Senin, 09 April 2012

Sekilas Gerakan Feminisme


Oleh:
Rira Nurmaida*
Salah satu entry point utama gerakan liberasi dan emansipasi perempuan adalah agenda yang dilontarkan oleh Mary Wollstonecraft dalam A Vindication of the Rights of Women (1792).  Gerakan ini muncul dengan asumsi awal bahwa perempuan berada dalam posisi termarginalkan, sebagai subordinat, terkucilkan, dan berada dalam dominasi laki-laki. Sebelumnya telah ada sejumlah pemikir yang mengemukakan hal-hal terkait hak perempuan untuk bersuara dalam politik seperti Jeremy Bentham (1781) dalam Introduction to the Principles of Morals and Legislation , serta Marquis de Condorcet  yang menulis sebuah artikel dalam Journal de la Société de 1789. Tapi istilah feminis itu sendiri baru muncul sekitar tahun 1872 di Prancis dan Belanda[i]

Secara kronologis, ada beberapa gelombang gerakan feminisme yang dapat ditelusuri. Gelombang pertama (first wave feminism[ii]) merupakan tonggak kelahiran teori feminisme yang dipelopori feminis liberal tradisional seperti yang disebutkan di awal tulisan ini.  Fokus mereka adalah mengkritik pandangan yang salah di tengah masyarakat bahwasanya perempuan secara alamiah tidak secerdas dan sekuat laki-laki sehingga terhalangi untuk memasuki ranah publik dan termarginalkan di akademi, forum-forum, dll. Hal itu menyebabkan potensi-potensi perempuan tidak teraktualisasikan. Jadi ranah utama tuntutannya seputar hak suara dalam politik, hak untuk mendapatkan pendidikan setara serta hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Poin-poin yang ditekankan oleh aliran ini antara lain:

      1. Keadilan gender menuntut untuk membuat aturan main yang adil
2.  2. Tidak satupun dari kompetitor yang berlomba-lomba untuk melayani dan memberi kebaikan pada masyarakat, dirugikan secara sistematis.[iii]

Di Amerika Serikat, gerakan ini digawangi oleh Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Stanton. Sering juga disebut sebagai suffrage movement.  Sesuai dengan tujuannya, akhir dari perjuangan pada gelombang ini berakhir bersamaan dengan ratifikasi  Twentieth Amendment of the U.S. Constitution yang menjamin hak-hak perempuan  dalam politik untuk memberikan suara dalam pemilu.

Adapun gelombang kedua (second-wave feminism) muncul seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II sekitar tahun 1960-an. Ketika itu para wanita berbondong-bondong memasuki dunia kerja. Pada gelombang ini, fokus utamanya adalah memperjuangkan persamaan gender secara total. Kaum perempuan diharapkan mendapatkan hak-hak sosial, politik, hukum, maupun ekonomi yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki. Isu-isu tinjauannya diperluas mencakup seksualitas, keluarga, tempat kerja, hak-hak reproduksi, serta posisi di hadapan hukum. 

Gelombang kedua ini memberikan pengaruh yang besar dalam tatanan sosial Barat.  Untuk pertama kalinya diloloskan undang-undang yang terkait perkosaan dalam pernikahan[iv], perubahan dalam hukum-hukum pernikahan dan hak asuh anak, serta meningkatnya partisipasi perempuan dalam aktivitas-aktivitas kerja maupun cabang olahraga. Di Amerika Serikat, mulanya mereka gagal mengamandemen Konstitusi dengan memasukkan pasal terkait persamaan hak-hak. Barulah pada tahun 1972, Equal Rights Amandement (ERA) diajukan kembali kepada kongres dan disepakati, kemudian diratifikasi oleh negara. Isinya sebagai berikut: "Equality of rights under the law shall not be denied or abridged by the United States or by any State on account of sex." (“Persamaan hak-hak berdasar hukum tidak boleh ditolak atau dibatasi oleh negara atas pertimbangan jenis kelamin”).

Pada perkembangannya, feminisme tumbuh menjadi berbagai aliran dengan perspektif  masing-masing terhadap ketidakadilan yang dialami wanita, termasuk strategi menghadapinya. Pada masa ini berkembang beberapa aliran berdasarkan basis ideologi yang beragam. Sebut saja feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme eksistensialis, feminisme postmodern, serta feminisme multikultural dan global.[v]
 
Sementara istilah third-wave feminism pertama kali muncul saat disebutkan oleh seorang wanita Afro-Amerika biseksual, Rebecca Walker. Pada tahun 1992 ketika usianya 23 tahun ia menulis sebuah esei yang mencantumkan istilah tersebut di dalamnya. Feminisme generasi ini muncul  sebagai reaksi atas kegagalan gerakan feminisme sebelumnya dalam mengatasi isu-isu yang disuarakan para wanita muda terutama mereka yang nonheteroseksual dan non-kulit putih.  

Dari uraian di atas terlihat bahwa feminisme lahir dalam konteks historis Barat yang memang memarginalkan perempuan. Hal ini sudah tertanam jauh sebelumnya, dalam teori-teori Plato misalnya, seperti yang tercantum dalam Timaeus and Laws menekankan karakterisasi perempuan yang inferior terhadap laki-laki. Kemudian pandangan Aristoteles: keberanian pria terletak pada kekuasaan untuk memerintah, sementara perempuan dalam menaatinya; perempuan memiliki “gigi” lebih sedikit dari pria; perempuan adalah pria yang tidak komplit; karakter perempuan dalam suatu tragedi kurang dipandang kurang pantas bila “terlalu berani atau terlalu pintar” (Freeland 1994: 145-46). Hingga Hegel pun berpendapat bahwa wanita mampu memeroleh pendidikan, tapi mereka tidak diciptakan untuk menjawab tantangan dalam hal-hal yang lebih rumit seperti filsafat, atau sains, serta sejumlah seni tinggi. 

Akan halnya saat ini ketika feminisme ditawarkan secara massif bahkan dipaksakan kepada perempuan-perempuan muslim—yang dalam sejarahnya tidak mengenal pengalaman buruk sebagaimana terjadi dalam konteks historis Barat—tentu perlu dikritisi secara khusus. Hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan kepala negara, mendapatkan pendidikan tinggi, mendapatkan upah yang layak sesuai dengan akad, mendapatkan hak waris, berhak memberikan persetujuannya dalam pernikahan, mendapatkan hak asuh anak, berhak untuk memiliki properti sendiri, dll. sudah didapatkan para muslimah jauh sebelum para tokoh agama dan negarawan Barat berkumpul untuk memutuskan apakah wanita itu termasuk jenis manusia atau hewan.  Jadi untuk apa lagi ide feminisme dengan gencar ditanamkan ke dalam benak para muslimah? Hal inilah yang perlu ditelaah dan dikritisi bersama.


[i] Dalam surat dari pionir feminis berkebangsaan Belanda  Mina Kruseman pada Alexandre Dumas - dalam: Maria Grever, Strijd tegen de stilte. Johanna Naber (1859-1941) en de vrouwenstem in geschiedenis (Hilversum 1994) ISBN 065503951,
[ii] Sebetulnya ada pendapat lain yang menyatakan suffrage movement merupakan gelombang kedua gerakan feminis. Adapun yang pertama adalah gerakan liberasi perempuan yang dimulai sejak awal abad sebelumnya saat sejumlahpemikir menuntut hak khusus dan sedikit kebebasan dari suaminya serta hak untuk memperoleh pendidikan. Tapi dalam literature lain gerakan ini disebut juga sebagai protofeminism.
[iii] Rosemarie Putnam Tong. 1998. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Arus Utama Pemikiran Feminis. (terjemahan). Yogyakarta:Jalasutera.
[iv] Terjadi pada tahun 1976 di Nebraska yang menyatakan keilegalan seorang suami “memerkosa” istrinya..
[v] Suyanto, Bagong. Husna Amal (ed). 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.

*penulis lepas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar