Senin, 09 April 2012

Kritik atas Beberapa Aliran Feminisme


Oleh:
Rira Nurmaida*
Dalam pertumbuhan pertama feminisme, yang dominan, kalau bukan satu-satunya adalah gerakan feminisme aliran liberal tradisionalis yang ditandai dengan tulisan judul buku Mary Wollstonecraft (A Vindication of the Rights of Women). Ide utama feminis generasi pertama masih berkutat seputar kesetaraan hak terutama dalam keluarga, pendidikan, dan politik. Pada perkembangannya, feminisme tumbuh menjadi berbagai aliran dengan perspektif masing-masing terhadap ketidakadilan yang dialami wanita, termasuk strategi menghadapinya. Dimulai pada feminisme gelombang kedua, sekitar tahun 60-an, berkembang beberapa aliran berdasarkan basis ideologi yang beragam. Sebut saja feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme eksistensialis, feminisme postmodern, serta feminisme multikultural dan global.[i] Terakhir muncul yang disebut ecofeminism. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu berikut kritiknya[ii]:

1.       Feminisme Radikal

Feminisme muncul dari ranah aktivis dan analis politik mengenai hak-hak sipil dan gerakan-gerakan perubahan sosial pada tahun 1950-60an. Mazhab ini secara mendasar menolak agenda feminisme liberal tentang kesamaan hak wanita serta menolak strategi mereka yang lebih cenderung bersifat tambal sulam. Alih-alih bertujuan menyamakan laki-laki dan perempuan, feminis radikal justru menekankan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya, mereka menyatakan bahwa  laki-laki dan perempuan mengonseptualisasikan kekuasaan dengan cara yang berbeda. Bila laki-laki berusaha untuk mendominasi dan mengontrol orang lain; wanita lebih tertarik untuk berbagi dan merawat kekuasaan.

Jargon mereka yang terkenal adalah the personal is political. Maksudnya adalah pengalaman-pengalaman perempuan dalam ketidakadilan oleh kaum laki-laki yang sering dianggap hanya sebagai masalah personal, pada kenyataannya merupakan masalah politik akibat ketidakseimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki.  Mereka juga memprotes eksploitasi perempuan dan peranannya sebagai istri, ibu, maupun pasangan seks laki-laki pada umumnya. Bagi mereka, lembaga perkawinan adalah wahana untuk menformalkan penindasan terhadap perempuan. Jadi, penolakan terhadap perkawinan baik secara teoritis maupun praktis merupakan sikap yang umumnya diambil para feminis radikal. Mereka menggambarkan bahwa sexism sebagai sistem sosial yang terdiri atas hukum, tradisi, ekonomi, pendidikan, lembaga keagamaan, ilmu pengetahuan, bahasa, media massa, moralitas seksual, perawatan anak, pembagian kerja dan interaksi sosial sehari-hari. Sistem tersebut selama ini telah memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada laki-laki ketimbang perempuan. Karena itulah dalam pandangan mereka perlu ada perombakan besar-besaran terhadap sistem sosial mulai dari asasnya.

Dari ulasan di atas nampak bahwa pandangan feminis radikal terperangkap dalam anggapan bahwa laki-laki adalah penindas sejati sementara perempuan digambarkan innocent. Misandri (kebencian terhadap laki-laki) sangat jelas terpancar dalam sikap mereka. Akhirnya membawa mereka jauh dari pemahaman terhadap realitas permasalahan yang sesungguhnya. Laki-laki dan perempuan dalam kapasitasnya sebagai pihak-pihak yang berinteraksi secara sosial sama-sama berpeluang untuk melakukan intimidasi satu pada yang lainnya ketika situasi (sosial, politik, hukum, memungkinkannya). Dalam beberapa kasus KDRT malah suami yang menjadi korbannya. Lebih jauh lagi, para feminis radikal menolak fitrah manusia dengan kecenderungannya menolak hubungan heteroseksual. Dengan demikian sangat jelaslah kebahayaan pandangan ini baik dilihat dari sudut pandang agama, sosial, maupun politik.

2.       Feminisme Sosialis

Adapun aliran ini, mengambil pendekatan dari analisis historis materialis marxis ditambah wawasan “the personal is political”. Pandangan Marx menyatakan bahwa cara-cara hidup manusia merupakan hasil dari apa yang mereka produksi dan bagaimana mereka memproduksinya. Karena itulah menurutnya semua sejarah politik dan intelektual dapat diketahui dengan mengetahui mode produksi ekonomi (mode of economic production) yang dilakukan umat manusia. Katanya lagi, “bukanlah kesadaran yang menentukan (corak dan bentuk, pen) kehidupan, tapi justru sebaliknya, kehidupanlah yang menentukan kesadaran manusia.  Sementara Engels menulis bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peranan-peranan penting dalam memelihara keluarga inti. Akan tetapi, karena tugas-tugas tradisional perempuan mencakup pemeliharaan rumah dan penyiapan makanan; sedangkan tugas laki-laki menyiapkan makanan, memiliki dan memerintah budak, serta memiliki alat-alat yang mendukung pelaksanaan tugas-tugas tersebut, laki-laki memiliki akumulasi kekayaan yang lebih besar dari wanita. Akumulasi kekayaan inilah yang menghadirkan implikasi tingginya posisi laki-laki dalam keluarga.

Berdasarkan sudut pandang seperti itu, para feminis sosialis menggagas untuk melakukan perombakan terhadap alat-alat produksi sehingga perempuan yang semula berada di luar kegiatan produksi dapat dimasukkan ke dalam analisis kelas. Perubahan alat-alat produksi menjadi necessary condition, meski bukan sufficient condition dalam mengubah faktor-faktor yang mempengaruhi penindasan terhadap perempuan. Selain itu mereka mengusulkan untuk memberi upah atas tugas-tugas rumah tangga yang dikerjakan oleh kaum perempuan. Logika mereka adalah sebagai berikut: “Kapitalisme bergantung pada tenaga kerja yang gratis (ibu rumah tangga) untuk mempertahankan para pekerja mereka (para pekerja dapat leluasa bekerja dalam industri karena di rumah-rumah mereka ada para istri yang mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, pen); jika para ibu rumah tangga menolak untuk terus bekerja tanpa dibayar, maka kapitalisme dengan sendirinya takkan dapat berfungsi lagi...”

Dalam pandangan mereka, kapitalisme memperkuat sexism karena memisahkan antara kerja bergaji dengan domestik serta memaksa kaum perempuan mengerjakan kerja domestik. Dengan posisinya yang seperti itu, laki-laki mendapatkan akses yang lebih luas pada waktu luang, pelayanan personal, serta kemewahan yang mengangkat standard hidupnya lebih tinggi dari wanita.

Kita dapat menyimpulkan bahwa para feminis sosialis terlampau simplistik dalam memandang keluarga sebagai pembagian sector privat di dalam sistem kapitalis yang tidak tersentuh sistem produksi. Mereka terperangkap dalam sudut pandang marxisme klasik yang menitikberatkan ekonomi sebagai poin utama kehidupan dan mode produksilah yang menentukan corak kehidupan. Padahal keluarga lebih dari itu. Bukan sekedar urusan keuangan dan perkara jaminan ekonomi yang didapatkan orang-orang dalam hidup berkeluarga. Dengan demikian keterlibatan perempuan dalam mengorganisasikan (bukan menanggung seluruh beban) pekerjaan rumah tangga pada level tertentu dipandang sebagai lebih dari semata-mata pelaksanaan kewajiban oleh para ibu. Mereka memandangnya sebagai pengabdian dan keluarga diposisikan sebagai tempat untuk berbagi kasih sayang di mana setiap anggota keluarga mendukung satu sama lain dalam posisi khususnya, tidak dalam posisi ordinat-subordinat. Selain itu permasalahan akses-akses yang lebih besar pada kesenangan hidup yang diperoleh laki-laki akibat akumulasi kekayaan yang didapatkannya dari pekerjaan juga bukan implikasi langsung dari kerja kerasnya. Di dalam Islam, tanggung jawab nafkah yang dibebankan pada laki-laki menuntutnya untuk memberikan penghidupan yang layak, yang terbaik sesuai kemampuannya. Setiap penghasilannya menjadi milik bersama dalam keluarga, maka tidak benar bila sebagai breadwinner laki-laki secara otomatis mendapatkan bagian terbesar  dari apa yang diusahakannya dan kikir terhadap keluarganya sendiri. Perempuan tidak perlu beramai-ramai terjun ke dalam dunia industri dan turut teralienasi (meminjam bahasa mereka) untuk mendapatkan akses yang lebih baik terhadap perekonomian dan penghidupan yang layak.

3.       Feminisme Psikoanalisis dan Gender

Aliran ini berpijak pada pandangan psikoanalisa yang digagas Sigmund Freud. Secara umum, Freud beranggapan bahwa tingkat perkembangan superego perempuan sangat jauh berbeda dari laki-laki. Perempuan tidak akan pernah bisa terlalu impersonal atau terlalu mandiri terhadap emosi mereka. Perempuan dianggap kurang peka terhadap keadilan serta kurang siap menghadapi kehidupan. Hal ini terjadi karena dominasi aspek perasaan dalam diri perempuan. Freud menggambarkan tiga proses dalam perkembangan manusia: 1. fase oral (ketika memperoleh kepuasan seksual melalui organ mulut); 2.fase anal (ketika merasakan sensasi pada daerah anal/genitalia); 3.fase phallic, ketiga tahapan inilah yang mengembangkan super ego (relasi sosial) bagi manusia. Berdasarkan pandangan demikian, perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak lengkap.

Feminisme psikoanalisis memandang bahwa sebab penindasan terhadap perempuan adalah ketiadaan penis pada perempuan. Aspek phallus itulah yang memberikan laki-laki kekuasaan lebih terhadap perempuan. Dari sini fokus mereka mengerucut pada aspek-aspek psikologis laki-laki dan perempuan saja. Mereka memandang bahwa laki-laki dan perempuan dibesarkan dalam nilai gender yang spesifik.

Kalau kita melihat implikasi dari pemikiran feminisme aliran ini, seolah perempuan diposisikan sebagai penis-envy. Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang tidak lengkap sama artinya dengan dengan sengaja meletakkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki (yang merupakan makhluk yang lengkap dengan penisnya). Mereka menitikberatkan pandangan pada aspek psyche saja dan berpijak atas kesimpulan yang salah terhadap realitas perkembangan manusia (teori psikoanalisa Freud) yang bertumpu pada aspek seksualitasnya saja. 

4.       Feminisme Eksistensialis

Feminisme eksistensialis muncul setelah hadirnya buku Simone de Beauvoir, The Second Sex yang juga tidak terlepas dari teori eksistensialisme Sartrean.  Dalam bukunya Being and Nothingness, Sartre mengungkapkan tiga cara manusia mengeksiskan dirinya, yaitu Etre-en-soi (being in itself), kemudian Etre-pour-soi (being for itself), dan terakhir Etre-pour-les autres (being for others).  Terkait konsep ketiga inilah yang menempatkan manusia dalam relasi sosialnya sebagai subjek yang senantiasa mempertahankan kesubjekan dirinya dan mengobjekkan yang lainnya. Pihak yang kalah  akan terobjekkan dan menjadi malafide (pihak yang mau saja diatur karena tidak dapat mempertahankan kesubjekannya dan tidak mau menerima kebebasan sebagai tanggung jawabnya). Kondisi perempuan yang senantiasa menjadi objek dari laki-laki adalah malafide dalam pandangan Beauvoir. Dia menolak pandangan feminisme psikoanalisis yang memandang perempuan sebagai makhluk tidak lengakap. Baginya dalam keterbatasan biologisnya, perempuan mampu membangun eksistensinya sendiri. Beauvoir juga memandang bahwa institusi pernikahan merupakan lembaga yang merenggut kebebasan perempuan, karena di dalamnya perempuan kesulitan mensubjekkan dirinya sendiri di bawah pengaruh dan bayang-bayang suami.

Dari pandangan Beauvoir terhadap perempuan, meski ia menolak pandangan psikoanalisa terhadap ketidaklengkapan tubuh perempuan, namun ia menganjurkan agar perempuan tidak mengindahkan tubuh mereka serta berinteraksi langsung dengan sekitar untuk mewujud sebagai subjek. Ia tetap mengakui bahwa bagaimanapun laki-laki diuntungkan dengan bentuk tubuh mereka sehingga mendapat porsi kuasa yang lebih dari perempuan. Perempuan tertindas karena inferioritasnya. Akan tetapi Beauvoir tetap terjebak dalam pandangan yang memversuskan laki-laki dan perempuan dalam relasi sosial.


5.       Feminisme Postmodern

Pandangan ini terpengaruh beberapa aliran filsafat modern seperti eksistensialisme, psikoanalisi, dan dekonstruksi. Tinjauan utama feminisme postmodern adalah pada teks di mana realitas dipandang sebagai text/intertextual baik yang berupa tipe lisan, tulisan, maupun imaji (gambar). Dengan kata lain, aliran ini berpandangan bahwa dominasi laki-laki dan cara berpikirnya diproduksi dalam bahasa laki-laki. Mereka pada dasarnya menerima perbedaan laki-laki dan perempuan. Namun perwujudan dominasi yang kadung berada di tangan laki-laki perlu direkonstruksi melalui pembongkaran narasi-narasi, realitas, konsep kebenaran, dan bahasa yang diterima dan dikembangkan di dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa tiap masyarakat diatur oleh rangkaian tanda, peranan, dan ritual, yang saling berhubungan berupa aturan simbolis. Internalisasi aturan simbolis tersebut dilakukan melalui bahasa.

Pembongkaran yang dimaksud tidak meniscayakan penghancuran namun dapat dilakukan dengan memberikan interpretasi alternatif. Hal tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara: perempuan membentuk bahasanya sendiri, perempuan membentuk seksualitasnya sendiri, atau perempuan berusaha untuk menyimpulkan dirinya sendiri (undo diskursus phallosentris)  terlepas dari relasi pengeksistensian dirinya sebagai lawan seks laki-laki (dalam konteks oposisi biner teori dekonstruksi Derrida).

Feminisme aliran ini memiliki fokus tinggi dalam menggaungkan pluralisme dan mendekonstruksi teks terkait relasi perempuan dan laki-laki di tengah masyarakat. Pandangan dasarnya masih sama, yaitu kondisi awal perempuan adalah termarjinalkan, hanya saja mereka menitikberatkan perhatian bahwa marjinalisasi itu dibentuk secara struktural melalui narasi besar budaya yang dibangun oleh bahasa laki-laki. Jadi perempuan termarjinalkan bukan semata-mata karena inferioritas akibat kondisi tubuh mereka, tapi memang ada struktur teks yang menentukan cara bicara, cara berpikir yang sangat laki-laki. Mereka memandang pengaruh laki-laki dan patriarki sedemikian besarnya sehingga nampak berlebihan dalam merespon teks dan sedikit perhatiannya terhadap realitas secara praksis. Seolah-olah perempuan nihil kontribusinya dalam pembangunan kebudayaan, dan karenanya harus merekonstruksi bahasanya sendiri hingga identitas seksualnya.

6.       Feminisme Multikulturalisme dan Global

Fokus perhatian feminisme multikulturalisme adalah pengakuan terhadap keragaman budaya yang menempatkan relasi perempuan dan laki-laki. Mereka menentang supremasi dan dominasi negara-negara dunia pertama dalam melaksanakan kebijakan nasionalnya sehingga merugikan para perempuan di dunia ketiga. Karena kondisi para perempuan di dalam setiap kultur berbeda, maka pendekatan untuk melakukan perlawanan terhadap seksisme pun menjadi unik dan spesifik terhadap  situasi kultural di mana perempuan tadi hidup. Aliran ini memasukkan kolonialisme sebagai salah satu penyebab penindasan terhadap perempuan.

7.       Ecofeminism

Ekofeminisme termasuk gerakan feminisme kontemporer yang memperluas gambaran relasi  laki-laki dan perempuan ke dalam konteks kecenderungan manusia untuk mendominasi alam. Dalam hal ini, perempuan yang terdominasi diposisikan sebagai bagian dari alam. Ekofeminisme berpendapat bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara feminis dan ekologi. Hubungan tersebut bersifat konseptual, simbolis, dan linguistik.  Menurut Karen J. Warren, keyakinan, nilai, sikap, dan asumsi dunia barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibangun atas dasar konseptual patriarkal yang opresif. Modus berpikir seperti ini memiliki sikap hierarkis (mementingkan struktur ordinat-sub ordinat); dualisme nilai; serta bercokolnya logika dominasi. Hal-hal inilah yang dikatakan telah merusak perempuan dan alam, serta menjauhkannya dari kesetimbangan. Perempuan “dinaturalisasi” ketika mereka direndahkan dan digambarkan melalui acuan terhadap binatang seperti ayam, anjing, otak udang, dll. Sementara alam “difeminisasi” ketika ia “diperkosa”, dikuasai, ditaklukkan, dikendalikan, dipenetrasi, dikalahkan oleh laki-laki.


Secara umum, ekofeminisme hanya mengulang kesalahan berbagai aliran feminisme pendahulunya. Bukan hanya dalam menggambarkan relasi sosial laki-laki dan perempuan, akan tetapi dalam mendefinisikan laki-laki dan perempuan, pertama sebagai manusia, dan kedua sebagai lawan jenis. 

Dari berbagai aliran pemikiran feminis di atas, tersimpulkan sejumlah variasi pandangan terkait posisi perempuan dalam struktur masyarakat. George Ritzer merangkumnya sebagai berikut:

1.       Pandangan yang menggambarkan posisi perempuan dan pengalamannya dalam berbagai situasi memang berbeda dari laki-laki (perbedaan gender).
2.       Pandangan yang menggambarkan posisi perempuan dalam kebanyakan situasi tak hanya berbeda, akan tetapi kurang beruntung atau tidak setara dengan laki-laki (ketimpangan gender).
3.       Pandangan yang secara tegas menyatakan bahwa perempuan ditindas, tak hanya dibedakan atau tidak setara, akan tetapi secara aktif dikekang, disubordinasikan, dibentuk, serta digunakan, dan disalahgunakan lelaki (penindasan gender).
4.       Pandangan yang menggambarkan kondisi perempuan yang berbeda, timpang, dan tertindas akibat posisi sosial mereka (penindasan struktural).

Secara umum kita melihat ada garis merah yang sama terkait kondisi asal perempuan yang termarjinalkan, tertindas, terbedakan. Menurut para feminis, pelakunya adalah laki-laki sebagai individu, struktur kekuasaan sosial, narasi budaya, hingga representasi manusia secara umum terhadap perempuan yang dinaturalisasi. Dari sini kita melihat kesalahan besar kaum feminis dimulai sejak mereka mendefinisikan perempuan dan laki-laki itu sendiri. Sejak awal mereka mengabaikan konsep transenden yang mengakui keberadaan Pencipta dan Pengatur yang telah menggariskan jalur eksistensi manusia di atas bumi. Pandangan ini memang lahir dari konsep sekuler liberal yang menihilkan teks-teks ketuhanan dalam menilai realitas.

Fakta perbedaan biologis perempuan dipandang menjadi sebab alamiah terjadi penindasan laki-laki atas perempuan. Karenanya penentangan mereka dilakukan dengan berbagai hal yang melanggar fitrah tersebut, yakni dengan mengabaikan kondisi tubuh perempuan untuk menyamakan diri dengan laki-laki bahkan berupaya mengalahkan laki-laki sebagaimana yang pernah tercatat dalam sejarah pertandingan tenis dunia antara Bobby Riggs dengan Billie Jean King yang sering disebut sebagai The Battle of the Sexes Tennis Match, ketika itu King mengalahkan Riggs dan dielu-elukan oleh feminis di seluruh dunia sebagai simbol  bahwa perempuan dapat mengalahkan laki-laki.

Kenyataannya, perbedaan biologis maupun kecenderungan psikologis antara laki-laki dan perempuan tidak menjadi penyebab otomatis terjadinya ketidakadilan. Kedua, perempuan bukanlah satu-satunya yang dapat menjadi korban ketidak adilan. Ketiga, posisi dan peranan khusus di dalam struktur sosial tidak otomatis mencerminkan atau memberikan derajat hirarkis pada manusia.  Keempat, para feminis cenderung sangat emosional dalam melakukan analisis realitas dan menentukan strategi mereka dalam “memperjuangkan keadilan”, hal ini dalam beberapa hal menunjukkan sikap mereka yang ambivalen terhadap makna keadilan itu sendiri. Di satu sisi mereka menuntut kesetaraan tetapi para praktiknya mereka mengabsahkan perlakuan yang tidak setara (baca mengistimewakan perempuan) untuk mendapatkan jaminan kesetaraan tersebut.  Kelima, para feminis cenderung kaku memandang hubungan laki-laki dan perempuan sebagai kompetitor untuk memperoleh dominasi dalam berbagai struktur sosial.

Sudah sekitar dua ratus tahun perjuangan gerakan feminisme, hasil yang dapat mereka berikan pada kemanusiaan hanyalah intensifikasi kerusakan dalam sendi-sendi kehidupan. Berangkat dari upaya memperjuangkan keadilan perempuan terutama di sektor publik, mereka menggadaikan kekokohan struktur keluarga yang juga mendukung struktur sosial kemasyarakatan. Akhirnya, struktur sosial yang mereka upayakan berubah dengan keterlibatan mereka secara penuh sebagai pesaing laki-laki memang berubah corak seiring dengan rapuh dan rusaknya institusi keluar


[i] Suyanto, Bagong. Husna Amal (ed.). 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
[ii] Ulasan pemikiran dan sejarah beberapa aliran feminisme yang dicantumkan di sini sebagian besar ditulis ulang dan dikembangkan dari artikel berjudul “Feminisme dan Subordinasi Perempuan” yang ditulis oleh Andi Suwarko dalam Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial (2010)

*penulis lepas

1 komentar:

  1. Mungkin cuplikan ini menarik: Karen Straughan, anti feminis yang menyatakan orasinya dengan tema ‘Murid-murid laki-laki dalam bahaya’ (Male Student in Peril)’ per 1 november 2014 pada Kennesaw State University bahwa dalam sepak terjangnya feminisme selalu menggambarkan bahwa patriarki adalah sistem yang buruk, mendukung tindak kekerasan terhadap perempuan dan harus disingkirkan. Diungkapkannya lagi bahwa didapati ada orang-orang yang mendukung feminisme dan menyatakan diri sebagai feminis dengan proporsi 25% populasi dunia, tetapi didapati populasi 90% mendukung ‘equality’, terdapat kondisi tumpang tindih dalam kasus ini dan bukan tidak mungkin banyak yang menyatakan diri anti feminis. Karen berpendapat bahwa feminisme tidak sepopuler kelihatannya, banyak yang sebenarnya menyatakan tidak dan diam tidak bergeming sewaktu dihadapkan dengan aksi-aksi feminis. Sumber buku: Awaken The Giant - Bangkitnya Revolusi Sosial Dunia. Sulianta, Feri. 2016. link sumber: http://www.leutikaprio.com/produk/110218/sosial_politik/16121439/awaken_the_giant__bangkitnya_revolusi_sosial_dunia/16117916/feri_sulianta

    BalasHapus