Selasa, 05 Juni 2012

Khadijah, Teladan Bagi Muslimah dalam Berkarir

 Oleh: Sarah Larasati Mantovani

ThisisGender.Com – Siapa yang tidak kenal dengan Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu’anha? Istri pertama Rasulullah yang merupakan Ibunda dari Fatimah Az-Zahra radhiyallahu’anha ini ternyata adalah sosok yang tawadhu nan bersahaja meski dirinya adalah pedagang yang kaya raya.

Siapa yang menyangka bahwa Khadijah akan menjadi wanita pertama yang masuk Islam dan hatinya tunduk pada kebenaran wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam?. Siapa juga yang menyangka bahwa Khadijah adalah sosok pedagang Muslimah yang tangguh namun di sisi lain ia adalah sosok Istri yang taat dan ibu yang penuh cinta?.

Khadijah lahir sekitar lima belas tahun sebelum tahun Gajah. Ia lahir dari pasangan Fatimah binti Zaidah dan Khuwailid. Sedangkan nenek dari sang ibu bernama Halah binti Abdu Manaf dan Abdu Manaf ini adalah kakek ketiga Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wa sallam.

Ayahnya Khuwailid, terkenal sebagai sosok terpandang dari pemuka Bani Asad bin Abdil Uzza yang mulia, memiliki akhlak luhur, memiliki kekayaan yang melimpah serta dikenal sebagai sosok yang jujur dan dermawan.

Oleh karena itu, Khadijah radhiyallahu’anha mewarisi sifat-sifat yang agung dari ayahnya, seperti integritas diri, perilaku yang luhur dan kepribadian yang kuat.

Khadijah dan Kisah Bisnisnya yang Sukses
Selama hidupnya, Khadijah telah menikah tiga kali, yang pertama dengan Abu Halah An-Nabbasy bin Zararah At-Taimi dikaruniai dua putra, yang kedua dengan Atiq bin A’id Al-Makhzumi dikaruniai seorang putrid bernama Hindun dan yang terakhir ia habiskan sisa hidupnya bersama Nabi Muhammad.

Saat menjadi pebisnis yang sukses tidak membuat Khadijah lantas menjadi lupa diri dengan posisinya sebagai seorang Ibu dari ketiga anaknya. Banyak para tokoh dan orang kaya yang ingin meminang Khadijah serta menawarkan harta yang melimpah kepadanya namun ia menolak pinangan setiap pemuka Quraisy yang datang kepadanya. Ia lebih memilih untuk mencurahkan segala waktu, tenaga dan pikirannya guna mengasuh dan merawat ketiga anaknya serta mengurusi dan mengembangkan bisnis perniagaannya.

Hal tersebut terus berlangsung sampai ia mencapai usia 40 tahun dan menemukan pemuda cerdas dan tampan bernama Muhammad yang saat itu masih berusia 25 tahun yang akhirnya menikahi dirinya. Bahkan perdagangannya menjadi sangat sukses saat dijalankan oleh Nabi Muhammad.

Selama ia menjadi istri Nabi Muhammad, Khadijah adalah sosok yang taat dan percaya pada suami. Ia selalu memberikan dukungan dan bantuan dengan penuh semangat dan tekad yang kuat. Sementara Nabi sendiri meski memberikan waktu dan perhatian yang besar kepada aktivitas perniagaannya, selalu mengajak Khadijah untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat dalam segala urusan serta mendengarkan setiap pendapatnya dengan seksama. Beliau tetap memberikan perhatian yang sama besar kepada istrinya, selalu memenuhi apa yang diinginkan dan berusaha tidak mengecewakannya.

Khadijah sendiri sebagai istri sangat senang bahwa suaminya bisa menggantikan tugasnya serta menyerahkan segala urusan perniagaan kepada sang suami untuk mengembangkan dan mengurusi jalannya perniagaan. Sementara Khadijah mengerahkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk mengurusi rumah tangga, serta berusaha keras untuk membahagiakan suami dan anak-anaknya.

Khadijah adalah sosok wanita yang bisa dijadikan teladan. Umurnya yang lebih tua dari Nabi dan harta kekayaannya yang melebihi Nabi tidak lantas menjadikannya sombong dan ingin menguasai rumah tangga. Ia tetaplah wanita yang taat pada suami dan tunduk pada aturan Allah.

Khadijah adalah contoh bagaimana wanita bukanlah pencarai nafkah utama. Kisah hidupnya seperti menjadi pengingat bagi wanita-wanita muslimah yang berkarir agar tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang Ibu dan istri serta tetap tunduk pada aturan yang telah Allah tetapkan.

Referensi :
Syaikh Muhammad Hasan Salamah, Nisa’ Fadhliyyat Khalladahunna At-Tarikh. Sirah Ibnu Hisyam, I/188. Thabaqat Ibnu Sa’ad, Juz I, bagian pertama, hlm 71.
Disarikan dari buku Khadijah dan Aisyah : Pesona Dua Ummul Mukminin, Muslich Taman, Pustaka al-Kautsar, 2008.

sumber:  http://thisisgender.com/khadijah-teladan-bagi-muslimah-dalam-berkarir/

Mewaspadai Fundamentalisme Post-Patriarkal


 Oleh: Kholili Hasib

ThisisGender.Com-Dalam buku Spirituality and Society: Postmodern Visions (edisi Indonesia Visi-Visi Postmodern) Catherine Keller menulis sebuah catatan tentang tujuan utama (big goal) dari gerakan feminisme.  Menurut pengajar teologi di Theological School Drew University Amerika Serikat ini, perang wacana gender terkait dengan cita-cita masyarakat postmodern, yakni masyarakat tak mengenal kelas, menjunjung kebebasan tak terbatas dan pluralis. Big goal gerakan feminisme sendiri terstruktur dalam sebuah masyarakat yang ia sebut dengan istilah ‘masyarakat post-patriarkal’.
Di antara kesamaan erat antara postmodern dan post-patriarkal yang disebutkan Keller adalah keduanya sama-sama mengusulkan struktur nilai dan kelembagaan sosial yang didasarkan atas hak indiviudalisme dan diakhirinya hubungan-hubungan yang mendominasi.  Mungkin karena ada kemiripan dengan gerakan dan praksis postmodern ini Keller menyebutnya dengan istilah post-patriarkal. Post artinya sesudah dan pasca. Sedangkan patriarkal adalah sistem hubungan pria wanita yang didominasi pria secara otoriter.
Makna kata “post” di sini adalah dekonstruksi (pembongkaran). Yakni mendekonstruksi dominasi laki-laki (patriarkisme) dalam setiap aspek kehidupan. Kata “post” sejatinya kata Catherine Keller bukan makna yang baik. Ia mengatakan kata ini menyiratkan via negative – yaitu cara negatif dalam merumuskan tujuan yang dihendaki. Ternyata benar kata Keller. Buktinya, metode dekonstruksi lantas disalah gunakan untuk membongkar konsep etika agama. Karena ‘alatnya’ adalah dekonstruksi, maka gerakan menuju masyarakan post-patriarkal terkesan radikal-fundamental — lebih radikal daripada saat kaum modernisme mengkampanyekan feminisme pada awal kemunculannya pada abad ke-17.
Tampaknya pilihan istilah post-patriarkal ingin menegaskan wajah yang membenci kelaki-lakian. Laki-laki dituding sebagai pembentuk wacana dominasi pria atas wanita. Titik sentral yang menjadi sasaran di sini jelas laki-laki. Dan sejatinya perjuangan feminisme berujung kepada ‘pembunuhan’ terhadap peran dan tanggung jawab laki-laki. Pemikirannya didasarkan oleh sikap ‘iri’ dan ‘benci’. Maka tepat  apa yang dikatakan Keller bahwa puncak perjuangan feminisme adalah masyarakat yang bernama post-patriarkal. Tanda-tanda bangkitnya masyarakat ini adalah legalisasi lesbiansime dan homoseksual.
Meski sekarang ini belum terstruktur, namun arah gerakan feminisme makin lama makin menunjukkan kepada pembentukan masyarakat post-patriarkal. Tahun lalu, peringatan gubernur DKI Jakarta agar wanita tidak memakai rok mini ditolak aktifis feminisme. Mereka mencemooh, bahwa otak laki-laki-lah yang harus dibenahi jika memang  syahwat mereka bangkit saat melihat rok mini. Sebuah kecamaan yang lebih mengedepankan emosional daripada rasio. Sebab, jelas sekali porno itu membangkitkan syahwat namun tidak diakuinya. Tapi memang, itulah salah satu ciri gerakan post-patriarkal. Emosional tapi terkadang dikemas seakan rasional, hanya karena digerakkan oleh kaum ‘intelektual’.
Belum lama ini, ketika kedatangan Irshad Manji — pelaku lesbian asal Kanada — ditolak masyarakat, aktifis liberal dan feminis ini membela. Suara pembelaannya diatasnamakan kebebasan berbicara. Lagi-lagi ini pembelaan yang sejatinya tidak mengedepankan akal sehat. Sebabnya, Irshad secara terbuka dalam tulisannya merendahkan al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Tulisan-tulisan seperti itu yang bisa memantik konflik sosial.  Ia juga mendapat penolakan masyarakat. Ia ditolak masyarakat karena buku-bukunya melegalisasi lesbian dan homoseks. Praktik hubungan sejenis sesungguhnya tidak diterima golongan manapun yang memakai nurani dan akal sehat. Gedung Putih AS sempat heboh. Presiden Barrack Obama dikecam keras aktifis partai Republik dan tokoh Kristen Konservatif karena sang Presiden mendukung pernikahan sejenis (Republika 11/05/2012).
Prof. Dr. Malik Badri — pakar psikologi asal Sudan pada seminar “Homoseks dalam Perspektif Psikologi dan Islam” di Universitas Ibnu Khaldun Selasa (29/05/2012) menjunjukkan data-data kuat bahwa homo/lesbi bukan genetis tapi pengaruh lingkungan. Ia termasuk dalam salah satu penyakit kejiwaan. Alasan genetis hanya mengada-ada.
Maka, sebaiknya kita belajar memakai akal sehat. Pendukung Irshad Manji harusnya berhati nurani, hilangkan ego dan kembali kepada etika agama. Semua demi kepentingan masa depan bangsa yang beradab. Anak bangsa harus dikendalikan agar tetap pada tatanan adab. Jika dibiarkan sebebas-bebasnya, bisa melahirkan radikalisme gaya baru yang anti moralitas.
Begitulah watak post-patriarkal mirip dengan karakter postmodern, merelatifkan moral. Model kebebasannya muncul dalam bentuk kekaburan dan secara logis lebih permisif (Ernest Gellner, Menolak Postmodern, hal. 49). Permisifme dan relativisme post-patriarkal selalu menampakkan diri dengan wajah yang selalu menyalahkan kelaki-lakian. Jika wanita dilarang memakai pakaian mini, kenapa lelaki tidak. Harusnya semua dibebaskan. Jika seks adalah naluri manusia, maka manusia dibebaskan untuk memilih dengan siapa ia disalurkan  –  tidak peduli dengan sesama jenis atau lain jenis. Logika-logika ini tidak dikontrol oleh etika agama.
Logika permisifsme dan relativisme dekonstruksi postmo sangat berbahaya. Sebab menawarkan logika-logika pembebasan tubuh (emancipation of body) dan pembebasan hasrat (liberation of desire) dari pembatasan-pembatasan melalui industri media massa (Zaitunah S, 2005: hal. 74).
Post-patriarkal sesungguhnya menginginkan spiritualitas, namun sama sekali anti-agama, dan selalu makna hak asasi manusianya dihadap-hadapkan dengan agama. Jelas sebuah keinginan yang utopis. Semestinya spiritualitas, keadilan, dan keharmonisan hubungan pria-wanita dalam masyarakat dikembalikan kepada etika agama, kepada aturan Allah. Bukan justru menolak syari’at Allah. Jika tetap memaksakan kampanye lesbian dan homo, maka mereka dapat dikategorikan gerakan radikalisme — memaksa masyarakat untuk mengakuinya.
Apresiasi pembentukan masyarakat post-patriarkal oleh feminis muslim dilakukan dengan pembebasan dari kekuasan yang disebut kekuasaan monolitis. Kitab-kitab klasik, tafsir al-Qur’an dan Sunnah dituduh bersifat patriarki memihak laki-laki (M. Maufur dkk, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, hal. 56).
Meskipun metafisika dan informasi-informasi ghaib agama dinilai tidak rasional bagi orang sekuler. Tapi nyata nya yang harus diakui, di tangan agamalah nilai-nilai spiritualitas, keadilan dan harmonisasi masyarakat ditemukan. Ajaran-ajaran praksisnya justru lebih rasional.
Kodrat, dan potensi biologis antar pria dan wanita berbeda. Maka, tugas, tanggung jawab dan perlakuan juga berbeda – disesuaikan dengan kodrat dan fitrahnya.  Jika disamakan justru menimbulkan ketidak adilan. Adil tidak harus sama fifty-fifty. Adil adalah suatu perbuatan menempatkan sesuatu pada porsinya sehingga sesuatu itu tidak keluar dari koridor yang semestinya. Dalam Islam, wanita dan pria diberi tugas dan tanggung jawab sesuai kodrat dan porsinya (Majid Khodduri,Mafhum al-‘adl fi al-Islam, hal. 21).
Keadilan gender semestinya dimaknai suatu kondisi dimana antara laki-laki dan perempuan ditempatkan sesuai dengan potensi, naluri, kodrat dan fitrahnya masing-masing. Menyamakan secara fifty-fifty dalam setiap segi kehidupan justru menjadikan kondisi itu tidak adil. Karena secara biologis dan kodratnya berbeda maka, tanggung jawab dan potensi melakukan kewajiban juga berbeda.
Relasi dan pembagian tugas antara pria dan wanita tidak didasarkan oleh kebencian, dan iri terhadap lainnya. Allah berfirman : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (Q.S. An Nisa (4) : 32).
Jadi dalam Islam, tidak ada tradisi patriarki. Sebab masing-masing pria dan wanita diberi tugas dan tanggung jawab sesuai kondisi biologisnya. Tidak ada kebencian wanita atas pria menyangkut peran dalam sosial masyarakat dan keluarga. dalam hukum Islam hak dan kewajiban dalam beberapa bidang dibedakan. Pembedaan ini tidak menafikan kesamaan (musawah) dalam kehormatannya, kemanusiaannya dan keahliannya. Sebab, penerapan hukum didasarkan atas tabiat bilogis dan potensi masing-masing. Dalam melaksanakan tanggung jawab antar laki-laki dan perempuan saling mengisi (Sa’ad Ibrahim Shalih,Ahkamu Ibadati al-Mar’ah fi al-Syariah al-Islamiyah Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, hal. 52). Perempuan adalah mitra kerja suami (qarinah). Begitu pula sebaliknya. []

Peneliti InPas, lulusan Magister Aqidah dan Pemikiran ISID Gontor.

sumber:  http://thisisgender.com/mewaspadai-fundamentalisme-post-patriarkal/

Adnin Armas : RUU KKG Mensubordinasikan Agama



Meski komisi VIII dalam keterangannya saat hearing (dengar pendapat) di Gedung DPR, pada hari Senin (28/05), RUU KKG baru berbentuk draft dan masih mentah tapi RUU KKG sudah menuai kontroversi. Dimana hal ini terkait dari substansi dari RUU tersebut yang dipandang oleh Direktur Eksekutif INSISTS (Insititute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) sangat bermasalah, baik dari segi definisi gender itu sendiri maupun aturan-aturannya yang sangat bertentangan dengan syari’at Islam.

Berikut ini adalah petikan wawancara CGS dengan Adnin Armas M.A terkait hearing atau dengar pendapat di DPR tentang RUU KKG, belum lama ini.

CGS   : Assalamu’alaykum, ustadz. Saat melakukan hearing ke DPR pada Senin lalu, poin-poin apa saja yang ustadz sampaikan pada komisi VIII terkait RUU KKG?

Adnin : Wa’alaykumsalam, poin-poin yang saya sampaikan dan saya persoalkan adalah kosakata Gender, pada draft RUU KKG tertulis pengertian Gender adalah perbedaan tanggung jawab antara laki-laki dan wanita karena budaya, selain itu boleh berbeda-beda dan bisa bertukar-tukar menurut waktu dan keadaan. Padahal, Allah sudah menetapkan dan tidak boleh ditukar-tukar, kosakata Gender menafikan perbedaan secara biologis, antara laki-laki dan wanita. Di sini perbedaan biologis juga dinomorduakan, dianggap tidak penting.

Selain itu, RUU ini dianggap sebagai persoalan yang universal, dipaksakan, dijadikan sebagai masalah yang mendesak. Padahal di sisi lain, masih banyak undang-undang sebelumnya yang jalan di tempat dan masalah-masalah masyarakat masih banyak daripada kesetaraan gender itu.

Saya juga sampaikan bahwa saya tidak setuju dengan ruu ini bukan berarti mengaminkan diskriminasi terhadap wanita. Naskah yang saya pegang, juga dibuat oleh teman-teman saya yang wanita. Kami menolak karena ruu ini mensubordinasikan, meminggirkan agama. Kita negara yang punya Tuhan dan agama.
Yang sangat saya sayangkan, Komisi VIII juga menghambur-hamburkan uang untuk membuat ruu dengan studi banding ke Norwegia dan Denmark.

CGS   : Kemudian, siapa saja yang hadir pada saat hearing tersebut selain dari INSISTS, ustadz?

Adnin : Kaukus Perempuan Parlemen RI dan Perwakilan dari CEDAW Working Group of Indonesia, CWGI ini terdiri dari perwakilan-perwakilan LSM yang ditunjuk. Yang pasti mereka mendukung RUU KKG disahkan.

CGS   : Adakah tanggapan dari mereka yang menyetujui RUU ini saat ustadz menyampaikan pendapat?
Adnin : Tidak ada sanggahan karena kami di sana hanya menyampaikan pendapat kepada pimpinan sidang dan anggota komisi VIII,

CGS   : Ada tidak fraksi yang sudah menyetujui atau pun yang menolak, ustadz?

Adnin : Karena RUU ini masih berupa draft dan masih mentah jadi belum ada persetujuan atau pun penolakan dari Komisi VIII. Draft ini masih harus direvisi lagi oleh DPR.

CGS   : Kapan kira-kira Komisi VIII akan memberikan keterangan atau info bahwa RUU ini telah direvisi?

Adnin : belum, Komisi VIII belum memberikan info selanjutnya terkait revisi RUU ini.

CGS   : Apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan oleh ustadz dan INSISTS?

Adnin : Akan terus mengawal dan memperhatikan bagaimana mereka (Komisi VIII) memperbaiki draft RUU KKG. Selain itu, kita juga akan terus mengkaji soal RUU ini dan mensosialisasikan bahaya RUU ini kepada masyarakat.

CGS   : Apa harapan ustadz mengenai RUU ini?

Adnin : Ya, saya harap semoga draft  RUU ini tdk lagi mengandung pasal-pasal yang mencederai umat Islam dan tidak mengulangi kembali dengan membuat kesalahan-kesalahan pasal yang sebelumnya banyak terdapat dalam RUU ini.

sumber:  http://thisisgender.com/adnin-armas-ruu-kkg-mensubordinasikan-agama/

Minggu, 03 Juni 2012

Homoseksual Bukan Karena Faktor Genetis



ThisisGender.Com-Salah satu alasan feminis atau pelaku Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT) untuk melegalkan aktivitas homoseksual dan lesbian adalah karena sudah kodrat, karena mereka sudah dilahirkan dalam keadaan seperti itu dan kondisi demikian tidak bisa dirubah.

“Omong kosong bahwa Homo dan Lesbi adalah bawaan sejak lahir! Tidak mungkin seperti itu”, tegas Pakar Psikologi Internasional dari Sudan, yang menjadi pembicara bersama Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, dalam acara Studium Generale (kuliah umum) “Homoseksual dan Gender dalam Perspektif Psikologi dan Islam” di Gedung Program Doktor Pendidikan Islam, Universitas Ibn. Khaldun, Bogor, pada Selasa kemarin (29/05).

Kalau memang penyebab homoseksual dan lesbian adalah karena faktor genetis, berarti kita telah memvonis Tuhan tidak adil, padahal kenyataannya tidak demikian.

Banyak Estrogen Penyebab Homo?
Para Psikolog Barat mengklaim, pelaku LGBT menjadi demikian karena hormon estrogen lebih banyak daripada hormon endrogen. Namun, hal ini langsung dibantah kembali oleh Prof. Malik Badri sendiri.
“Padahal faktanya, manusia yang punya hormon estrogen lebih banyak tidak menderita homoseksual”, tegas Pria yang menamatkan pendidikan Doktornya di Universitas Leicester, Inggris, pada tahun 1961 ini.
Hormon estrogen sendiri adalah hormon yang pada umumnya diproduksi oleh rahim wanita yang merangsang pertumbuhan organ seks perempuan, hal ini dikenal sebagai karakteristik seks sekunder. Selain itu, estrogen mengatur siklus menstruasi.

Hal ini juga disetujui oleh Rushdi Kasman M.Si., Dosen mata kuliah Psikologi dan Konseling di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, yang mengikuti jalannya acara kuliah umum tersebut sampai selesai.
 “Memang, kadar hormon estrogen yang lebih banyak di dalam tubuh seorang laki-laki tidak menentukan seseorang menjadi homoseksual. Contohnya saja seperti dokter Boyke yang agak kemayu tapi ternyata beliau bukan seorang homoseksual. Jadi kecenderungan perilaku seperti tomboy dan feminin tidak menentukan seseorang itu punya kelainan seksual (heteroseksual)”, terang pria lulusan UPI Bandung ini.
Sehingga seseorang yang mengalami kelainan seksual bukan karena faktor genetis melainkan karena faktor lingkungan.

Tidak hanya itu, Prof. Malik juga mengungkapkan bahwa dalam psikologi Barat orang yang kontra dengan homoseksual dan mengkritisinya termasuk dalam salah satu penyakit kejiwaan disebut homophobia.
“Sekarang ini dalam Psikologi Barat, orang yang kontra dengan Homoseksual sudah bisa dikatakan termasuk dalam salah satu penyakit kejiwaan”, ungkapnya.

Padahal menurut Yadi Purwanto, salah satu Psikolog Islam Indonesia dalam bukunya “Psikologi Kepribadian, integritas aqliyah dan nafsiyah Perspektif Psikologi Islam”, Dalam perspektif Psikopatologi (gangguan kepribadian) perspektif Islam homoseksual termasuk dalam kategori jiwa yang abnormal atau jiwa yang sakit.

Korelasinya Dengan Kesetaraan Gender
Poin penting yang juga harus digaris bawahi dari kuliah umum kemarin adalah, perilaku homoseksual ada korelasi dengan paham kesetaraan gender. Karena paham kesetaraan gender, perilaku homoseksual seperti mendapat pelegalan dan membuatnya semakin marak, sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Dr. Hamid, saat diwawancarai oleh CGS, Selasa kemarin (29/05),

“Asal mula Homoseksual diperjuangkan dalam kesetaraan gender yaitu berasal dari feminis aliran radikal, feminis aliran radikal ini mempunyai tuntutan bukan hanya kesetaraan untuk perempuan tapi kesetaraan untuk memperoleh kepuasan seks, jadi karena tidak memerlukan laki-laki dia bisa memperoleh kepuasan seks tersebut dan tidak ada ketergantungan karena merasa mempunyai hak untuk memperoleh itu. Feminis ini memperoleh penguatan lagi dengan konsep equality, feminisme kan membela hak perempuan, bukan hanya membela hak perempuan tetapi juga menyamakan hak perempuan dengan laki-laki, nah itu dalam semua aspek, termasuk dalam homoseksual ini”, terang penulis buku Misykat ini.

Bisa disembuhkan
Menariknya, saat diwawancarai oleh CGS seusai makan siang, Selasa kemarin (29/05), Profesor yang mendirikan International Association of Muslim Psychologists dan pernah menjadi anggota dewan pakar UNESCO ini, dengan wajah optimis mengatakan bahwa penyimpangan seksual seperti homoseksual dan lesbian bisa disembuhkan, yaitu dengan cara memberikan terapi kognitif, seperti dibangunkan kesadarannya bahwa apa yang dia perbuat salah tanpa menyudutkan dan menumbuhkan motivasi pada diri si pelaku, kemudian dengan terapi behavior, yaitu si pelaku dimasukkan dalam lingkungan yang lebih bersih dan baik, yang mendukung kesembuhannya dan dijauhkan dari komunitasnya. (Sarah Mtv)

sumber:  http://thisisgender.com/homoseksual-bukan-karena-genetis/

This is Gender, Mengcounter Feminisme Secara Akademik

Jakarta (28/05/2012), Isu tentang Kesetaraan Gender masih berlanjut hingga saat ini, bahkan para Feminis masih terus menyebarkan pemikiran-pemikirannya, salah satunya seperti mengadakan seminar Feminisme di Auditorium Gedung I, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Selasa lalu (01/05), dengan Prof. Musdah Mulia dan Dr. Gadis Arivia sebagai salah satu pembicaranya.

Namun, pada faktanya, hingga saat ini masih belum ada Pusat Studi Kajian Gender di Indonesia yang bisa meneliti secara lebih jauh dan serius terhadap ide-ide feminisme serta mendasarkan penelitian tersebut pada worldview Islam ataupun para muslimah yang bisa mengcounter pemikiran-pemikiran Feminis tersebut.

Oleh karenanya, perempuan Indonesia, khususnya Muslimah membutuhkan informasi memadai mengenai segala hal tentang Feminisme agar pemahaman mereka tidak tersesat pada ide-ide nyeleneh para feminis.
Thisisgender.com, sebagai salah satu situs kajian feminisme dan media online kemuslimahan pertama di Indonesia akan menjawab tantangan yang sedang dihadapi oleh para Muslimah Indonesia saat ini.

“Alhamdulillah, kini telah lahir sebuah website khusus yang membahas masalah gender dan hal-hal yang berkaitan dengan tema-tema kewanitaan yang dikupas berdasarkan perspektif Islam. Website ini lahir karena kegelisahan yang sama yang dirasakan masyarakat muslim dari berbagai organisasi Islam di Indonesia akibat upaya-upaya kaum liberalis, feminis dan posmodernis yang semakin gencar menyebarkan pemikiran-pemikirannya mengenai gender dan peranan-peranan wanita melalui tangan-tangan media, lembaga sampai negara”, jelas Sakinah Fithriyah, Juru Bicara This is Gender, the Center for Gender Studies (CGS) kepada media belum lama ini.

Bahkan, rencananya situs yang digawangi oleh Muslimah-muslimah dari beberapa organisasi Islam ini akan mengadakan launching pertamanya di Gedung Program Doktoral, Univ. Ibn. Khaldun, pada Selasa besok (29/05/2012), bersamaan dengan digelarnya acara Kuliah Umum “Homoseksual dan Gender dalam Perspektif Islam dan Psikologi” yang rencananya akan diisi oleh Prof. Malik Badri, Pakar Psikologi Internasional asal Sudan dan Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, Direktur Pascasarjana ISID Gontor.

Mendapat Sambutan      
                                                       
Melihat antusiasme yang ditunjukkan oleh para Muslimah terhadap kelahiran CGS, justru mendapatkan sambutan dari Penanggung Jawab Divisi Perempuan Ghurabaa (Militant Tauhid), ia menyatakan dukungan yang luar biasa terhadap gerakan perempuan anti feminis ini.

“Kalau laki-laki yang menolak feminis seperti kurang greget, justru dengan hadirnya gerakan anti feminisme dari kalangan muslimah ini akan semakin mengokohkan perjaungan bahwa penolakan terhadap feminisme ini datang dari berbagai elemen umat Islam, tolak RUU KKG adalah harga mati”, jelasnya, sebagaimana dikutip dari situs undergroundtauhid.com, Minggu lalu (13/05).

Proyek Pertama CGS

Tidak hanya itu, sebelumnya, CGS sudah menerima proyek pertamanya. Para pengurus bersama dengan INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) membuat kritikan terhadap RUU KKG yang dituangkan ke dalam tulisan analisis. Rencananya, tulisan analisis tersebut akan diserahkan ke Komisi VIII pada hari ini (28/05).

Bagaimanapun, DPR, khususnya Komisi VIII harus tahu secara lengkap info mengenai Kesetaraan Gender ini, mulai dari definisi Gender yang bermasalah dan didekonstruksi sedemikian rupa, makna Keadilan, Kesetaraan, membedah konsep Diskriminasi, pertentangan RUU ini dengan Pancasila sila Pertama dan UUD 45 Pasal 28 J ayat (2) tentang HAM hingga masalah overlapping (tumpang tindih) dengan UU lain.

Tentang CGS

CGS lahir pada tanggal 07 April lalu, ditandai dengan lahirnya sebuah grup di FB dan blog, kemudian karena animo yang begitu besar terhadap grup dan blog, akhirnya kami-pengurus perempuan, dibantu dengan empat Laki-laki, membuat website resmi yang mengkhususkan diri untuk mengcounter feminisme dan kesetaraan gender, selain membuat fanspage di Facebook dan Twitter.

Rubrik CGS terdiri dari Suara Muslimah yang berisi Liputan tentang kegiatan kemuslimahan dan event-event yang akan berlangsung, artikel yang terdiri dari Fikrah, Studi Gender, Teladan Muslimah, Sejarah, Fiqh Muslimah dan Resensi Buku, terakhir rubrik Konsultasi dan galeri Album. (Sarah Mantovani)
Untuk Kritik dan Saran serta informasi lebih lanjut hubungi :

www.thisisgender.com
Twitter : @ThisisGenderCom
FB : This is Gender

sumber:  http://islampos.com/this-is-gender-mengcounter-feminisme-secara-akademik/

Menimbang Keadilan dan kesetaraan Gender


Oleh Rira Nurmaida*

Sepintas kedua kata itu (kesetaraan dan keadilan) terdengar merdu di telinga. Secara alamiah, manusia berkecenderungan untuk menuntut diperlakukan sama dan tidak dibeda-bedakan dengan yang lainnya. Hal itulah yang menjadi persepsi kesetaraan baginya. Sementara tidak adil adalah kedzaliman, kesewenang-wenangan, kejahatan, bahkan penghinaan terhadap kemanusiaan.

Kedua kata itu kemudian disandingkan dengan kata gender. Gender yang sering dipahami sebagai bentukan budaya atas peran dan posisi yang layak atau tidak layak, pantas atau tidak pantas, serta baik atau tidak baik terkait dengan perbedaan jenis kelamin (seks). Sehingga dalam konteks demikian keseteraan gender berarti menuntut terdapatnya perlakuan dan sikap yang sama dii antara dua jenis seks yang berbeda, yakni laki-laki dan perempuan serta mewujudkan keadilan yang diharapkan oleh keduanya. Pertanyaannya, siapakah yang berhak menentukan parameter keadilan itu sendiri?.

Manusia, dengan berbagai potensi yang melekat pada dirinya mempersepsi dunia dengan keunikannya tersendiri. Penuh dengan subyektivitas yang terbangun di atas akumulasi pengetahuan serta pengalamannya di dalam kehidupan. Ketika dia berhadapan dengan berbagai hal pada kehidupannya sehari-hari sikapnya begitu beragam. Kita belum berbicara terkait keinginan atau sikap banyak orang. Tapi bicara tentang sikap satu orang saja, sudah nampak tingkat relativitas persepsinya. Hari ini suka, besok bisa benci. Apa yang ia sukai ia pandang sebagai kebaikan, sementara apa yang dibencinya dipandang sebagai keburukan. Begitu pula apapun yang mendatangkan banyak manfaat dia anggap itu kebaikan, namun ketika itu mendatangkan kemadharatan maka dikatakannya sebagai hal yang buruk. Dengan begitu standarnya tentang keadilan sekalipun dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang tertentu.

Dengan demikian, standar yang ditetapkan sebagai keadilan tidak akan pernah selesai dirumuskan bersama atas dasar kesepakatan manusia sehingga dapat tercipta keadilan bagi seluruhnya. Dalam dunia industri, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya oleh pengusaha dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi dari aspek upah buruh. Hal itu baik bagi majikan karena memberi keuntungan berlebih, tapi buruk bagi buruh karena mereka mendapatkan upah yang tidak semestinya. Majikan merasa bahwa hal itu adil karena dia telah menanam modal yang sedemikian besar dari segi aset perusahaan dll. Sementara buruh sekedar menyewakan jasanya. Tapi kembali lagi dalam sudut pandang buruh, hal tersebut tidak adil.

Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa adil tidaknya sesuatu bukan semata-mata hal yang lahir secara otomatis dari peristiwa. Yakni, majikan membayar uang sejumlah tertentu pada buruh, itu belum dapat dinilai adil atau tidak. Tapi penilaian adil atau tidak itu ditentukan oleh unsur eksternal yaitu penilaian kedua belah pihak.  Hal ini berlaku sebagaimana penentuan standar baik-buruk pada umumnya. Berbohong tidak dikatakan buruk semata-mata karena sifat buruk melekat dalam aktivitas berbohong itu. Akan tetapi kita harus selalu dapat melihat konteksnya. Kebohongan seorang pedagang pada pembelinya adalah hal yang buruk, tapi membohongi musuh di medan perang adalah siasat yang harus ditempuh.

Adapun terkait dengan kesetaraan dan keadilan gender yang diusung oleh kaum feminis dan liberal, maka yang mereka ajukan itupun berdasarkan standar atau pandangan yang tertentu terhadap kehidupan. Sekalipun mereka mengklaim bahwasanya keadilan yang mereka agung-agungkan itu merupakan tuntutan dasar kemanusiaan atau merupakan hak asasi manusia, tapi yang jelas hal itu hadir atas pandangan mereka yang meletakkan liberalisme individualisme sebagai asasnya. Kesetaraan dan keadilan gender tidak semata-mata dipandang baik karena secara intrinsik mengandung kebaikan. Tapi dianggap baik karena berdasar pada asumsi-asumsi liberal yang berupaya melepaskan diri dari aturan-aturan hidup yang digariskan agama: perempuan dan laki-laki berhak atas porsi waris yang sama; sama-sama punya potensi kepemimpinan yang sama dalam hidup berkeluarga maupun aspek kehidupan lainnya, dsb. Padahal keadilan yang hakiki hanyalah apa-apa yang telah digariskan oleh Allah sebagai zat yang paling mengetahui hakikat manusia dan paling mengetahui apa-apa yang baik baginya.

Dalam membangun argumentasinya, pengusung KKG tidak lagi memandang baik dan buruk , adil dan tidak adil berdasarkan kesesuaiannya dengan tuntunan dan larangan Allah, tetapi hawa nafsu saja. Maka mereka berani menggugat sejumlah hukum yang sudah diatur jelas dalam Islam seperti hukum terkait nafkah, izin bagi wanita untuk keluar rumah, kepemimpinan dalam rumah tangga, kebolehan perempuan untuk bekerja, hak waris bagi perempuan, kesaksian perempuan di pengadilan, dll.

Justru mereka "tidak adil" dalam menggaungkan konsep KKG ini. Mereka berpijak dari realitas yang rusak ketika Islam tidak diterapkan dan perempuan menjadi menderita namun yang mereka kambinghitamkan sebagai penyebab adalah hukum-hukum Islam itu sendiri. Maka teranglah tujuan mereka sesungguhnya bukan semata-mata membela perempuan akan tetapi berusaha menyudutkan dan memberi pelabelan negatif pada Islam (dengan istilah yang mereka gunakan: "fundamentalisme agama", "absolutisme budaya, dll) sehingga kaum muslim semakin jauh dari agamanya. Setelah berbagai institusi Islam hancur, mulai dari negara hingga berbagai tatanan masyarakat, kini benteng terakhir  berupa keluarga pun hendak mereka goyahkan dengan menghembuskan isu-isu semacam ini yang hendak diperkuat posisinya melalui instrument hukum dan dipaksakan implementasinya oleh negara.

*penulis adalah  Sekretaris Redaksi thisisgender








Rabu, 09 Mei 2012

RUU KKG: Pertarungan Feminis VS Muslimah Indonesia?

 Oleh: Sarah Larasati Mantovani


KEHADIRAN Irshad Manji ke bumi nusantara seperti menjadi bukti bahwa saat ini para feminis sedang menyerang perempuan Indonesia, khususnya Muslimah dengan begitu sistemik, selain melalui undang-undang, film dan kontes kecantikan.