelecehan di jalan, diskriminasi dan kekerasan seksual (sexual violence). Isu-isu ini dikaji dalam sudut pandang feminisme, termasuk isu-isu patriarkhi dan penindasan.
Sekitar
tahun 1960an dan 1970an, kebanyakan dari feminisme dan teori feminis
telah disusun dan difokuskan pada permasalahan yang dihadapi oleh
wanita-wanita Barat, ras kulit putih dan kelas menengah. Kemudian
permasalahan-permasalahan tersebut diklaim sebagai persoalan universal
mewakili seluruh wanita. Sejak itu, banyak teori-teori feminis yang
menantang asumsi bahwa "perempuan" merupakan kelompok individu-individu
yang serba sama dengan kepentingan yang serupa. Para aktivis feminis
muncul dari beragam komunitas dan teori-teorinya mulai merambah kepada
lintas gender dengan berbagai identitas sosial lainnya, seperti ras dan
kelas (kasta). Banyak kalangan feminis saat ini berargumen bahwa
feminisme adalah gerakan yang muncul dari lapisan bawah yang berusaha
melampaui batasan-batasan yang didasarkan pada kelas sosial, ras, budaya
dan agama, yang secara kultural dikhususkan dan berbicara tentang
isu-isu yang relevan dengan wanita dalam sebuah masyarakat.[5]
Sedangkan pengertian paham kesetaraan jender --seperti yang dikutip Nasaruddin Umar dari Women's Studies Encyclopedia--, adalah "konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat".[6] Ada
beberapa definisi jender lainnya yang dia kutip, namun mempunyai
pengertian yang tidak jauh berbeda, yang pada intinya tidak terlepas
dari tiga kata kunci: laki-laki, perempuan dan kebudayaan.
Perkembangan Wacana Kesetaraan Gender dalam Studi Islam di Indonesia
Di
atas telah disinggung sekilas tentang usaha-usaha membumikan paham
kesetaraan gender di lingkungan pendidikan tinggi, seperti penyusunan
kurikulum, diktat perkuliahan, tugas akhir akademis baik yang berupa
skripsi, tesis maupun disertasi, serta penyelenggaraan seminar dan
pelatihan. Pada sub bab ini, penulis akan menguraikan sebagian kecil
contoh dari gerakan feminisasi pendidikan, khususnya dalam penerbitan
buku.
1) Pengantar Kajian Gender
yang ditulis oleh Tim Penulis Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Buku yang diterbitkan atas kerjasama dengan
McGill-ICIHEP ini merupakan kumpulan makalah yang menjadi bahan
pengajaran mata kuliah gender di tingkat universitas. Buku ini
menguraikan sejarah, konsep dan perkembangan fahaman feminisme, sejarah
pergerakan perempuan di Indonesia, metode penelitian berasaskan gender,
analisis gender, dan kajian gender dalam Islam.
2) Pengarusutamaan Gender dalam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
ditulis oleh Andayani, dkk., dan diterbitkan oleh Pusat Studi Wanita
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang bekerjasama dengan Mc.Gill IISEP.
Buku ini menguraikan panduan (guidance) untuk melaksanakan kaedah pengarusutamaan gender dalam strategi pembelajaran dan sistem manajemen di UIN Sunan Kalijaga.
3) Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender
ditulis oleh Aksin Wijaya. Buku ini asalnya merupakan tesis master di
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia menguraikan perlunya memandang
al-Qur’an secara terpisah, antara kedudukannya yang sakral-absolut di
satu sisi dan yang profan-fleksibel/relatif di sisi lain. Menurut Aksin
bahwa yang sakral dalam al-Qur'an hanyalah pesan Tuhan yang ada di
dalamnya, dan itu pun masih belum jelas, karena masih dalam tahap
pencarian. Oleh sebab itu tidak salah jika manusia bermain-main dengan
mushaf al-Qur’an.
4)
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menulis beberapa elemen dasar ajaran Islam
yang mengukuhkan landasan teori gender melalui bukunya yang berjudul Gender Dalam Perspektif Islam. Di dalam bukunya yang
diterbitkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan ini, dia
menguraikan prinsip-prinsip tauhid dan ajaran Islam yang tidak
membedakan jenis kelamin dan pengakuan terhadap hak-hak perempuan
sebagai pintu masuk untuk menjustifikasi kesetaraan gender. Di samping
itu dia juga menjelaskan perlunya penafsiran ulang terhadap al-Qur'an
dan al-Hadith. Ini karena tafsiran yang ada merupakan rekayasa dan
konspirasi ulama untuk menempatkan perempuan sebagai korban, baik di
dalam rumah tangga maupun di ranah publik. Penolakan terhadap
formalisasi shari'ah di beberapa kawasan di Indonesia juga dibincangkan
untuk menjamin adanya keadilan terhadap hak-hak perempuan.
5) Dra. Hj. Sri Suhandjati Sukri (editor) mengedit kumpulan makalah yang diterbitkan dalam buku berjudul: Bias Jender Dalam Pemahaman Islam (Jilid I) dan Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender
(Jilid II). Buku ini menguraikan adanya ketidakadilan jender dalam
memahami teks-teks keagamaan. Kedua buku ini ditulis oleh para dosen
IAIN Walisongo Semarang dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
merupakan aktivis di dalam Pusat Studi Jender (PSJ). Dengan menggunakan
metode kritik sejarah dan hermeneutika, pemahaman terhadap al-Qur'an dan
al-Hadith yang dipandang merugikan perempuan, dipermasalahkan kembali.
Isu-isu berkenaan dengan hak perempuan sebagai wali kawin, imam shalat,
pemimpin negara dan rumah tangga, relativitas batasan aurat perempuan,
kebolehan perempuan pergi tanpa mahram, kesaksian perempuan setengah
laki-laki, menolak perbedaan lelaki dan perempuan di dalam aqÊqah, air
kencing bayi dan hak waris dibahas dalam perspektif gender.
6) Isu-Isu Gender Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar & Menengah
diedit oleh Waryono Abdul Ghafur, M.Ag dan Drs. Muh. Isnanto, M.Si.
Buku ini mengkritisi buku-buku pelajaran agama, khususnya Fiqh, Tafsir
dan Hadith yang diajarkan di berbagai sekolah dasar hingga menengah yang
dianggapnya menindas perempuan. Buku yang diterbitkan atas kerjasama
antara PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan McGill IISEP Jakarta ini
merupakan salah sebuah upaya untuk menghilangkan unsur-unsur
patriarkhisme dalam kurikulum pendidikan. Isu-isu yang diangkat sebagai
bentuk benih-benih penindasan terhadap perempuan di antaranya yaitu
adanya ilustrasi gambar anak-anak yang sedang mengerjakan ÏahÉrah,
shalat berjama'ah, adhÉn, iqÉmah, puasa, tadarrus al-Qur'an, imam,
aktivitas membangun masjid, memotong hewan kurban dan lain-lain
didominasi laki-laki. Di samping itu, buku ini juga memaparkan kritik
terhadap pembedaan lelaki dan perempuan dalam gerakan shalat, pakaian
iÍrÉm, kurangnya ditampilkan perawi hadith dari kalangan perempuan, dst.
Metode pembahasan yang digunakan dalam buku ini adalah analisis gender
dan tafsir hermeneutika.
7) M. Nuruzzaman menulis buku berjudul Kyai Husein Membela Perempuan.
Kajian buku ini awalnya merupakan tesis masternya di Universitas
Indonesia di fakultas sosiologi. Dalam bukunya ini, dia menguraikan
pandangan-pandangan Kyai Husein Muhammad, seorang kyai feminis di
Cirebon, tentang paham kesetaraan gender. Pembahasan buku ini hanya
terbatas kepada kajian kasus di kalangan pondok pesantren sebagai
institusi pendidikan Islam klasik yang berwawasan gender dan menghargai
kesetaraan antara lelaki dan perempuan.
8) Zunly Nadia dalam bukunya yang berjudul Waria, Laknat atau Kodrat!?, menguraikan pembelaan terhadap eksistensi waria (mukhannath)
yang terasing dari ruang sosial, budaya dan politik. Buku ini pada
awalnya adalah hasil skripsi (tesis) sarjana S1 di fakultas Ushuluddin,
bagian Tafsir Hadith. Argumen dan dukungan terhadap kaum waria dalam
buku ini dilengkapi dengan teks-teks al-Qur'an dan al-Hadith, kemudian
dipahami berdasarkan konteks realitas sosial masyarakat setempat.
9) S. Edy Santosa (Ed.,) mengedit kumpulan makalah dalam buku yang berjudul Islam dan Konstruksi Seksualitas.
Buku ini awalnya merupakan himpunan kertas kerja dalam seminar Nasional
yang berjudul: "Islam, Seksualitas dan Kekerasan terhadap Perempuan",
yang diprakarsai oleh PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang bekerja
sama dengan Ford Foundation, 26-29 Juli 2000. Buku ini menguraikan
berbagai realitas sosial dan tafsiran agama berkenaan dengan wujudnya
diskriminasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan.
10) Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) menerbitkan buku berjudul Wajah Baru Relasi Suami-Istri, Tela'ah Kitab 'Uqud al-Lujjayn melalui kerjasamanya dengan The Ford Foundation. Buku ini mengkritik Kitab 'Uqud al-Lujjayn yang
ditulis oleh Syaikh Nawawi al-Bantani yang membahas hubungan
suami-isteri, masalah-masalah rumah tangga, kewajiban dan hak
suami-isteri, ibadah dan tingkah laku perempuan. Kajian buku ini hanya
terbatas pada kritik dan ulasan terhadap hadith-hadith yang dipandang
turut mengekalkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian
membahasnya dengan pendekatan kontekstual melalui metode kritik sejarah.
11) Dr. Nasaruddin Umar, MA, menulis buku berjudul: Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur'an.
Buku ini awalnya adalah tesis Ph.D-nya di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (sekarang UIN). Dia menguraikan kritik terhadap berbagai metode
dan pendekatan dalam memahami teks keagamaan, seperti tafsir, 'UlËm
al-Qur'Én dan fiqh yang dinilainya bercorak patriarkhis. Metode
pemahaman nas al-Qur'an dan al-Hadith yang ada sejak zaman Sahabat
diklaim turut memberi dukungan atas munculnya ketidakadilan jender,
seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca dan QirÉ'at; pengertian kosa kata; penetapan rujukan kata ganti (ÌamÊr); penetapan batasan pengecualian; penetapan arti huruf 'aÏf, pengaruh riwayat isra'iliyyat,
ketidakadilan jender dalam struktur bahasa Arab, kamus bahasa Arab,
metode tafsir, dan pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqh. Kemudian
dia mengusulkan perlunya metode dan pendekatan baru dalam memahami
teks-teks wahyu, seperti metode kritik sejarah dan tafsir hermeneutis.
12) Srinthil, Media Perempuan Multikultural:
merupakan jurnal yang membahas masalah-masalah perempuan dan
hubungannya dengan agama dan realitas sosial. Edisi IV jurnal ini
misalnya, mengangkat tema: "Ketika Aurat Dikuasai Surat". Di sini
diuraikan tentang hak dan kebebasan perempuan yang dirampas oleh
aturan-aturan agama dan perundang-undangan negara, termasuk hak
perempuan berekspresi dalam bidang seni, hak memiliki suami lebih dari
seorang, hak melakukan kawin kontrak (kawin mut'ah), dan isu-isu lainnya terkait dengan ketidakadilan gender dalam perkawinan.
13) Jurnal Perempuan
merupakan media akademik yang terbit setiap 3 bulan untuk mendukung
perjuangan kesetaraan gender. Kajian jurnal ini mencakup isu-isu gender
yang dipandang merugikan perempuan, baik berkenaan dengan realitas
sosial, pemikiran keagamaan, budaya, ekonomi atau politik. Sebagai media
untuk menolak hegemoni patriarkhi, maka isu-isu yang dikaji berasaskan
analisis dan perspektif gender, termasuk kajian tentang pemikiran Islam,
seperti metode penafsiran, fiqh, ilmu hadith dan seumpamanya.
14) Diah Ariani Arimbi menulis tesis Ph.D di Fakulti Art and Social Sciences University of New South Wales berjudul Reading
the Writings Contemporary Indonesian Muslim Women Writers:
Representation, Identity and Religion of Muslim Women in Indonesian
Fictions. Tesis ini menguraikan isu-isu perempuan tentang
kesetaraan gender di Indonesia yang didasarkan pada tulisan-tulisan
empat tokohnya. Pembahasan dalam tesis ini dititikberatkan pada masalah
bagaimana permasalahan gender dikonstruksi dan bagaimana
konsepsi-konsepsi tentang identitas, peranan (role) dan status perempuan Indonesia dibentuk, baik sebelum atau sesudah zaman kemerdekaan.
Selain
penerbitan buku-buku karya pengusung feminisme lokal, juga dilakukan
penterjemahan buku feminisme manca negara. Di antaranya adalah sebagai
berikut:
15) Buku "Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate" karya Leila Ahmed telah diterjemahkan dengan judul Wanita dan Gender dalam Islam: Akar-akar Historis Perdebatan Modern.
Dalam bukunya ini, Leila menguraikan tentang akar-akar sejarah yang
menjadi perdebatan hingga kini tentang pandangan Islam terhadap
perempuan. Pembahasan buku ini dimulai dari kondisi kawasan Timur Tengah
sebelum Islam, zaman kedatangan Islam dan penghargaannya terhadap
perempuan. Selain itu juga dibahas masalah penafsiran dan kejumudan
Islam abad pertengahan, sehingga munculnya wacana perubahan sosial dan
intelektual berkenaan dengan hak dan kebebasan perempuan.
16) "Women's Rebellion & Islamic Memory" karya Fatima Mernissi telah diterjemahkan dengan judul: Pemberontakan Wanita! Peran Intelektual Kaum Wanita Dalam Sejarah Muslim.
Buku ini menguraikan fenomena ketidakadilan sosial dan budaya yang
dihadapi perempuan di negara-negara muslim. Mernissi lebih banyak
mengkaji isu-isu fiqh, masalah kesehatan, politik dan peranan sosial
yang dipandang merugikan perempuan. Sebagai justifikasi atas idenya
tentang kesetaraan gender, dia memaparkan kisah-kisah kepahlawanan para
perempuan sejak masa Sahabat dan peran sosial mereka.
17) "Islam and Democracy, Fear of the Modern World" karya Fatima Mernissi ini telah diterbitkan dalam edisi Indonesia berjudul Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan.
Mernissi menguraikan sejarah hitam peradaban Islam yang dipenuhi dengan
pembunuhan politik, karena ketakutan para penguasa terhadap kebebasan
berfikir. Buku ini juga menganalisis ketakutan di kalangan umat saat ini
untuk membahas wacana demokrasi dan hak asasi manusia yang disebabkan
adanya trauma sejarah dalam menempatkan perempuan di balik jilbab dan
tembok-tembok pergundikan.
18) Karya Fatima Mernisi lainnya juga telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berjudul Menengok Kontroversi Peran Wanita Dalam Politik.
Di buku ini dia menjelaskan masalah peran politik kaum perempuan dan
realitas ketidakadilan terhadapnya. Pembahasan isu perempuan dalam
berpolitik dalam buku ini lebih terfokus kepada jilbab yang merupakan
indikasi perampasan hak dan kebebasan perempuan di ruang publik.
19) Haideh Moghissi menulis buku berjudul: Feminisme dan Fundamentalisme Islam.
Buku ini adalah terjemahan dari judul aslinya, "Feminism and Islamic
Fundamentalism, The Limits of Postmodern Analysis". Haideh memamparkan
realitas sosial di kawasan Iran dan Timur Tengah tentang masalah hak dan
kebebasan perempuan. Kajian buku ini didasarkan pada analisis
postmodernis dan menempatkan fundamentalisme dalam Islam sebagai "rival
antagonis" pembahasan untuk mengekalkan adanya kekecewaan muslim feminis
dan seruan kepada perubahan sosial.
20) Budhi Munawar Rachman dkk menulis buku Rekonstruksi Fiqh Perempuan
yang diterbitkan atas anjuran Pusat Studi Islam Universitas Islam
Indonesia (UII). Buku ini adalah kumpulan kertas kerja yang dibentangkan
dalam seminar nasional berjudul "Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam
Peradaban Masyarakat Modern" di UII Yogyakarta. Ringkasnya, buku ini
menguraikan perlunya perubahan fiqh konvensional yang dianggap
membelenggu kaum perempuan dalam mengembangkan perannya di berbagai
sektor kehidupan secara makro. Hal ini dikarenakan bangunan fiqh yang
sarat dengan norma dan doktrin di satu sisi dan di sisi lainnya
bernuansa permasalahan zaman klasik, sehingga fiqh klasik dipandang
tidak relevan dan menghambat aktualisasi potensi kaum perempuan dalam
transformasi sosial. (mm)
*
Penulis adalah peneliti INSISTS dan pengajar di STID M. Natsir, DDII
Jakarta serta dosen tamu di program Pascasarjana PKTTI-UI Salemba dan UIK Bogor. Tulisan ini berasal dari Makalah yang disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah Reguler InPAS ke-5 di Surabaya, pada 21 Maret 2009 dan diedit ulang oleh tim editor inpasonline.
[1] Sheikh Muhammad Nawawi ibn 'Umar, SharÍ 'UqËd al-Lujjayni fi BayÉn ×uqËq al-Zawjayni, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Jakarta, 1428H/2007M, hal. 9
[2] Ibn KhaldËn, al-‘AllÉmah ‘Abdurrahman ibn Muhammad, 2004, Muqaddimah Ibn KhaldËn, editor Dr. Muhammad al-IskandarÉni, DÉr al-KitÉb al-‘Arabi, Beirut, hal. 146. Teks aslinya: “Al-MaghlËb mËla‘un abadan bi l-iqtidÉ’ bi l-ghÉlib fi shi‘Érihi wa ziyyihi wa niÍlatihi wa sÉ’iri aÍwÉlihi wa ‘awÉ’idihi”
[3] Ninuk Mardiana, Kompas, 16/4/07
[4] Di
antara tema-tema makalah dalam festival ACIS VII ini ialah: "Mengubah
Wajah Fikih Islam", "Syahrur, Poligami dan Perlindungan Anak di
Indonesia", "Pelanggaran Hak-hak Perempuan dan Anak dalam Praktek
Poligami. Studi Kasus di Jawa Indonesia", "HAM (Hak Asasi Manusia) dan
Hak Perempuan", "Praktik Sunat Perempuan (Female Circumission): Sebuah Dilema Islam Kontekstual dan Hak Asasi Perempuan", dan seumpamanya.
[5] Wikipedia, the free encyclopedia
[6] Helen Tierney (ed.), Women's Studies Encyclopedia, vol. 1, New York: Green Wood Press, h. 153 dalam Dr. Nasaruddin Umar, MA, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur'an, Paramadina, Jakarta: 2001, hal. 33-34, selanjutnya disingkat Argumen
Dari tulisan Tantangan Terhadap Konsep Wahyu dan Tafsir
Sumber: http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=332:paham-kesetaraan-gender-dalam-studi-islam1&catid=32:gender&Itemid=100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar