Oleh:
Nashruddin Syarief*
Peringatan Hari Perempuan Sedunia,
Maret silam (8/3/2012), ditandai dengan mencuatnya kembali wacana UU KKG
(Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender) yang masih berupa rancangan
(RUU) dan sedang digodok di DPR. Bagi Pemerintah (Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak/Kemen PPPA), Pengarusutamaan Gender (PUG) yang
saat ini telah digulirkan berdasarkan Inpres (Instruksi Presiden) no. 9 Tahun
2000 dinilai belum optimal dan tidak akan optimal. Maka dari itu, dipandang
perlu untuk ditetapkan sebuah Undang-undang yang mengikat semua pihak.[1]
Kesetaraan dan Keadilan Gender
Berdasarkan Naskah Akademik RUU KKG,
istilah Kesetaraan dan Keadilan Gender merupakan terjemahan dari gender
equality and equity.[2]
Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan
laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol,
dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.[3]
Sementara Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang
menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki
sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara.[4]
Gender itu sendiri adalah pembedaan
peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil
konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta
dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis
kelamin ke jenis kelamin lainnya.[5]
Istilah gender berasal dari
bahasa Inggris abad pertengahan, gendre. Kata ini berasal dari bahasa
Latin, genus, yang berarti “tipe atau jenis”. Dalam penggunaan
selanjutnya, kata ini berarti tipe, jenis, dan himpunan karakteristik yang
terlihat membedakan laki-laki dan perempuan.[6]
Dari berbagai pendapat pakar
sosiologi dan kebahasaan, menurut Kemen PPPA, pengertian gender berbeda
dengan seks. Gender dibentuk secara sosial (by nurture)
terkait sifat/perilaku, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki.
Gender bersifat sosial budaya dan dikonstruksikan oleh manusia, bukan kodrat,
oleh karena itu bisa dipertukarkan/diubah, karena faktanya berbeda-beda di
berbagai tempat. Sementara seks merupakan sesuatu yang alamiah (by
nature) terkait fisik/fisiologis (alat reproduksi) yang melekat pada
laki-laki dan perempuan. Seks ini bersifat biologis, ilmiah, dan merupakan
pemberian Tuhan (kodrat). Oleh karena itu bersifat tetap dan tidak dapat
berubah dari waktu ke waktu (kecuali dengan intervensi medis).[7]
Perbedaan gender dan seks
Gender
|
Seks
|
·
By nurture
(dibentuk secara sosial)
·
Sifat/perilaku, peran, tanggung jawab perempuan dan
laki-laki
·
Bersifat
sosial budaya
·
Dikonstruksikan
oleh manusia (bukan kodrat)
·
Bisa
dipertukarkan/diubah
·
Berbeda-beda
berdasarkan tempat
·
By
nature (alamiah)
·
Fisik/fisiologis (alat reproduksi) yang melekat pada
laki-laki dan perempuan
·
Bersifat
biologis dan ilmiah
·
Pemberian
Tuhan (kodrat)
·
Tetap
dan tidak dapat berubah dari waktu ke waktu (kecuali dengan intervensi medis)
|
Ketidakadilan Gender
Dalam perspektif Kemen PPPA, ide
kesetaraan dan keadilan gender perlu diwujudkan dalam kehidupan masyarakat
untuk menghilangkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah perbedaan
perlakuan berdasarkan alasan gender dan melahirkan diskriminasi. Diskriminasi
gender itu sendiri ada beberapa bentuk, yaitu:
Pertama, marginalisasi, yakni meminggirkan atau membuang
seseorang/sekelompok orang ke kelas sosial yang lebih rendah. Contoh seorang
ibu tunggal yang tidak mendapatkan bantuan sosial atau perempuan yang
mendapatkan upah yang lebih rendah daripada lelaki yang bekerja pada level yang
sama.[8]
Kedua, subordinasi, yakni anggapan bahwa salah satu jenis kelamin
lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya. Posisi yang lebih rendah itu
biasanya dimiliki oleh perempuan. Contohnya, karena ada tafsir agama yang
menyatakan bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga, sehingga apabila seorang
suami memiliki penghasilan atau kedudukan lebih rendah daripada istrinya, akan
menyebabkan suami tertekan.[9]
Ketiga, stereotip negatif, yakni pelabelan atau penandaan yang
bersifat negatif. Contohnya, label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga”
yang jelas merugikan, sebab jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki”
seperti berpolitik, bisnis, atau birokrat hanya akan dinilai “perpanjangan”
dari peran domestiknya di kerumahtanggaan. Sementara label laki-laki sebagai
pencari nafkah utama (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang
dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung
tidak diperhitungkan.[10]
Keempat, kekerasan (violence), yakni suatu serangan fisik
(perkosaan, pemukulan) maupun nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan)
yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, atau tempat-tempat umum.
Kekerasan ini bisa berupa: (1) Kekerasan fisik seperti penyekapan calon TKW
ilegal oleh calo TKW atau mutilasi terhadap alat kelamin perempuan atas nama
adat dan budaya tertentu. (2) Kekerasan psikis seperti larangan keluar rumah
atau pembatasan bergerak atau beraktivitas lainnya. (3) Kekerasan ekonomi
seperti ibu rumah tangga yang tidak diberikan nafkah ekonomi yang cukup dan
diberikan secara rutin. (4) Perdagangan perempuan.[11]
Dalam RUU KKG sendiri diskriminasi
diartikan sebagai segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan
segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang
mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
penikmatan manfaat, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya, terlepas
dari status perkawinan, atas dasar persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.[12]
Asas Kesetaraan dan Keadilan Gender
Atas dasar pertimbangan tersebut,
maka kesetaraan dan keadilan gender harus diwujudkan berdasarkan asas-asas
sebagai berikut:
1.
Kemanusiaan
2.
Persamaan
substantif
3.
Non-diskriminasi
4.
Manfaat
5.
Pastisipatif,
dan
6.
Transparansi
dan akuntabilitas.[13]
Landasan Pembuatan UU KKG
Kesetaraan dan keadilan gender ini,
menurut Kemen PPPA, harus didukung oleh sebuah perundang-undangan agar mampu
mengikat semua pihak dalam mewujudkannya. Tanpa didukung oleh sebuah
undang-undang, maka kesetaraan dan keadilan gender tidak mungkin mampu terwujud
secara merata di masyarakat Indonesia. Untuk terwujudnya sebuah UU KKG itu
sendiri tiga landasan pemikirannya sudah terpenuhi, yakni landasan filosofis,
sosiologis dan yuridis.
Landasan
Filosofis UU KKG
UUD 1945 dan Pancasila telah
mengamanatkan agar negara menjamin hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan
diskriminatif atas dasar apapun dan untuk mendapatkan perlindungan dari
perlakuan diskriminatif. Jaminan tersebut ditujukan kepada setiap orang, baik
itu laki-laki atau perempuan, tanpa perbedaan. Maka dari itu, termasuk
kewajiban negara juga untuk menjamin tidak adanya diskriminasi gender dan
kemudian berperan aktif untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Sementara itu, keadilan gender sebagai suatu kondisi yang dicita-citakan tidak
akan mungkin tercapai tanpa didukung oleh kebijakan yang responsif gender.
Sebuah kebijakan yang bisa menggerakkan semua pihak, baik itu pemerintah
ataupun masyarakat secara umum, hanya bisa terwujudkan melalui sebuah
undang-undang.[14]
Landasan
Sosiologis
Laporan Pembangunan Manusia (Human
Development Report/HDR) yang dikeluarkan UNDP menunjukkan bahwa Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia pada tahun
2008 berada di peringkat 109 dari 179 negara, jauh di bawah negara Singapura,
Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina. Sementara itu, Indeks
Pembangunan Gender (Genderrelated Development Index/GDI) Indonesia, yang
menjadi salah satu faktor penilaian dari HDI, pada tahun yang sama berada di
peringkat 85 dari 159 negara. Padahal, Indonesia telah memiliki kementerian
khusus yang menangani pemberdayaan perempuan. Menurut Kementerian PPPA, sampai
saat ini masih terdapat beberapa kendala dalam upaya meningkatkan keadilan
gender, yaitu:
Pertama, dari sisi perangkat hukum, beberapa peraturan (presiden dan
mendagri) yang mengatur strategi pengintegrasian perspektif gender belum
dipahami secara utuh dan belum diawali dengan analisa gender.
Kedua, Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai proyek yang
berkelanjutan masih belum terintegrasi ke dalam program pembangunan seluruh
kegiatan SKPD.
Ketiga, dari sisi budaya, budaya patriarki masih cukup kuat tertanam
di berbagai daerah. Laki-laki masih dianggap sebagai simbol kepala keluarga dan
pemegang kekuasaan. Sementara perempuan terpinggirkan sebagai penduduk kelas
dua. Masih diyakini bahwa apabila di dalam suatu keluarga belum memiliki anak
laki-laki, maka dianggap belum ada yang menjadi simbool penerus keturunan
keluarga. Budaya seperti ini seringkali menjadi penyebab subordinasi dan
ketidakadilan gender.
Keempat, keterbatasan anggaran untuk PUG di berbagai daerah.
Kelima, masih banyak terjadi kekerasan berbasis gender (KBG)
khususnya kekerasan pada perempuan, seperti KDRT (kekerasan dalam rumah
tangga), trafficking (perdagangan perempuan dan anak), pembedaan
pemberian upah, eksploitasi PSK, dan pelecehan seksual.[15]
Dalam konsideran RUU KKG disebutkan:
bahwa masih terdapat diskriminasi atas dasar jenis kelamin tertentu sehingga
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia
belum mencerminkan kesetaraan dan keadilan gender.[16]
Landasan
Yuridis
Secara yuridis, sebuah undang-undang
dibentuk jika memenuhi persyaratan muatan materi sebagai berikut:
1.
Pengaturan
lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2.
Perintah
suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
3.
Pengesahan
perjanjian internasional tertentu;
4.
Tindak
lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5.
Pemenuhan
kebutuhan hukum dalam masyarakat. [17]
Kesetaraan dan keadilan gender
adalah bagian dari hak asasi manusia yang diatur oleh UUD 1945, sehingga tepat
jika persoalan ini diatur dalam undang-undang. Di samping itu, pengaturan lewat
UU akan mewujudkan sebuah pengaturan yang komprehensif sehingga dapat memenuhi
kebutuhan hukum masyarakat karena dapat memuat sanksi pidana.
Indonesia juga sudah menandatangani
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
againts Women/CEDAW)[18]
pada tanggal 29 Juli 1980 dalam Konferensi Perempuan se-Dunia II di Kopenhagen,
Denmark. Konvensi tersebut diratifikasi menjadi Undang-undang No. 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan.
Selanjutnya, pengaturan yang lebih spesifik
tentang kesetaraan dan keadilan gender dituangkan dalam Instruksi Presiden No.
9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Disusul
kemudian oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman
Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah yang
diperbaharui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 2008.
Namun sejak Inpres dan Permendagri
itu diterbitkan, kemajuan yang dicapai dalam implementasi kesetaraan dan
keadilan gender belum terlalu signifikan. Hal itu disebabkan dasar hukumnya
belum memadai, sebab Inpres dan Permendagri tidak mengatur tentang sanksi untuk
setiap pelanggaran. Selain itu Inpres dan Permendagri tersebut hanya ditujukan
untuk kalangan eksekutif, tidak melibatkan masyarakat.[19]
Sekilas RUU KKG
RUU KKG yang diajukan oleh Kemen
PPPA dan sedang digodok Komisi VIII DPR hari ini terdiri dari 11 Bab 79 Pasal.
Kandungan intinya yaitu:
Bab I
|
:
|
Ketentuan Umum
|
Bab II
|
:
|
Asas dan Tujuan
|
Bab III
|
:
|
Hak dan Kewajiban
Hak yang disoroti dalam RUU KKG
ini mencakup hak di bidang politik dan pemerintahan, kewarganegaraan,
pendidikan, komunikasi dan informasi, ketenagakerjaan, kesehatan dan keluarga
berencana, ekonomi, hukum dan perkawinan.
Sementara kewajiban ditujukan kepada
negara dan warga negara, yang secara umum terkait kewajiban mewujudkan
keadilan tanpa diskriminasi termasuk “menanamkan nilai-nilai kesetaraan
dan keadilan gender kepada anak usia dini dalam keluarga”.
|
Bab IV
|
:
|
Pengarusutamaan Gender/PUG yang
terdiri dari 45 pasal (pasal 16 s.d pasal 60). Mencakup penyelenggara dan
penyelenggaraan (perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, pemantauan dan
evaluasi, dan pelaporan)
Dalam penyelenggaraan PUG ini
melibatkan Pokja dan Focal Point. Pokja PUG (Kelompok Kerja Pengarusutamaan
Gender) adalah media konsultasi bagi pelaksana dan penggerak
pengarusutamaan gender dari berbagai instansi dan/atau lembaga. Sementara
Focal Point PUG adalah aparat pemerintah baik perorangan maupun
kelompok yang mempunyai kemampuan dan berperan aktif mendorong
pengarusutamaan gender di innstansi dan/atau lembaga.
|
Bab V
|
:
|
Data Terpilah, yaitu data yang
dirinci menurut jenis kelamin, baik kuantitaif atau kualitatif, guna
mengetahui posisi dan kebutuhan perempuan dan laki-laki dalam berbagai sektor
pembangunan.
|
Bab VI
|
:
|
Anggaran Responsif Gender.
Mengatur tentang kebijakan anggaran untuk pembiayaan PUG.
|
Bab VII
|
:
|
Peran Serta Masyarakat.
|
Bab VIII
|
:
|
Larangan. Mencakup larangan perbuatan
yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan; segala bentuk
kekerasan; membuat tulisan dan/atau pernyataan untuk dipublikasikan yang
merendahkan dan/atau melecehkan seseorang; semuanya atas dasar jenis
kelamin tertentu.
|
Bab IX
|
:
|
Ketentuan Pidana. Mencakup semua
jenis larangan yang tercantum dalam Bab VIII
|
Bab X
|
:
|
Ketentuan Peralihan, dari program
yang sedang berlangsung sampai disahkannya UU KKG
|
Bab XI
|
:
|
Ketentuan Penutup. UU KKG berlaku
satu tahun sejak diundangkan.
|
Telaah Kritis RUU KKG
Sebagaimana terlihat dari paparan di
atas, UU KKG ini disusun dengan berpedoman pada CEDAW. CEDAW itu sendiri adalah
konvensi yang dilatari oleh western worldview (pandangan hidup Barat)
yang sekular; meminggirkan agama dari ranah publik menjadi terpojok pada
aspek-aspek privat.[20]
Maka dari itu asas-asas yang digunakan sama sekali tidak mencantumkan asas
agama. Maka dari itu tidak heran jika definisi gender yang dirumuskan
adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang
merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat
dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya
tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.[21]
Pembatasan bahwa gender itu adalah “hasil konstruksi sosial
budaya yang sifatnya tidak tetap” jelas meminggirkan peran agama, khususnya
Islam, yang justru mengatur pembagian peran gender tersebut dalam salah satu
ajarannya sehingga bersifat tetap. UU KKG ini jika memang ditetapkan seperti
ini pasti akan bertentangan dengan ajaran Islam yang sudah berabad-abad dianut
oleh rakyat Indonesia.
Western worldview sendiri memang memandang kedudukan laki-laki dan perempuan
harus setara 50 : 50 dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagaimana dijelaskan
Ratna Megawangi, pandangan hidup yang kemudian diperjuangkan oleh kaum feminis
ini, selalu menggunakan penggambaran kaum wanita sebagai pihak yang tertindas
oleh laki-laki. Sebagaimana halnya ideologi Marxis yang menilai keluarga
sebagai lembaga yang melanggengkan diskriminasi sosial, maka kaum feminis juga
menilai bahwa lembaga keluarga ini juga telah melanggengkan diskriminasi gender
sehingga harus didekonstruksi.[22]
Maka dari itu, semua pihak harus
mengkritisinya ketika faktanya RUU KKG ini juga disusun dengan latar belakang
stereotip penindasan kaum lelaki kepada kaum perempuan. Stereotip ini
sebenarnya memancing front permusuhan dengan kaum lelaki. Sebab kaum lelakinya
sendiri tidak pernah merasa memarginalkan kaum perempuan. Jika ada hal-hal yang
sifatnya kasuistik, kenapa kaum lelaki secara umum yang kena getahnya? Ini
ibarat kesimpulan bahwa “agama sumber kerusakan” yang didasarkan pada fakta
bahwa korupsi dan kriminalitas lainnya di berbagai penjuru dunia mayoritasnya
dilakukan oleh orang beragama. Perlu diperjelas apakah benar kalau ada
kerusakan di dunia ini itu disebabkan faktor agamanya, atau karena faktor
manusianya secara objektif. Sama halnya dengan jika ada ketidakadilan gender
pada wanita, apakah itu disebabkan kaum lelakinya secara umum ataukah
orang-orang lelaki tertentu saja yang menyimpang sehingga bersikap tidak adil
dalam masalah gender. Semua orang tahu bahwa tidak pernah ada “Kongres Lelaki”
seperti halnya Kongres Perempuan yang membahas program-program khusus untuk
memarginalkan perempuan. Dalam hal ini maka UU KKG benar-benar tidak logis.
Kasus-kasus tertentu terkait marginalisasi kepada kaum perempuan cukup
diselesaikan dengan peraturan yang umum,[23]
tidak perlu membuat peraturan baru yang seksis. Sebuah hal yang tidak
mustahil jika nanti kaum lelaki juga menuntut dibentuknya sebuah UU KKG versi
kaum lelaki, sebab banyak juga faktanya lelaki yang tidak diterima bekerja
hanya karena “lelaki”-nya, atau juga suami-suami yang menghadapi kekerasan dari
istri-istrinya seperti sudah digambarkan dalam sinetron SSTI (Suami-suami Takut
Istri).
RUU KKG ini juga perlu dikritisi
sebab pada faktanya memberikan stereotip negatif pada keluarga dengan
menyebutnya sebagai “peran domestik”. Sebuah stereotip yang jelas menimbulkan
pandangan negatif/misogyny (sebelah mata) terhadap keluarga yang
merupakan lembaga ketahanan sosial paling utama dalam masyarakat. Ini juga
merupakan stereotip negatif kepada kaum perempuan yang secara ikhlas
mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk berbagi peran dengan suaminya dalam
menjaga keutuhan keluarganya.
Jika ditelaah dengan seksama, di
sinilah letak kerancuan dari konsep kesetaraan dan keadilan gender yang
dijadikan standar pengukuran dalam HDI/GDI. Ukuran kesetaraan gender adalah
seberapa besar jumlah kaum perempuan yang bisa melepaskan diri dari “peran
domestik”-nya di keluarga, sementara peran mereka di keluarga sebagai pendidik
utama anak-anak tidak dijadikan standar pengukuran. Apakah memang perempuan
yang aktif di luar lingkungan keluarga harus selalu dipandang “lebih berhasil”
dibanding perempuan yang memilih tetap menjadi pendidik di tengah-tengah
keluarga?
Isu kesetaraan dan keadilan gender
sebagai standar pembangunan sebenarnya dianggap isu usang oleh mayoritas wanita
muslim di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Ini terungkap dari hasi
survey yang dilakukan oleh Gallup World Poll terhadap 1,3 Miliar muslim di
dunia. Jhon L. Esposito dan Dalia Mogahed sebagai koordinator survey
menjelaskan, mayoritas wanita muslim menilai bahwa isu kesetaraan gender tidak
lebih merupakan sebuah penjajahan kultural dari Barat terhadap dunia Islam, atau
yang biasa disebut Westernisasi (pem-Barat-an), melaui media elektronik dan
cetak seperti TV, internet, koran, majalah, film, sinetron, dan infotainment.
Meskipun kaum wanita muslim di berbagai belahan dunia mengakui bahwa Negara
mereka belum mengakomodir hak-hak mereka secara penuh, akan tetapi mayoritas
dari mereka sepakat bahwa paham kesetaraan gender yang diusung Barat bukan
merupakan solusi. Solusinya tetap hanya pada ajaran Islam itu sendiri. Lebih
dari itu, mayoritas kaum wanita muslim menilai bahwa masalah gender bukanlah
masalah yang utama. Yang paling penting dan utama bagi mereka adalah
pembangunan di bidang politik dan ekonomi.[24]
Secara khusus, umat Islam Indonesia
sudah jauh merespon persoalan kaum perempuan ini melalui pembentukan bagian otonom
perempuan di berbagai organisasi kemasyarakatan (Persatuan Islam: Persatuan
Islam Istri, NU: Muslimat NU, Muhammadiyyah: Aisyiyyah, dan sebagainya). Ini
menunjukkan kesadaran dari umat Islam Indonesia akan pemberdayaan kaum
perempuan. Akan tetapi dari sejak sebelum negeri ini berdiri, sudah diyakini
bahwa solusinya bukan kesetaraan gender (gender equality), melainkan
ajaran Islam itu sendiri. Jadi sebenarnya “kesetaraan gender” ini keinginan
siapa? Keinginan kaum perempuan Indonesia? Bukankah kaum perempuan Indonesia
yang mayoritas muslim tidak pernah peduli dengan gagasan kesetaraan gender yang
diimpor dari Barat?
Sikap Muslim Indonesia terhadap RUU
KKG
Setelah mencermati kandungan dan
landasan pemikiran RUU KKG sebagaimana tengah digodok oleh DPR saat ini, maka
sikap muslim Indonesia sudah pasti adalah menolak sepenuhnya
terhadap RUU tersebut. Adapun alasan-alasan objektifnya adalah:
Pertama, secara filosofis, RUU tersebut bertentangan dengan UUD 1945
dan Pancasila yang menjadikan agama sebagai landasan utama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi
selaku pihak yang berwenang menafsirkan konstitusi negara sudah menjelaskan:
Bahwa Pancasila telah menjadi Dasar
Negara, yang harus diterima oleh seluruh warga negara. Pancasila mengandung
lima sila yang saling berkait satu sama lain sebagai suatu kesatuan. Oleh sebab
itu setiap warga negara, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa secara
kolektif harus dapat menerima Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjiwai
sila-sila lain, baik Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, maupun keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;[25]
Dalam UUD 1945 sendiri, dari mulai
pembukaan sampai pasal-pasal di dalamnya, setidaknya terdapat 10 pasal yang
menyatakan bahwa negara ini tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama.
Demikian halnya dalam undang-undang kehakiman dan undang-undang sistem
pendidikan nasional, di dalamnya ditegaskan bahwa peradilan dan pendidikan yang
dijalankan harus berdasar nilai-nilai agama.[26]
Maka dari itu, MK menegaskan: “Penghormatan Negara Indonesia atas berbagai
konvensi serta perangkat hukum internasional termasuk hak asasi manusia
haruslah tetap berdasarkan pada falsafah dan konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”[27]
Secara khusus, agama Islam, memiliki
kedudukan yang penting dalam bagian konstitusi negeri ini. Berdasarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, konstitusi negara Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
Piagam Jakarta yang jelas-jelas menyebutkan: “Negara berdasar Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dalam
konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan: “berkeyakinan bahwa
Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian
kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Konstitusi seperti inilah yang
kemudian dijadikan landasan dalam Penpres 1/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya menjadi UU No. 1/PNPS/1965),
dan dalam Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut
Agama Islam Negeri (IAIN).
Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi
menjelaskan:
Menimbang bahwa Negara Indonesia
adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa [alinea IV Pembukaan dan
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945]. Bangsa Indonesia pun, mengakui kemerdekaan
Indonesia tidak hanya dicapai dengan perjuangan panjang seluruh bangsa
Indonesia, tetapi juga dicapai dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa (alinea III
Pembukaan UUD 1945). Rumusan dasar falsafah Negara Indonesia yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945 ini lahir dari kompromi antara dua aliran pemikiran
yang berkembang dalam perumusan dasar negara di BPUPK antara yang menghendaki
negara sekuler dan negara Islam. Prinsip negara sekuler ditolak dan negara
Islam pun tidak disetujui, akan tetapi Rapat Pleno BPUPK menyetujui secara
bulat negara Indonesia adalah negara berdasarkan Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya, yang kemudian disahkan
pada Rapat Pleno PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dengan mengubah rumusan
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
menjadi “negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; [28]
Dalam konstitusi, rumusan dasar
falsafah negara tersebut tercermin dari adanya Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Selain itu, tercermin juga dari adanya Pasal 9 UUD 1945 yang mewajibkan
Presiden atau Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya, sebelum memangku
jabatan Presiden/Wakil Presiden. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, …”. Pasal
28J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa pertimbangan nilai-nilai agama
adalah salah satu pertimbangan untuk dapat membatasi hak asasi manusia
melalui Undang-Undang. Dengan demikian, agama bukan hanya bebas untuk dipeluk,
tetapi nilai-nilai agama menjadi salah satu pembatas bagi kebebasan asasi yang
lain semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain. Dalam tingkat praktik kenegaraan, negara membentuk satu
kementerian khusus yang membidangi urusan agama yaitu Kementerian Agama.
Hari-hari besar keagamaan dihormati dalam praktik bernegara. Demikian pula hukum
agama dalam hal ini syari’at Islam yang terkait dengan nikah, talak, rujuk,
waris, hibah, wasiat, wakaf, ekonomi syari’ah, dan lain-lain telah menjadi
hukum negara khususnya yang berlaku bagi pemeluk agama Islam;[29]
Dari uraian landasan filosofis
konstitusi negara Indonesia di atas, maka jelas sekali bahwa RUU KKG
bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila sebab tidak mencantumkan asas agama.
Kedua, secara sosiologis, diskriminasi yang dilakukan atas dasar
jenis kelamin tertentu tidak terlalu signifikan terjadi di Indonesia sehingga
tidak cukup untuk menjadi alasan dibentuknya sebuah UU. Kasus-kasus
diskriminasi terhadap perempuan selama ini masih cukup untuk ditangani oleh
beberapa peraturan perundang-undangan yang ada.[30]
Sementara itu, budaya patriarki yang
dituduhkan menjadi penyebab dari ketidakadilan gender sangat tidak tepat jika
langsung dilawan dengan sebuah undang-undang yang mengatur ketentuan pidananya.
Budaya yang sifatnya mengakar dan sudah menjadi adat secara turun temurun hanya
bisa diubah oleh pendidikan dan pengarusutamaan. Faktanya, hal itu tengah
dijalankan oleh seluruh rakyat Indonesia, sehingga tidak banyak ditemukan di
berbagai lembaga dan instansi, baik negeri atau swasta, kaum perempuan yang
dimarginalkan dengan alasan gender.
Pihak Kemen PPPA sendiri dengan
jujur menyatakan bahwa alasan utama dibentuknya UU KKG ini untuk lebih
mengoptimalkan PUG di berbagai instansi, baik itu pemerintah atau swasta. Jika
hanya ini yang menjadi sebab, semestinya dievaluasi secara menyeluruh PUG tersebut
dan kemudian ditingkatkan pengawasan dan pelaksanaannya, tanpa perlu mendesak
pembentukan sebuah UU. Jika itu ditempuh, maka sama saja dengan memperlihatkan
secara jelas betapa rapuhnya sistem manajemen di lingkungan birokrasi
Indonesia.
Selebihnya dari itu, secara
sosiologis, UU KKG ini juga akan menimbulkan konflik horizontal di
tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia yang notabene mayoritas di negeri
ini. Sebab agama Islam, yang keberadaan dan pengamalannya dilindungi oleh
konstitusi negeri ini, sudah mengatur persoalan gender ini dalam salah satu
bagian ajarannya yang di antaranya banyak bertentangan dengan konsep kesetaraan
dan keadilan gender dalam RUU ini. Misalnya jelas, sudah menjadi ajaran Islam
adanya pembedaan dalam masalah pakaian/aurat antara lelaki dan perempuan. Di
samping itu, dalam masalah shalat berjama’ah, perempuan tidak boleh menjadi
imam; dalam ibadah Jum’at, perempuan tidak boleh menjadi khatib Jum’at; wali
dan saksi nikah hanya diperuntukkan untuk kaum lelaki; anak perempuan haram
menikah dengan pria non-muslim; bagian waris untuk lelaki berbeda dengan
perempuan; kambing yang disembelih dalam aqiqah berbeda jumlahnya antara yang
diperuntukkan bagi laki-laki dan perempuan; lelaki sebagai pemimpin bagi
perempuan dalam kehidupan berkeluarga; dan lain sebagainya.[31]
Sementara itu, dalam RUU KKG pasal
yang mengatur Ketentuan Pidana[32]
tidak memberi kebebasan terhadap pemeluk agama Islam untuk menjalankan
keyakinannya seperti di atas, yang dari sejak kelahiran Islam tidak pernah
menimbulkan protes dari kaum perempuan karena merasa dimarginalkan. Dari
kesemua pasalnya, tidak ada satu pun yang memberi pengecualian untuk satu
ajaran agama tertentu. Mengingat bahwa sebagian dari ajaran-ajaran Islam yang
di antaranya membedakan dalam urusan gender tersebut sudah menjadi bagian hukum
negara Indonesia,[33]
maka sudah pasti keberadaan UU KKG ini akan menimbulkan konflik di
tengah-tengah masyarakat muslim.
Ketiga, secara yuridis RUU KKG tidak ada dasar pijakan yang jelas
dari UUD 1945. Yang diatur dalam UUD 1945 terkait masalah ini adalah Hak Asasi
Manusia (HAM). Tema ini sudah diturunkan melalui undang-undang khusus No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Untuk hak wanita terbebas dari berbagai
diskriminasi dan ketidakadilan gender sudah dirumuskan khusus dalam UU tersebut
pada Bagian Kesembilan Pasal 45 s.d 51. Tentang hak-hak yang disebutkan dalam
RUU KKG juga sudah dirumuskan dengan detail dalam UU HAM. Jadi tidak ada
landasan yang tepat dari UUD 1945 untuk membuat sebuah perundang-undangan yang seksis.
Terkait pengesahan perjanjian
internasional yang dalam hal ini CEDAW, sebenarnya sudah cukup dengan UU No. 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan, sehingga tidak perlu membuat UU baru. Terlebih
seperti sudah digariskan oleh MK: “Penghormatan Negara Indonesia atas
berbagai konvensi serta perangkat hukum internasional termasuk hak asasi
manusia haruslah tetap berdasarkan pada falsafah dan konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”[34]
Artinya tetap harus berasas pada agama. Ketika faktanya RUU KKG ini sama sekali
tidak berasaskan pada agama, maka jelas RUU ini bertentangan secara yuridis
dengan konstitusi negara Indonesia.
Wal-‘Llahu a’lam.
Oleh: Nashrudin Syarief
[1] Republika
online, 19 Mei 2011
[2] Naskah
Akademik RUU KKG, Sekretariat Komisi VIII DPR RI, Timja, 24 Agustus 2011, hlm.
27.
[3] RUU KKG bab
I pasal 1 ayat 2
[4] RUU KKG
bab I pasal 1 ayat 3
[5] RUU KKG
bab I pasal 1 ayat 1
[6] Naskah
Akademik RUU KKG, hlm. 12
[7]Modul
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional di Indonesia: Teori dan
Aplikasi, Kemeneg PP, 2008, hlm. 13, dikutip
dari Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 15.
[8] Naskah
Akademik RUU KKG, hlm. 17-18
[9] Naskah
Akademik RUU KKG, hlm. 19
[10] Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 20.
[11] Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 22-24.
[12] RUU KKG bab I pasal 1 ayat 4.
[13] RUU KKG bab II pasal 2. Dalam penjelasan RUU KKG pasal
terkait dijelaskan bahwa “asas kemanusiaan” mencerminkan perlindungan hak asasi
manusia serta harkat dan martabat warga negara secara proporsional. “Asas
persamaan substantif” artinya tidak mengingkari adanya pemenuhan kebutuhan
hidup yang berbeda disebabkan kodrat yang berbeda. “Asas non-diskriminasi”
berarti tidak adanya diskriminasi, tetapi mengakui kesetaraan gender yang adil.
“Asas manfaat” berarti PUG memberi manfaat yang sama bagi laki-laki dan
perempuan. “Asas partisipatif” berarti memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk berperan serta. “Asas transparansi dan akuntabilitas” berarti PUG dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka.
[14] Konsideran RUU KKG dan Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 75-77.
[15] Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 77-81.
[16] Konsideran
RUU KKG.
[17] UU No. 11
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Bab 3 Pasal 10 ayat
1.
[18] Disahkan
PBB pada tanggal 18 Desember 1979. Dalam konvensi tersebut disepakati agar
setiap negara yang menandatangani mencantumkan azas persamaan antara pria dan
wanita dalam konstitusinya, sekaligus membuat peraturan perundang-undangan yang
melarang diskriminasi terhadap wanita lengkap beserta sanksi-sanksinya (Naskah
Akademik RUU KKG, hlm. 83). Kemen PPPA mengakui secara jujur bahwa CEDAW ini
merupakan pedoman utama dalam PUG. Asas-asas yang tercantum dalam RUU KKG
sesuai dengan asas-asas yang dituangkan dalam CEDAW (Naskah Akademik RUU KKG,
hlm. 33).
[19] Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 81-88
[20] Ulasan panjang lebar tentang sekularisme bida dirujuk
buku penulis, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung: Persispers, 2011,
Cet. II, hlm. 36-52. Atau merujuk buku yang ditulis oleh penganjur sekularisme
di Indonesia, Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam untuk Sekularisme; Islam
Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo, 2010.
[21] RUU KKG bab I pasal 1 ayat 1
[22] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, Bandung: Mizan,
1999, hlm. 9-11. Hal ini dilatarbelakangi oleh sejarah peradaban Barat yang
selalu mempunyai pandangan yang misogyny (sebelah mata) dan stereotype
(anggapan buruk) terhadap perempuan. Seperti pandangan yang menilai bahwa
perempuan makhluk penyebab celaka seperti dituduhkan pada Hawa yang menjadi
penyebab Adam dikeluarkan dari surga; tidak mempunyai akal dan kekuatan fisik
sehingga disamakan dengan hamba sahaya; tidak cerdas namun licik seperti ular
berbisa atau setan bertanduk; hanya mengandalkan emosi sehingga hanya berujung
pada kejahatan; makhluk penggoda dan diciptakan hanya untuk melayani laki-laki;
dan masih banyak lagi (Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,
Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 103-109).
[23] Di
antaranya UU HAM (No. 39 Tahun 1999), UU Ketenagakerjaan (No. 13 Tahun 2003),
UU Sisdiknas (No. 20 Tahun 2003), UU PKDRT (No. 23 Tahun 2004), UU Kewarganegaraan
(No. 12 Tahun 2006), UU PTPPO (No. 21 Tahun 2007), UU Parpol (No. 2 Tahun
2008), UU Pemilu (No. 10 Tahun 2008), UU Kesehatan (No. 36 Tahun 2009).
[24] Jhon L. Esposito dan Dalia Mogahed, Who Speaks for
Islam?, terj. Eva Y. Nukman, Saatnya Muslim Bicara!: Opini Umat Muslim
tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-isu Kontemporer Lainnya, Bandung:
Mizan, 2008, hlm. 133-155.
[25] Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 alinea 3.34.1. Garis bawah
dari penulis.
[30] Lihat catatan kaki no. 23
[31] Aktivis feminis muslim biasanya berdalih bahwa dalam agama
ada multitafsir, dimana salah satu tafsir (versi MUI misalnya) tidak bisa
membatalkan tafsir lainnya (versi feminis muslim misalnya). Dalih ini selain
tidak logis juga tidak yuridis. Tidak logis karena dalam setiap bidang ilmu
apapun, termasuk hukum, selalu ada perbedaan penafsiran, tetapi itu tidak
berarti bahwa tidak ada penafsiran yang bisa dijadikan pegangan hukum/pegangan
ilmu. Secara yuridis, MK sudah menolak argumen serupa dari kaum liberalis
muslim dalam pengujian UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama:
Mahkamah
berpendapat bahwa setiap agama memiliki pokok-pokok ajaran yang diterima umum
pada internal agama tersebut, oleh karena itu yang menentukan
pokok-pokok ajaran agama adalah pihak internal agama masing-masing. Indonesia
sebagai sebuah negara yang menganut paham agama tidak dipisahkan dari negara,
memiliki Departemen Agama yang melayani dan melindungi tumbuh dan berkembangnya
agama dengan sehat, dan Departemen Agama memiliki organisasi serta perangkat
untuk menghimpun berbagai pendapat dari internal suatu agama. Jadi dalam hal
ini negara tidak secara otonom menentukan pokok-pokok ajaran agama dari suatu
agama, akan tetapi hanya berdasarkan kesepakatan dari pihak internal agama yang
bersangkutan, dengan demikian menurut Mahkamah tidak ada etatisme dalam
menentukan pokok-pokok ajaran agama pada UU Pencegahan Penodaan Agama (alinea
3.53. Garis bawah dari penulis).
[32] Pasal 70: Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan,
dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 dipidana dengan pidana penjara paling lama … (…) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. … (…).
Pasal 71: Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan segala bentuk kekerasan fisik dan/atau non-fisik atas dasar
jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dipidana dengan
pidana penjara paling lama … (…) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. …
(…).
Pasal 72: Setiap orang yang dengan
sengaja membuat tulisan dan/atau pernyataan yang merendahkan dan/atau
melecehkan seseorang dan/atau kelompok berdasarkan jenis kelamin tertentu untuk
dipublikasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dipidana dengan pidana
penjara paling lama … (…) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. … (…).
Pasal
67, 68, dan 69 adalah pasal tentang larangan yang bunyinya sama dengan pasal
dalam ketentuan pidana tersebut.
[33] Lihat Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 alinea 3.34.8 (dalam
makalah ini hlm. 10).
*penulis merupakan peneliti konsep Gender
sumber: http://pemudapersatuanislam.blog.com/2012/04/05/mengapa-harus-ada-uu-kkg/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar