Oleh:
Rira
Nurmaida*
Dalam pertumbuhan
pertama feminisme, yang dominan, kalau bukan satu-satunya adalah gerakan
feminisme aliran liberal tradisionalis yang ditandai dengan tulisan judul buku
Mary Wollstonecraft (A Vindication of the Rights of Women). Ide utama feminis
generasi pertama masih berkutat seputar kesetaraan hak terutama dalam keluarga,
pendidikan, dan politik. Pada perkembangannya, feminisme tumbuh menjadi berbagai
aliran dengan perspektif masing-masing terhadap ketidakadilan yang dialami
wanita, termasuk strategi menghadapinya. Dimulai pada feminisme
gelombang kedua, sekitar tahun 60-an, berkembang beberapa aliran berdasarkan
basis ideologi yang beragam. Sebut saja feminisme radikal, feminisme sosialis,
feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme eksistensialis, feminisme
postmodern, serta feminisme multikultural dan global.[i] Terakhir
muncul yang disebut ecofeminism. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu
berikut kritiknya[ii]:
1. Feminisme Radikal
Feminisme muncul dari ranah
aktivis dan analis politik mengenai hak-hak sipil dan gerakan-gerakan perubahan
sosial pada tahun 1950-60an. Mazhab ini secara mendasar menolak agenda
feminisme liberal tentang kesamaan hak wanita serta menolak strategi mereka
yang lebih cenderung bersifat tambal sulam. Alih-alih bertujuan menyamakan
laki-laki dan perempuan, feminis radikal justru menekankan perbedaan antara
perempuan dan laki-laki. Misalnya, mereka menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan mengonseptualisasikan
kekuasaan dengan cara yang berbeda. Bila laki-laki berusaha untuk mendominasi
dan mengontrol orang lain; wanita lebih tertarik untuk berbagi dan merawat
kekuasaan.
Jargon mereka yang terkenal
adalah the personal is political. Maksudnya adalah pengalaman-pengalaman
perempuan dalam ketidakadilan oleh kaum laki-laki yang sering dianggap hanya
sebagai masalah personal, pada kenyataannya merupakan masalah politik akibat
ketidakseimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Mereka juga memprotes eksploitasi perempuan
dan peranannya sebagai istri, ibu, maupun pasangan seks laki-laki pada umumnya.
Bagi mereka, lembaga perkawinan adalah wahana untuk menformalkan penindasan
terhadap perempuan. Jadi, penolakan terhadap perkawinan baik secara teoritis
maupun praktis merupakan sikap yang umumnya diambil para feminis radikal. Mereka
menggambarkan bahwa sexism sebagai sistem sosial yang terdiri atas hukum,
tradisi, ekonomi, pendidikan, lembaga keagamaan, ilmu pengetahuan, bahasa,
media massa, moralitas seksual, perawatan anak, pembagian kerja dan interaksi
sosial sehari-hari. Sistem tersebut selama ini telah memberikan kekuasaan yang
lebih besar kepada laki-laki ketimbang perempuan. Karena itulah dalam pandangan
mereka perlu ada perombakan besar-besaran terhadap sistem sosial mulai dari
asasnya.
Dari ulasan di atas nampak
bahwa pandangan feminis radikal terperangkap dalam anggapan bahwa laki-laki
adalah penindas sejati sementara perempuan digambarkan innocent. Misandri
(kebencian terhadap laki-laki) sangat jelas terpancar dalam sikap mereka.
Akhirnya membawa mereka jauh dari pemahaman terhadap realitas permasalahan yang
sesungguhnya. Laki-laki dan perempuan dalam kapasitasnya sebagai pihak-pihak
yang berinteraksi secara sosial sama-sama berpeluang untuk melakukan intimidasi
satu pada yang lainnya ketika situasi (sosial, politik, hukum,
memungkinkannya). Dalam beberapa kasus KDRT malah suami yang menjadi korbannya.
Lebih jauh lagi, para feminis radikal menolak fitrah manusia dengan
kecenderungannya menolak hubungan heteroseksual. Dengan demikian sangat
jelaslah kebahayaan pandangan ini baik dilihat dari sudut pandang agama, sosial,
maupun politik.
2. Feminisme Sosialis
Adapun aliran ini, mengambil
pendekatan dari analisis historis materialis marxis ditambah wawasan “the
personal is political”. Pandangan Marx menyatakan bahwa cara-cara hidup
manusia merupakan hasil dari apa yang mereka produksi dan bagaimana mereka
memproduksinya. Karena itulah menurutnya semua sejarah politik dan intelektual
dapat diketahui dengan mengetahui mode produksi ekonomi (mode of economic
production) yang dilakukan umat manusia. Katanya lagi, “bukanlah kesadaran
yang menentukan (corak dan bentuk, pen) kehidupan, tapi justru sebaliknya,
kehidupanlah yang menentukan kesadaran manusia.
Sementara Engels menulis bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
peranan-peranan penting dalam memelihara keluarga inti. Akan tetapi, karena
tugas-tugas tradisional perempuan mencakup pemeliharaan rumah dan penyiapan
makanan; sedangkan tugas laki-laki menyiapkan makanan, memiliki dan memerintah
budak, serta memiliki alat-alat yang mendukung pelaksanaan tugas-tugas
tersebut, laki-laki memiliki akumulasi kekayaan yang lebih besar dari wanita.
Akumulasi kekayaan inilah yang menghadirkan implikasi tingginya posisi
laki-laki dalam keluarga.
Berdasarkan sudut pandang
seperti itu, para feminis sosialis menggagas untuk melakukan perombakan
terhadap alat-alat produksi sehingga perempuan yang semula berada di luar
kegiatan produksi dapat dimasukkan ke dalam analisis kelas. Perubahan alat-alat
produksi menjadi necessary condition, meski bukan sufficient
condition dalam mengubah faktor-faktor yang mempengaruhi penindasan
terhadap perempuan. Selain itu mereka mengusulkan untuk memberi upah atas
tugas-tugas rumah tangga yang dikerjakan oleh kaum perempuan. Logika mereka
adalah sebagai berikut: “Kapitalisme bergantung pada tenaga kerja yang gratis
(ibu rumah tangga) untuk mempertahankan para pekerja mereka (para pekerja dapat
leluasa bekerja dalam industri karena di rumah-rumah mereka ada para istri yang
mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, pen); jika para ibu rumah tangga menolak
untuk terus bekerja tanpa dibayar, maka kapitalisme dengan sendirinya takkan
dapat berfungsi lagi...”
Dalam pandangan mereka,
kapitalisme memperkuat sexism karena memisahkan antara kerja bergaji
dengan domestik serta memaksa kaum perempuan mengerjakan kerja domestik. Dengan
posisinya yang seperti itu, laki-laki mendapatkan akses yang lebih luas pada
waktu luang, pelayanan personal, serta kemewahan yang mengangkat standard
hidupnya lebih tinggi dari wanita.
Kita dapat menyimpulkan bahwa
para feminis sosialis terlampau simplistik dalam memandang keluarga sebagai
pembagian sector privat di dalam sistem kapitalis yang tidak tersentuh sistem
produksi. Mereka terperangkap dalam sudut pandang marxisme klasik yang
menitikberatkan ekonomi sebagai poin utama kehidupan dan mode produksilah yang
menentukan corak kehidupan. Padahal keluarga lebih dari itu. Bukan sekedar
urusan keuangan dan perkara jaminan ekonomi yang didapatkan orang-orang dalam
hidup berkeluarga. Dengan demikian keterlibatan perempuan dalam
mengorganisasikan (bukan menanggung seluruh beban) pekerjaan rumah tangga pada
level tertentu dipandang sebagai lebih dari semata-mata pelaksanaan kewajiban
oleh para ibu. Mereka memandangnya sebagai pengabdian dan keluarga diposisikan
sebagai tempat untuk berbagi kasih sayang di mana setiap anggota keluarga
mendukung satu sama lain dalam posisi khususnya, tidak dalam posisi
ordinat-subordinat. Selain itu permasalahan akses-akses yang lebih besar pada
kesenangan hidup yang diperoleh laki-laki akibat akumulasi kekayaan yang
didapatkannya dari pekerjaan juga bukan implikasi langsung dari kerja kerasnya.
Di dalam Islam, tanggung jawab nafkah yang dibebankan pada laki-laki
menuntutnya untuk memberikan penghidupan yang layak, yang terbaik sesuai
kemampuannya. Setiap penghasilannya menjadi milik bersama dalam keluarga, maka
tidak benar bila sebagai breadwinner laki-laki secara otomatis
mendapatkan bagian terbesar dari apa
yang diusahakannya dan kikir terhadap keluarganya sendiri. Perempuan tidak
perlu beramai-ramai terjun ke dalam dunia industri dan turut teralienasi
(meminjam bahasa mereka) untuk mendapatkan akses yang lebih baik terhadap
perekonomian dan penghidupan yang layak.
3. Feminisme Psikoanalisis dan Gender
Aliran ini berpijak pada
pandangan psikoanalisa yang digagas Sigmund Freud. Secara umum, Freud
beranggapan bahwa tingkat perkembangan superego perempuan sangat jauh berbeda
dari laki-laki. Perempuan tidak akan pernah bisa terlalu impersonal atau
terlalu mandiri terhadap emosi mereka. Perempuan dianggap kurang peka terhadap
keadilan serta kurang siap menghadapi kehidupan. Hal ini terjadi karena
dominasi aspek perasaan dalam diri perempuan. Freud menggambarkan tiga proses
dalam perkembangan manusia: 1. fase oral (ketika memperoleh kepuasan seksual
melalui organ mulut); 2.fase anal (ketika merasakan sensasi pada daerah
anal/genitalia); 3.fase phallic, ketiga tahapan inilah yang mengembangkan super
ego (relasi sosial) bagi manusia. Berdasarkan pandangan demikian, perempuan
dianggap sebagai makhluk yang tidak lengkap.
Feminisme psikoanalisis
memandang bahwa sebab penindasan terhadap perempuan adalah ketiadaan penis pada
perempuan. Aspek phallus itulah yang memberikan laki-laki kekuasaan lebih
terhadap perempuan. Dari sini fokus mereka mengerucut pada aspek-aspek
psikologis laki-laki dan perempuan saja. Mereka memandang bahwa laki-laki dan
perempuan dibesarkan dalam nilai gender yang spesifik.
Kalau kita melihat implikasi
dari pemikiran feminisme aliran ini, seolah perempuan diposisikan sebagai penis-envy.
Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang tidak lengkap sama artinya dengan
dengan sengaja meletakkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari
laki-laki (yang merupakan makhluk yang lengkap dengan penisnya). Mereka
menitikberatkan pandangan pada aspek psyche saja dan berpijak atas kesimpulan
yang salah terhadap realitas perkembangan manusia (teori psikoanalisa Freud)
yang bertumpu pada aspek seksualitasnya saja.
4. Feminisme Eksistensialis
Feminisme eksistensialis
muncul setelah hadirnya buku Simone de Beauvoir, The Second Sex yang
juga tidak terlepas dari teori eksistensialisme Sartrean. Dalam bukunya Being and Nothingness,
Sartre mengungkapkan tiga cara manusia mengeksiskan dirinya, yaitu Etre-en-soi
(being in itself), kemudian Etre-pour-soi (being for itself), dan
terakhir Etre-pour-les autres (being for others). Terkait konsep ketiga inilah yang menempatkan
manusia dalam relasi sosialnya sebagai subjek yang senantiasa mempertahankan
kesubjekan dirinya dan mengobjekkan yang lainnya. Pihak yang kalah akan terobjekkan dan menjadi malafide (pihak
yang mau saja diatur karena tidak dapat mempertahankan kesubjekannya dan tidak
mau menerima kebebasan sebagai tanggung jawabnya). Kondisi perempuan yang
senantiasa menjadi objek dari laki-laki adalah malafide dalam pandangan
Beauvoir. Dia menolak pandangan feminisme psikoanalisis yang memandang
perempuan sebagai makhluk tidak lengakap. Baginya dalam keterbatasan
biologisnya, perempuan mampu membangun eksistensinya sendiri. Beauvoir juga
memandang bahwa institusi pernikahan merupakan lembaga yang merenggut kebebasan
perempuan, karena di dalamnya perempuan kesulitan mensubjekkan dirinya sendiri
di bawah pengaruh dan bayang-bayang suami.
Dari pandangan Beauvoir
terhadap perempuan, meski ia menolak pandangan psikoanalisa terhadap
ketidaklengkapan tubuh perempuan, namun ia menganjurkan agar perempuan tidak
mengindahkan tubuh mereka serta berinteraksi langsung dengan sekitar untuk
mewujud sebagai subjek. Ia tetap mengakui bahwa bagaimanapun laki-laki
diuntungkan dengan bentuk tubuh mereka sehingga mendapat porsi kuasa yang lebih
dari perempuan. Perempuan tertindas karena inferioritasnya. Akan tetapi
Beauvoir tetap terjebak dalam pandangan yang memversuskan laki-laki dan
perempuan dalam relasi sosial.
5. Feminisme Postmodern
Pandangan ini terpengaruh
beberapa aliran filsafat modern seperti eksistensialisme, psikoanalisi, dan
dekonstruksi. Tinjauan utama feminisme postmodern adalah pada teks di mana
realitas dipandang sebagai text/intertextual baik yang berupa tipe
lisan, tulisan, maupun imaji (gambar). Dengan kata lain, aliran ini
berpandangan bahwa dominasi laki-laki dan cara berpikirnya diproduksi dalam
bahasa laki-laki. Mereka pada dasarnya menerima perbedaan laki-laki dan
perempuan. Namun perwujudan dominasi yang kadung berada di tangan laki-laki
perlu direkonstruksi melalui pembongkaran narasi-narasi, realitas, konsep
kebenaran, dan bahasa yang diterima dan dikembangkan di dalam masyarakat.
Mereka menganggap bahwa tiap masyarakat diatur oleh rangkaian tanda, peranan,
dan ritual, yang saling berhubungan berupa aturan simbolis. Internalisasi
aturan simbolis tersebut dilakukan melalui bahasa.
Pembongkaran yang dimaksud
tidak meniscayakan penghancuran namun dapat dilakukan dengan memberikan interpretasi
alternatif. Hal tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara: perempuan
membentuk bahasanya sendiri, perempuan membentuk seksualitasnya sendiri, atau
perempuan berusaha untuk menyimpulkan dirinya sendiri (undo diskursus
phallosentris) terlepas dari relasi
pengeksistensian dirinya sebagai lawan seks laki-laki (dalam konteks oposisi
biner teori dekonstruksi Derrida).
Feminisme aliran ini memiliki
fokus tinggi dalam menggaungkan pluralisme dan mendekonstruksi teks terkait
relasi perempuan dan laki-laki di tengah masyarakat. Pandangan dasarnya masih
sama, yaitu kondisi awal perempuan adalah termarjinalkan, hanya saja mereka
menitikberatkan perhatian bahwa marjinalisasi itu dibentuk secara struktural
melalui narasi besar budaya yang dibangun oleh bahasa laki-laki. Jadi perempuan
termarjinalkan bukan semata-mata karena inferioritas akibat kondisi tubuh
mereka, tapi memang ada struktur teks yang menentukan cara bicara, cara
berpikir yang sangat laki-laki. Mereka memandang pengaruh laki-laki dan patriarki
sedemikian besarnya sehingga nampak berlebihan dalam merespon teks dan sedikit
perhatiannya terhadap realitas secara praksis. Seolah-olah perempuan nihil
kontribusinya dalam pembangunan kebudayaan, dan karenanya harus merekonstruksi
bahasanya sendiri hingga identitas seksualnya.
6. Feminisme Multikulturalisme dan Global
Fokus perhatian feminisme
multikulturalisme adalah pengakuan terhadap keragaman budaya yang menempatkan
relasi perempuan dan laki-laki. Mereka menentang supremasi dan dominasi negara-negara
dunia pertama dalam melaksanakan kebijakan nasionalnya sehingga merugikan para
perempuan di dunia ketiga. Karena kondisi para perempuan di dalam setiap kultur
berbeda, maka pendekatan untuk melakukan perlawanan terhadap seksisme pun
menjadi unik dan spesifik terhadap
situasi kultural di mana perempuan tadi hidup. Aliran ini memasukkan
kolonialisme sebagai salah satu penyebab penindasan terhadap perempuan.
7. Ecofeminism
Ekofeminisme termasuk gerakan feminisme kontemporer yang memperluas
gambaran relasi laki-laki dan perempuan
ke dalam konteks kecenderungan manusia untuk mendominasi alam. Dalam hal ini,
perempuan yang terdominasi diposisikan sebagai bagian dari alam. Ekofeminisme
berpendapat bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara feminis dan ekologi.
Hubungan tersebut bersifat konseptual, simbolis, dan linguistik. Menurut Karen J. Warren, keyakinan, nilai,
sikap, dan asumsi dunia barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibangun
atas dasar konseptual patriarkal yang opresif. Modus berpikir seperti ini
memiliki sikap hierarkis (mementingkan struktur ordinat-sub ordinat); dualisme
nilai; serta bercokolnya logika dominasi. Hal-hal inilah yang dikatakan telah
merusak perempuan dan alam, serta menjauhkannya dari kesetimbangan. Perempuan
“dinaturalisasi” ketika mereka direndahkan dan digambarkan melalui acuan
terhadap binatang seperti ayam, anjing, otak udang, dll. Sementara alam
“difeminisasi” ketika ia “diperkosa”, dikuasai, ditaklukkan, dikendalikan,
dipenetrasi, dikalahkan oleh laki-laki.
Secara umum, ekofeminisme hanya mengulang kesalahan berbagai aliran
feminisme pendahulunya. Bukan hanya dalam menggambarkan relasi sosial laki-laki
dan perempuan, akan tetapi dalam mendefinisikan laki-laki dan perempuan,
pertama sebagai manusia, dan kedua sebagai lawan jenis.
Dari berbagai aliran pemikiran
feminis di atas, tersimpulkan sejumlah variasi pandangan terkait posisi
perempuan dalam struktur masyarakat. George Ritzer merangkumnya sebagai
berikut:
1. Pandangan yang
menggambarkan posisi perempuan dan pengalamannya dalam berbagai situasi memang
berbeda dari laki-laki (perbedaan gender).
2. Pandangan yang
menggambarkan posisi perempuan dalam kebanyakan situasi tak hanya berbeda, akan
tetapi kurang beruntung atau tidak setara dengan laki-laki (ketimpangan
gender).
3. Pandangan yang
secara tegas menyatakan bahwa perempuan ditindas, tak hanya dibedakan atau
tidak setara, akan tetapi secara aktif dikekang, disubordinasikan, dibentuk,
serta digunakan, dan disalahgunakan lelaki (penindasan gender).
4. Pandangan yang
menggambarkan kondisi perempuan yang berbeda, timpang, dan tertindas akibat
posisi sosial mereka (penindasan struktural).
Secara umum kita melihat ada garis
merah yang sama terkait kondisi asal perempuan yang termarjinalkan, tertindas,
terbedakan. Menurut para feminis, pelakunya adalah laki-laki sebagai individu,
struktur kekuasaan sosial, narasi budaya, hingga representasi manusia secara
umum terhadap perempuan yang dinaturalisasi. Dari sini kita melihat kesalahan
besar kaum feminis dimulai sejak mereka mendefinisikan perempuan dan laki-laki
itu sendiri. Sejak awal mereka mengabaikan konsep transenden yang mengakui
keberadaan Pencipta dan Pengatur yang telah menggariskan jalur eksistensi
manusia di atas bumi. Pandangan ini memang lahir dari konsep sekuler liberal
yang menihilkan teks-teks ketuhanan dalam menilai realitas.
Fakta perbedaan biologis perempuan
dipandang menjadi sebab alamiah terjadi penindasan laki-laki atas perempuan.
Karenanya penentangan mereka dilakukan dengan berbagai hal yang melanggar
fitrah tersebut, yakni dengan mengabaikan kondisi tubuh perempuan untuk
menyamakan diri dengan laki-laki bahkan berupaya mengalahkan laki-laki
sebagaimana yang pernah tercatat dalam sejarah pertandingan tenis dunia antara
Bobby Riggs dengan Billie Jean King yang sering disebut sebagai The Battle of the Sexes
Tennis Match,
ketika itu King mengalahkan Riggs dan dielu-elukan oleh feminis di seluruh
dunia sebagai simbol bahwa perempuan
dapat mengalahkan laki-laki.
Kenyataannya, perbedaan biologis
maupun kecenderungan psikologis antara laki-laki dan perempuan tidak menjadi
penyebab otomatis terjadinya ketidakadilan. Kedua, perempuan bukanlah
satu-satunya yang dapat menjadi korban ketidak adilan. Ketiga, posisi dan
peranan khusus di dalam struktur sosial tidak otomatis mencerminkan atau
memberikan derajat hirarkis pada manusia.
Keempat, para feminis cenderung sangat emosional dalam melakukan
analisis realitas dan menentukan strategi mereka dalam “memperjuangkan
keadilan”, hal ini dalam beberapa hal menunjukkan sikap mereka yang ambivalen
terhadap makna keadilan itu sendiri. Di satu sisi mereka menuntut kesetaraan
tetapi para praktiknya mereka mengabsahkan perlakuan yang tidak setara (baca
mengistimewakan perempuan) untuk mendapatkan jaminan kesetaraan tersebut. Kelima, para feminis cenderung kaku memandang
hubungan laki-laki dan perempuan sebagai kompetitor untuk memperoleh dominasi
dalam berbagai struktur sosial.
[i] Suyanto,
Bagong. Husna Amal (ed.). 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial.
Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
[ii] Ulasan pemikiran
dan sejarah beberapa aliran feminisme yang dicantumkan di sini sebagian besar
ditulis ulang dan dikembangkan dari artikel berjudul “Feminisme dan Subordinasi
Perempuan” yang ditulis oleh Andi Suwarko dalam Anatomi dan Perkembangan Teori
Sosial (2010)
*penulis lepas
Mungkin cuplikan ini menarik: Karen Straughan, anti feminis yang menyatakan orasinya dengan tema ‘Murid-murid laki-laki dalam bahaya’ (Male Student in Peril)’ per 1 november 2014 pada Kennesaw State University bahwa dalam sepak terjangnya feminisme selalu menggambarkan bahwa patriarki adalah sistem yang buruk, mendukung tindak kekerasan terhadap perempuan dan harus disingkirkan. Diungkapkannya lagi bahwa didapati ada orang-orang yang mendukung feminisme dan menyatakan diri sebagai feminis dengan proporsi 25% populasi dunia, tetapi didapati populasi 90% mendukung ‘equality’, terdapat kondisi tumpang tindih dalam kasus ini dan bukan tidak mungkin banyak yang menyatakan diri anti feminis. Karen berpendapat bahwa feminisme tidak sepopuler kelihatannya, banyak yang sebenarnya menyatakan tidak dan diam tidak bergeming sewaktu dihadapkan dengan aksi-aksi feminis. Sumber buku: Awaken The Giant - Bangkitnya Revolusi Sosial Dunia. Sulianta, Feri. 2016. link sumber: http://www.leutikaprio.com/produk/110218/sosial_politik/16121439/awaken_the_giant__bangkitnya_revolusi_sosial_dunia/16117916/feri_sulianta
BalasHapus