Oleh:
Rira Nurmaida*
Salah satu entry point utama gerakan
liberasi dan emansipasi perempuan adalah agenda yang dilontarkan oleh Mary
Wollstonecraft dalam A Vindication of the Rights of Women (1792). Gerakan ini muncul dengan asumsi awal bahwa perempuan
berada dalam posisi termarginalkan, sebagai subordinat, terkucilkan, dan berada
dalam dominasi laki-laki. Sebelumnya telah ada sejumlah pemikir yang
mengemukakan hal-hal terkait hak perempuan untuk bersuara dalam politik seperti
Jeremy Bentham (1781) dalam Introduction
to the Principles of Morals and Legislation , serta Marquis de Condorcet
yang menulis sebuah artikel dalam Journal de la Société de 1789. Tapi istilah feminis itu sendiri baru
muncul sekitar tahun 1872 di Prancis dan Belanda[i].
Secara kronologis, ada beberapa gelombang
gerakan feminisme yang dapat ditelusuri. Gelombang pertama (first wave
feminism[ii])
merupakan tonggak kelahiran teori feminisme yang dipelopori feminis liberal
tradisional seperti yang disebutkan di awal tulisan ini. Fokus mereka adalah mengkritik pandangan yang
salah di tengah masyarakat bahwasanya perempuan secara alamiah tidak secerdas
dan sekuat laki-laki sehingga terhalangi untuk memasuki ranah publik dan
termarginalkan di akademi, forum-forum, dll. Hal itu menyebabkan potensi-potensi
perempuan tidak teraktualisasikan. Jadi ranah utama tuntutannya seputar hak
suara dalam politik, hak untuk mendapatkan pendidikan setara serta hak untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak. Poin-poin yang ditekankan oleh aliran ini antara lain:
1. Keadilan gender menuntut untuk membuat aturan
main yang adil
2. 2. Tidak satupun dari kompetitor yang
berlomba-lomba untuk melayani dan memberi kebaikan pada masyarakat, dirugikan
secara sistematis.[iii]
Di Amerika Serikat, gerakan ini digawangi oleh Susan B. Anthony dan
Elizabeth Cady Stanton. Sering juga disebut sebagai suffrage
movement. Sesuai dengan tujuannya,
akhir dari perjuangan pada gelombang ini berakhir bersamaan dengan ratifikasi Twentieth Amendment of the U.S.
Constitution yang
menjamin hak-hak perempuan dalam politik
untuk memberikan suara dalam pemilu.
Adapun gelombang kedua (second-wave feminism)
muncul seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II sekitar tahun 1960-an. Ketika
itu para wanita berbondong-bondong memasuki dunia kerja. Pada gelombang ini,
fokus utamanya adalah memperjuangkan persamaan gender secara total. Kaum
perempuan diharapkan mendapatkan hak-hak sosial, politik, hukum, maupun ekonomi
yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki. Isu-isu tinjauannya
diperluas mencakup seksualitas, keluarga, tempat kerja, hak-hak reproduksi,
serta posisi di hadapan hukum.
Gelombang kedua ini memberikan pengaruh yang
besar dalam tatanan sosial Barat. Untuk
pertama kalinya diloloskan undang-undang yang terkait perkosaan dalam pernikahan[iv],
perubahan dalam hukum-hukum pernikahan dan hak asuh anak, serta meningkatnya
partisipasi perempuan dalam aktivitas-aktivitas kerja maupun cabang olahraga.
Di Amerika Serikat, mulanya mereka gagal mengamandemen Konstitusi dengan
memasukkan pasal terkait persamaan hak-hak. Barulah pada tahun 1972, Equal
Rights Amandement (ERA) diajukan kembali kepada kongres dan disepakati,
kemudian diratifikasi oleh negara. Isinya sebagai berikut: "Equality of rights under the
law shall not be denied or abridged by the United States or by any State on
account of sex." (“Persamaan hak-hak berdasar hukum tidak boleh
ditolak atau dibatasi oleh negara atas pertimbangan jenis kelamin”).
Pada perkembangannya, feminisme tumbuh menjadi
berbagai aliran dengan perspektif
masing-masing terhadap ketidakadilan yang dialami wanita, termasuk
strategi menghadapinya. Pada masa ini berkembang beberapa aliran
berdasarkan basis ideologi yang beragam. Sebut saja feminisme radikal,
feminisme sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme
eksistensialis, feminisme postmodern, serta feminisme multikultural dan global.[v]
Sementara istilah third-wave feminism
pertama kali muncul saat disebutkan oleh seorang wanita Afro-Amerika biseksual,
Rebecca Walker. Pada tahun 1992 ketika usianya 23 tahun ia menulis sebuah esei yang
mencantumkan istilah tersebut di dalamnya. Feminisme generasi ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan gerakan
feminisme sebelumnya dalam mengatasi isu-isu yang disuarakan para wanita muda
terutama mereka yang nonheteroseksual dan non-kulit putih.
Dari uraian di atas terlihat bahwa feminisme
lahir dalam konteks historis Barat yang memang memarginalkan perempuan. Hal ini
sudah tertanam jauh sebelumnya, dalam teori-teori Plato
misalnya, seperti yang
tercantum dalam Timaeus and Laws menekankan
karakterisasi perempuan yang inferior terhadap laki-laki. Kemudian pandangan Aristoteles: keberanian pria terletak pada kekuasaan untuk memerintah,
sementara perempuan dalam menaatinya; perempuan memiliki “gigi” lebih sedikit
dari pria; perempuan adalah pria yang tidak komplit; karakter perempuan dalam
suatu tragedi kurang dipandang kurang pantas bila “terlalu berani atau terlalu
pintar” (Freeland 1994: 145-46). Hingga Hegel pun berpendapat bahwa wanita mampu memeroleh pendidikan,
tapi mereka tidak diciptakan untuk menjawab tantangan dalam hal-hal yang lebih
rumit seperti filsafat, atau sains, serta sejumlah seni tinggi.
Akan halnya saat ini ketika feminisme
ditawarkan secara massif bahkan dipaksakan kepada perempuan-perempuan
muslim—yang dalam sejarahnya tidak mengenal pengalaman buruk sebagaimana
terjadi dalam konteks historis Barat—tentu perlu dikritisi secara khusus. Hak
untuk berpartisipasi dalam pemilihan kepala negara, mendapatkan pendidikan
tinggi, mendapatkan upah yang layak sesuai dengan akad, mendapatkan hak waris,
berhak memberikan persetujuannya dalam pernikahan, mendapatkan hak asuh anak,
berhak untuk memiliki properti sendiri, dll. sudah didapatkan para muslimah
jauh sebelum para tokoh agama dan negarawan Barat berkumpul untuk memutuskan
apakah wanita itu termasuk jenis manusia atau hewan. Jadi untuk apa lagi ide feminisme dengan
gencar ditanamkan ke dalam benak para muslimah? Hal inilah yang perlu ditelaah
dan dikritisi bersama.
[i] Dalam surat
dari pionir feminis berkebangsaan Belanda Mina Kruseman pada Alexandre
Dumas - dalam: Maria Grever, Strijd tegen de stilte. Johanna Naber (1859-1941)
en de vrouwenstem in geschiedenis (Hilversum 1994) ISBN 065503951,
[ii] Sebetulnya ada
pendapat lain yang menyatakan suffrage movement merupakan gelombang
kedua gerakan feminis. Adapun yang pertama adalah gerakan liberasi perempuan
yang dimulai sejak awal abad sebelumnya saat sejumlahpemikir menuntut hak
khusus dan sedikit kebebasan dari suaminya serta hak untuk memperoleh
pendidikan. Tapi dalam literature lain gerakan ini disebut juga sebagai
protofeminism.
[iii] Rosemarie
Putnam Tong. 1998. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Arus Utama
Pemikiran Feminis. (terjemahan). Yogyakarta:Jalasutera.
[iv] Terjadi pada
tahun 1976 di Nebraska yang menyatakan keilegalan seorang suami “memerkosa”
istrinya..
[v] Suyanto,
Bagong. Husna Amal (ed). 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial.
Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
*penulis lepas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar