Selasa, 10 April 2012

MENGAPA HARUS ADA UU KKG?


 Oleh:
Nashruddin Syarief*

Peringatan Hari Perempuan Sedunia, Maret silam (8/3/2012), ditandai dengan mencuatnya kembali wacana UU KKG (Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender) yang masih berupa rancangan (RUU) dan sedang digodok di DPR. Bagi Pemerintah (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak/Kemen PPPA), Pengarusutamaan Gender (PUG) yang saat ini telah digulirkan berdasarkan Inpres (Instruksi Presiden) no. 9 Tahun 2000 dinilai belum optimal dan tidak akan optimal. Maka dari itu, dipandang perlu untuk ditetapkan sebuah Undang-undang yang mengikat semua pihak.[1]

Kesetaraan dan Keadilan Gender
Berdasarkan Naskah Akademik RUU KKG, istilah Kesetaraan dan Keadilan Gender merupakan terjemahan dari gender equality and equity.[2] Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.[3] Sementara Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara.[4]

Gender itu sendiri adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.[5]

Istilah gender berasal dari bahasa Inggris abad pertengahan, gendre. Kata ini berasal dari bahasa Latin, genus, yang berarti “tipe atau jenis”. Dalam penggunaan selanjutnya, kata ini berarti tipe, jenis, dan himpunan karakteristik yang terlihat membedakan laki-laki dan perempuan.[6]

Dari berbagai pendapat pakar sosiologi dan kebahasaan, menurut Kemen PPPA, pengertian gender berbeda dengan seks. Gender dibentuk secara sosial (by nurture) terkait sifat/perilaku, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Gender bersifat sosial budaya dan dikonstruksikan oleh manusia, bukan kodrat, oleh karena itu bisa dipertukarkan/diubah, karena faktanya berbeda-beda di berbagai tempat. Sementara seks merupakan sesuatu yang alamiah (by nature) terkait fisik/fisiologis (alat reproduksi) yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Seks ini bersifat biologis, ilmiah, dan merupakan pemberian Tuhan (kodrat). Oleh karena itu bersifat tetap dan tidak dapat berubah dari waktu ke waktu (kecuali dengan intervensi medis).[7]

Perbedaan gender dan seks
Gender
Seks
·       By nurture (dibentuk secara sosial)
·       Sifat/perilaku, peran, tanggung jawab perempuan dan laki-laki
·       Bersifat sosial budaya
·       Dikonstruksikan oleh manusia (bukan kodrat)
·       Bisa dipertukarkan/diubah
·       Berbeda-beda berdasarkan tempat
·       By nature (alamiah)
·       Fisik/fisiologis (alat reproduksi) yang melekat pada laki-laki dan perempuan
·       Bersifat biologis dan ilmiah
·       Pemberian Tuhan (kodrat)
·       Tetap dan tidak dapat berubah dari waktu ke waktu (kecuali dengan intervensi medis)


Ketidakadilan Gender
Dalam perspektif Kemen PPPA, ide kesetaraan dan keadilan gender perlu diwujudkan dalam kehidupan masyarakat untuk menghilangkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah perbedaan perlakuan berdasarkan alasan gender dan melahirkan diskriminasi. Diskriminasi gender itu sendiri ada beberapa bentuk, yaitu:

Pertama, marginalisasi, yakni meminggirkan atau membuang seseorang/sekelompok orang ke kelas sosial yang lebih rendah. Contoh seorang ibu tunggal yang tidak mendapatkan bantuan sosial atau perempuan yang mendapatkan upah yang lebih rendah daripada lelaki yang bekerja pada level yang sama.[8]

Kedua, subordinasi, yakni anggapan bahwa salah satu jenis kelamin lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya. Posisi yang lebih rendah itu biasanya dimiliki oleh perempuan. Contohnya, karena ada tafsir agama yang menyatakan bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga, sehingga apabila seorang suami memiliki penghasilan atau kedudukan lebih rendah daripada istrinya, akan menyebabkan suami tertekan.[9]

Ketiga, stereotip negatif, yakni pelabelan atau penandaan yang bersifat negatif. Contohnya, label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” yang jelas merugikan, sebab jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis, atau birokrat hanya akan dinilai “perpanjangan” dari peran domestiknya di kerumahtanggaan. Sementara label laki-laki sebagai pencari nafkah utama (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.[10]

Keempat, kekerasan (violence), yakni suatu serangan fisik (perkosaan, pemukulan) maupun nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan) yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, atau tempat-tempat umum. Kekerasan ini bisa berupa: (1) Kekerasan fisik seperti penyekapan calon TKW ilegal oleh calo TKW atau mutilasi terhadap alat kelamin perempuan atas nama adat dan budaya tertentu. (2) Kekerasan psikis seperti larangan keluar rumah atau pembatasan bergerak atau beraktivitas lainnya. (3) Kekerasan ekonomi seperti ibu rumah tangga yang tidak diberikan nafkah ekonomi yang cukup dan diberikan secara rutin. (4) Perdagangan perempuan.[11]

Dalam RUU KKG sendiri diskriminasi diartikan sebagai segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya, terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.[12]

Asas Kesetaraan dan Keadilan Gender
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka kesetaraan dan keadilan gender harus diwujudkan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
1.        Kemanusiaan
2.        Persamaan substantif
3.        Non-diskriminasi
4.        Manfaat
5.        Pastisipatif, dan
6.        Transparansi dan akuntabilitas.[13]

Landasan Pembuatan UU KKG
Kesetaraan dan keadilan gender ini, menurut Kemen PPPA, harus didukung oleh sebuah perundang-undangan agar mampu mengikat semua pihak dalam mewujudkannya. Tanpa didukung oleh sebuah undang-undang, maka kesetaraan dan keadilan gender tidak mungkin mampu terwujud secara merata di masyarakat Indonesia. Untuk terwujudnya sebuah UU KKG itu sendiri tiga landasan pemikirannya sudah terpenuhi, yakni landasan filosofis, sosiologis dan yuridis.

Landasan Filosofis UU KKG
UUD 1945 dan Pancasila telah mengamanatkan agar negara menjamin hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif. Jaminan tersebut ditujukan kepada setiap orang, baik itu laki-laki atau perempuan, tanpa perbedaan. Maka dari itu, termasuk kewajiban negara juga untuk menjamin tidak adanya diskriminasi gender dan kemudian berperan aktif untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Sementara itu, keadilan gender sebagai suatu kondisi yang dicita-citakan tidak akan mungkin tercapai tanpa didukung oleh kebijakan yang responsif gender. Sebuah kebijakan yang bisa menggerakkan semua pihak, baik itu pemerintah ataupun masyarakat secara umum, hanya bisa terwujudkan melalui sebuah undang-undang.[14]

Landasan Sosiologis
Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) yang dikeluarkan UNDP menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia pada tahun 2008 berada di peringkat 109 dari 179 negara, jauh di bawah negara Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina. Sementara itu, Indeks Pembangunan Gender (Genderrelated Development Index/GDI) Indonesia, yang menjadi salah satu faktor penilaian dari HDI, pada tahun yang sama berada di peringkat 85 dari 159 negara. Padahal, Indonesia telah memiliki kementerian khusus yang menangani pemberdayaan perempuan. Menurut Kementerian PPPA, sampai saat ini masih terdapat beberapa kendala dalam upaya meningkatkan keadilan gender, yaitu:

Pertama, dari sisi perangkat hukum, beberapa peraturan (presiden dan mendagri) yang mengatur strategi pengintegrasian perspektif gender belum dipahami secara utuh dan belum diawali dengan analisa gender.

Kedua, Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai proyek yang berkelanjutan masih belum terintegrasi ke dalam program pembangunan seluruh kegiatan SKPD.

Ketiga, dari sisi budaya, budaya patriarki masih cukup kuat tertanam di berbagai daerah. Laki-laki masih dianggap sebagai simbol kepala keluarga dan pemegang kekuasaan. Sementara perempuan terpinggirkan sebagai penduduk kelas dua. Masih diyakini bahwa apabila di dalam suatu keluarga belum memiliki anak laki-laki, maka dianggap belum ada yang menjadi simbool penerus keturunan keluarga. Budaya seperti ini seringkali menjadi penyebab subordinasi dan ketidakadilan gender.

Keempat, keterbatasan anggaran untuk PUG di berbagai daerah.

Kelima, masih banyak terjadi kekerasan berbasis gender (KBG) khususnya kekerasan pada perempuan, seperti KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), trafficking (perdagangan perempuan dan anak), pembedaan pemberian upah, eksploitasi PSK, dan pelecehan seksual.[15]

Dalam konsideran RUU KKG disebutkan: bahwa masih terdapat diskriminasi atas dasar jenis kelamin tertentu sehingga kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia belum mencerminkan kesetaraan dan keadilan gender.[16]

Landasan Yuridis
Secara yuridis, sebuah undang-undang dibentuk jika memenuhi persyaratan muatan materi sebagai berikut:
1.        Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.        Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
3.        Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
4.        Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5.        Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. [17]

Kesetaraan dan keadilan gender adalah bagian dari hak asasi manusia yang diatur oleh UUD 1945, sehingga tepat jika persoalan ini diatur dalam undang-undang. Di samping itu, pengaturan lewat UU akan mewujudkan sebuah pengaturan yang komprehensif sehingga dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat karena dapat memuat sanksi pidana.

Indonesia juga sudah menandatangani Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination againts Women/CEDAW)[18] pada tanggal 29 Juli 1980 dalam Konferensi Perempuan se-Dunia II di Kopenhagen, Denmark. Konvensi tersebut diratifikasi menjadi Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Selanjutnya, pengaturan yang lebih spesifik tentang kesetaraan dan keadilan gender dituangkan dalam Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Disusul kemudian oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah yang diperbaharui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 2008.

Namun sejak Inpres dan Permendagri itu diterbitkan, kemajuan yang dicapai dalam implementasi kesetaraan dan keadilan gender belum terlalu signifikan. Hal itu disebabkan dasar hukumnya belum memadai, sebab Inpres dan Permendagri tidak mengatur tentang sanksi untuk setiap pelanggaran. Selain itu Inpres dan Permendagri tersebut hanya ditujukan untuk kalangan eksekutif, tidak melibatkan masyarakat.[19]

Sekilas RUU KKG
RUU KKG yang diajukan oleh Kemen PPPA dan sedang digodok Komisi VIII DPR hari ini terdiri dari 11 Bab 79 Pasal. Kandungan intinya yaitu:

Bab I
:
Ketentuan Umum
Bab II
:
Asas dan Tujuan
Bab III
:
Hak dan Kewajiban
Hak yang disoroti dalam RUU KKG ini mencakup hak di bidang politik dan pemerintahan, kewarganegaraan, pendidikan, komunikasi dan informasi, ketenagakerjaan, kesehatan dan keluarga berencana, ekonomi, hukum dan perkawinan.
Sementara kewajiban ditujukan kepada negara dan warga negara, yang secara umum terkait kewajiban mewujudkan keadilan tanpa diskriminasi termasuk “menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender kepada anak usia dini dalam keluarga”.
Bab IV
:
Pengarusutamaan Gender/PUG yang terdiri dari 45 pasal (pasal 16 s.d pasal 60). Mencakup penyelenggara dan penyelenggaraan (perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, pemantauan dan evaluasi, dan pelaporan)
Dalam penyelenggaraan PUG ini melibatkan Pokja dan Focal Point. Pokja PUG (Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender) adalah media konsultasi bagi pelaksana dan penggerak pengarusutamaan gender dari berbagai instansi dan/atau lembaga. Sementara Focal Point PUG adalah aparat pemerintah baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai kemampuan dan berperan aktif mendorong pengarusutamaan gender di innstansi dan/atau lembaga.
Bab V
:
Data Terpilah, yaitu data yang dirinci menurut jenis kelamin, baik kuantitaif atau kualitatif, guna mengetahui posisi dan kebutuhan perempuan dan laki-laki dalam berbagai sektor pembangunan.
Bab VI
:
Anggaran Responsif Gender. Mengatur tentang kebijakan anggaran untuk pembiayaan PUG.
Bab VII
:
Peran Serta Masyarakat.
Bab VIII
:
Larangan. Mencakup larangan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan; segala bentuk kekerasan; membuat tulisan dan/atau pernyataan untuk dipublikasikan yang merendahkan dan/atau melecehkan seseorang; semuanya atas dasar jenis kelamin tertentu.
Bab IX
:
Ketentuan Pidana. Mencakup semua jenis larangan yang tercantum dalam Bab VIII
Bab X
:
Ketentuan Peralihan, dari program yang sedang berlangsung sampai disahkannya UU KKG
Bab XI
:
Ketentuan Penutup. UU KKG berlaku satu tahun sejak diundangkan.
 Telaah Kritis RUU KKG
Sebagaimana terlihat dari paparan di atas, UU KKG ini disusun dengan berpedoman pada CEDAW. CEDAW itu sendiri adalah konvensi yang dilatari oleh western worldview (pandangan hidup Barat) yang sekular; meminggirkan agama dari ranah publik menjadi terpojok pada aspek-aspek privat.[20] Maka dari itu asas-asas yang digunakan sama sekali tidak mencantumkan asas agama. Maka dari itu tidak heran jika definisi gender yang dirumuskan adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.[21] Pembatasan bahwa gender itu adalah “hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap” jelas meminggirkan peran agama, khususnya Islam, yang justru mengatur pembagian peran gender tersebut dalam salah satu ajarannya sehingga bersifat tetap. UU KKG ini jika memang ditetapkan seperti ini pasti akan bertentangan dengan ajaran Islam yang sudah berabad-abad dianut oleh rakyat Indonesia.

Western worldview sendiri memang memandang kedudukan laki-laki dan perempuan harus setara 50 : 50 dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagaimana dijelaskan Ratna Megawangi, pandangan hidup yang kemudian diperjuangkan oleh kaum feminis ini, selalu menggunakan penggambaran kaum wanita sebagai pihak yang tertindas oleh laki-laki. Sebagaimana halnya ideologi Marxis yang menilai keluarga sebagai lembaga yang melanggengkan diskriminasi sosial, maka kaum feminis juga menilai bahwa lembaga keluarga ini juga telah melanggengkan diskriminasi gender sehingga harus didekonstruksi.[22]

Maka dari itu, semua pihak harus mengkritisinya ketika faktanya RUU KKG ini juga disusun dengan latar belakang stereotip penindasan kaum lelaki kepada kaum perempuan. Stereotip ini sebenarnya memancing front permusuhan dengan kaum lelaki. Sebab kaum lelakinya sendiri tidak pernah merasa memarginalkan kaum perempuan. Jika ada hal-hal yang sifatnya kasuistik, kenapa kaum lelaki secara umum yang kena getahnya? Ini ibarat kesimpulan bahwa “agama sumber kerusakan” yang didasarkan pada fakta bahwa korupsi dan kriminalitas lainnya di berbagai penjuru dunia mayoritasnya dilakukan oleh orang beragama. Perlu diperjelas apakah benar kalau ada kerusakan di dunia ini itu disebabkan faktor agamanya, atau karena faktor manusianya secara objektif. Sama halnya dengan jika ada ketidakadilan gender pada wanita, apakah itu disebabkan kaum lelakinya secara umum ataukah orang-orang lelaki tertentu saja yang menyimpang sehingga bersikap tidak adil dalam masalah gender. Semua orang tahu bahwa tidak pernah ada “Kongres Lelaki” seperti halnya Kongres Perempuan yang membahas program-program khusus untuk memarginalkan perempuan. Dalam hal ini maka UU KKG benar-benar tidak logis. Kasus-kasus tertentu terkait marginalisasi kepada kaum perempuan cukup diselesaikan dengan peraturan yang umum,[23] tidak perlu membuat peraturan baru yang seksis. Sebuah hal yang tidak mustahil jika nanti kaum lelaki juga menuntut dibentuknya sebuah UU KKG versi kaum lelaki, sebab banyak juga faktanya lelaki yang tidak diterima bekerja hanya karena “lelaki”-nya, atau juga suami-suami yang menghadapi kekerasan dari istri-istrinya seperti sudah digambarkan dalam sinetron SSTI (Suami-suami Takut Istri).

RUU KKG ini juga perlu dikritisi sebab pada faktanya memberikan stereotip negatif pada keluarga dengan menyebutnya sebagai “peran domestik”. Sebuah stereotip yang jelas menimbulkan pandangan negatif/misogyny (sebelah mata) terhadap keluarga yang merupakan lembaga ketahanan sosial paling utama dalam masyarakat. Ini juga merupakan stereotip negatif kepada kaum perempuan yang secara ikhlas mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk berbagi peran dengan suaminya dalam menjaga keutuhan keluarganya.

Jika ditelaah dengan seksama, di sinilah letak kerancuan dari konsep kesetaraan dan keadilan gender yang dijadikan standar pengukuran dalam HDI/GDI. Ukuran kesetaraan gender adalah seberapa besar jumlah kaum perempuan yang bisa melepaskan diri dari “peran domestik”-nya di keluarga, sementara peran mereka di keluarga sebagai pendidik utama anak-anak tidak dijadikan standar pengukuran. Apakah memang perempuan yang aktif di luar lingkungan keluarga harus selalu dipandang “lebih berhasil” dibanding perempuan yang memilih tetap menjadi pendidik di tengah-tengah keluarga?

Isu kesetaraan dan keadilan gender sebagai standar pembangunan sebenarnya dianggap isu usang oleh mayoritas wanita muslim di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Ini terungkap dari hasi survey yang dilakukan oleh Gallup World Poll terhadap 1,3 Miliar muslim di dunia. Jhon L. Esposito dan Dalia Mogahed sebagai koordinator survey menjelaskan, mayoritas wanita muslim menilai bahwa isu kesetaraan gender tidak lebih merupakan sebuah penjajahan kultural dari Barat terhadap dunia Islam, atau yang biasa disebut Westernisasi (pem-Barat-an), melaui media elektronik dan cetak seperti TV, internet, koran, majalah, film, sinetron, dan infotainment. Meskipun kaum wanita muslim di berbagai belahan dunia mengakui bahwa Negara mereka belum mengakomodir hak-hak mereka secara penuh, akan tetapi mayoritas dari mereka sepakat bahwa paham kesetaraan gender yang diusung Barat bukan merupakan solusi. Solusinya tetap hanya pada ajaran Islam itu sendiri. Lebih dari itu, mayoritas kaum wanita muslim menilai bahwa masalah gender bukanlah masalah yang utama. Yang paling penting dan utama bagi mereka adalah pembangunan di bidang politik dan ekonomi.[24]

Secara khusus, umat Islam Indonesia sudah jauh merespon persoalan kaum perempuan ini melalui pembentukan bagian otonom perempuan di berbagai organisasi kemasyarakatan (Persatuan Islam: Persatuan Islam Istri, NU: Muslimat NU, Muhammadiyyah: Aisyiyyah, dan sebagainya). Ini menunjukkan kesadaran dari umat Islam Indonesia akan pemberdayaan kaum perempuan. Akan tetapi dari sejak sebelum negeri ini berdiri, sudah diyakini bahwa solusinya bukan kesetaraan gender (gender equality), melainkan ajaran Islam itu sendiri. Jadi sebenarnya “kesetaraan gender” ini keinginan siapa? Keinginan kaum perempuan Indonesia? Bukankah kaum perempuan Indonesia yang mayoritas muslim tidak pernah peduli dengan gagasan kesetaraan gender yang diimpor dari Barat?

Sikap Muslim Indonesia terhadap RUU KKG
Setelah mencermati kandungan dan landasan pemikiran RUU KKG sebagaimana tengah digodok oleh DPR saat ini, maka sikap muslim Indonesia sudah pasti adalah menolak sepenuhnya terhadap RUU tersebut. Adapun alasan-alasan objektifnya adalah:

Pertama, secara filosofis, RUU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila yang menjadikan agama sebagai landasan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi selaku pihak yang berwenang menafsirkan konstitusi negara sudah menjelaskan:

Bahwa Pancasila telah menjadi Dasar Negara, yang harus diterima oleh seluruh warga negara. Pancasila mengandung lima sila yang saling berkait satu sama lain sebagai suatu kesatuan. Oleh sebab itu setiap warga negara, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa secara kolektif harus dapat menerima Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjiwai sila-sila lain, baik Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, maupun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;[25]

Dalam UUD 1945 sendiri, dari mulai pembukaan sampai pasal-pasal di dalamnya, setidaknya terdapat 10 pasal yang menyatakan bahwa negara ini tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama. Demikian halnya dalam undang-undang kehakiman dan undang-undang sistem pendidikan nasional, di dalamnya ditegaskan bahwa peradilan dan pendidikan yang dijalankan harus berdasar nilai-nilai agama.[26] Maka dari itu, MK menegaskan: “Penghormatan Negara Indonesia atas berbagai konvensi serta perangkat hukum internasional termasuk hak asasi manusia haruslah tetap berdasarkan pada falsafah dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.[27]

Secara khusus, agama Islam, memiliki kedudukan yang penting dalam bagian konstitusi negeri ini. Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, konstitusi negara Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Piagam Jakarta yang jelas-jelas menyebutkan: “Negara berdasar Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dalam konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan: “berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Konstitusi seperti inilah yang kemudian dijadikan landasan dalam Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya menjadi UU No. 1/PNPS/1965), dan dalam Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN).

Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi menjelaskan:
Menimbang bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa [alinea IV Pembukaan dan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945]. Bangsa Indonesia pun, mengakui kemerdekaan Indonesia tidak hanya dicapai dengan perjuangan panjang seluruh bangsa Indonesia, tetapi juga dicapai dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa (alinea III Pembukaan UUD 1945). Rumusan dasar falsafah Negara Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini lahir dari kompromi antara dua aliran pemikiran yang berkembang dalam perumusan dasar negara di BPUPK antara yang menghendaki negara sekuler dan negara Islam. Prinsip negara sekuler ditolak dan negara Islam pun tidak disetujui, akan tetapi Rapat Pleno BPUPK menyetujui secara bulat negara Indonesia adalah negara berdasarkan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya, yang kemudian disahkan pada Rapat Pleno PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dengan mengubah rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; [28]

Dalam konstitusi, rumusan dasar falsafah negara tersebut tercermin dari adanya Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selain itu, tercermin juga dari adanya Pasal 9 UUD 1945 yang mewajibkan Presiden atau Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya, sebelum memangku jabatan Presiden/Wakil Presiden. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, …”. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa pertimbangan nilai-nilai agama adalah salah satu pertimbangan untuk dapat membatasi hak asasi manusia melalui Undang-Undang. Dengan demikian, agama bukan hanya bebas untuk dipeluk, tetapi nilai-nilai agama menjadi salah satu pembatas bagi kebebasan asasi yang lain semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Dalam tingkat praktik kenegaraan, negara membentuk satu kementerian khusus yang membidangi urusan agama yaitu Kementerian Agama. Hari-hari besar keagamaan dihormati dalam praktik bernegara. Demikian pula hukum agama dalam hal ini syari’at Islam yang terkait dengan nikah, talak, rujuk, waris, hibah, wasiat, wakaf, ekonomi syari’ah, dan lain-lain telah menjadi hukum negara khususnya yang berlaku bagi pemeluk agama Islam;[29]

Dari uraian landasan filosofis konstitusi negara Indonesia di atas, maka jelas sekali bahwa RUU KKG bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila sebab tidak mencantumkan asas agama.
Kedua, secara sosiologis, diskriminasi yang dilakukan atas dasar jenis kelamin tertentu tidak terlalu signifikan terjadi di Indonesia sehingga tidak cukup untuk menjadi alasan dibentuknya sebuah UU. Kasus-kasus diskriminasi terhadap perempuan selama ini masih cukup untuk ditangani oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang ada.[30]

Sementara itu, budaya patriarki yang dituduhkan menjadi penyebab dari ketidakadilan gender sangat tidak tepat jika langsung dilawan dengan sebuah undang-undang yang mengatur ketentuan pidananya. Budaya yang sifatnya mengakar dan sudah menjadi adat secara turun temurun hanya bisa diubah oleh pendidikan dan pengarusutamaan. Faktanya, hal itu tengah dijalankan oleh seluruh rakyat Indonesia, sehingga tidak banyak ditemukan di berbagai lembaga dan instansi, baik negeri atau swasta, kaum perempuan yang dimarginalkan dengan alasan gender.

Pihak Kemen PPPA sendiri dengan jujur menyatakan bahwa alasan utama dibentuknya UU KKG ini untuk lebih mengoptimalkan PUG di berbagai instansi, baik itu pemerintah atau swasta. Jika hanya ini yang menjadi sebab, semestinya dievaluasi secara menyeluruh PUG tersebut dan kemudian ditingkatkan pengawasan dan pelaksanaannya, tanpa perlu mendesak pembentukan sebuah UU. Jika itu ditempuh, maka sama saja dengan memperlihatkan secara jelas betapa rapuhnya sistem manajemen di lingkungan birokrasi Indonesia.

Selebihnya dari itu, secara sosiologis, UU KKG ini juga akan menimbulkan konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia yang notabene mayoritas di negeri ini. Sebab agama Islam, yang keberadaan dan pengamalannya dilindungi oleh konstitusi negeri ini, sudah mengatur persoalan gender ini dalam salah satu bagian ajarannya yang di antaranya banyak bertentangan dengan konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam RUU ini. Misalnya jelas, sudah menjadi ajaran Islam adanya pembedaan dalam masalah pakaian/aurat antara lelaki dan perempuan. Di samping itu, dalam masalah shalat berjama’ah, perempuan tidak boleh menjadi imam; dalam ibadah Jum’at, perempuan tidak boleh menjadi khatib Jum’at; wali dan saksi nikah hanya diperuntukkan untuk kaum lelaki; anak perempuan haram menikah dengan pria non-muslim; bagian waris untuk lelaki berbeda dengan perempuan; kambing yang disembelih dalam aqiqah berbeda jumlahnya antara yang diperuntukkan bagi laki-laki dan perempuan; lelaki sebagai pemimpin bagi perempuan dalam kehidupan berkeluarga; dan lain sebagainya.[31]

Sementara itu, dalam RUU KKG pasal yang mengatur Ketentuan Pidana[32] tidak memberi kebebasan terhadap pemeluk agama Islam untuk menjalankan keyakinannya seperti di atas, yang dari sejak kelahiran Islam tidak pernah menimbulkan protes dari kaum perempuan karena merasa dimarginalkan. Dari kesemua pasalnya, tidak ada satu pun yang memberi pengecualian untuk satu ajaran agama tertentu. Mengingat bahwa sebagian dari ajaran-ajaran Islam yang di antaranya membedakan dalam urusan gender tersebut sudah menjadi bagian hukum negara Indonesia,[33] maka sudah pasti keberadaan UU KKG ini akan menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat muslim.

Ketiga, secara yuridis RUU KKG tidak ada dasar pijakan yang jelas dari UUD 1945. Yang diatur dalam UUD 1945 terkait masalah ini adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Tema ini sudah diturunkan melalui undang-undang khusus No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Untuk hak wanita terbebas dari berbagai diskriminasi dan ketidakadilan gender sudah dirumuskan khusus dalam UU tersebut pada Bagian Kesembilan Pasal 45 s.d 51. Tentang hak-hak yang disebutkan dalam RUU KKG juga sudah dirumuskan dengan detail dalam UU HAM. Jadi tidak ada landasan yang tepat dari UUD 1945 untuk membuat sebuah perundang-undangan yang seksis.

Terkait pengesahan perjanjian internasional yang dalam hal ini CEDAW, sebenarnya sudah cukup dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, sehingga tidak perlu membuat UU baru. Terlebih seperti sudah digariskan oleh MK: “Penghormatan Negara Indonesia atas berbagai konvensi serta perangkat hukum internasional termasuk hak asasi manusia haruslah tetap berdasarkan pada falsafah dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.[34] Artinya tetap harus berasas pada agama. Ketika faktanya RUU KKG ini sama sekali tidak berasaskan pada agama, maka jelas RUU ini bertentangan secara yuridis dengan konstitusi negara Indonesia.
Wal-‘Llahu a’lam.
Oleh: Nashrudin Syarief



[1] Republika online, 19 Mei 2011
[2] Naskah Akademik RUU KKG, Sekretariat Komisi VIII DPR RI, Timja, 24 Agustus 2011, hlm. 27.
[3] RUU KKG bab I pasal 1 ayat 2
[4] RUU KKG bab I pasal 1 ayat 3
[5] RUU KKG bab I pasal 1 ayat 1
[6] Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 12
[7]Modul Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional di Indonesia: Teori dan Aplikasi, Kemeneg PP, 2008, hlm. 13, dikutip dari  Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 15.
[8] Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 17-18
[9] Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 19
[10]    Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 20.
[11]    Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 22-24.
[12]    RUU KKG bab I pasal 1 ayat 4.
[13]    RUU KKG bab II pasal 2. Dalam penjelasan RUU KKG pasal terkait dijelaskan bahwa “asas kemanusiaan” mencerminkan perlindungan hak asasi manusia serta harkat dan martabat warga negara secara proporsional. “Asas persamaan substantif” artinya tidak mengingkari adanya pemenuhan kebutuhan hidup yang berbeda disebabkan kodrat yang berbeda. “Asas non-diskriminasi” berarti tidak adanya diskriminasi, tetapi mengakui kesetaraan gender yang adil. “Asas manfaat” berarti PUG memberi manfaat yang sama bagi laki-laki dan perempuan. “Asas partisipatif” berarti memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta. “Asas transparansi dan akuntabilitas” berarti PUG dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
[14]    Konsideran RUU KKG dan Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 75-77.
[15]    Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 77-81.
[16] Konsideran RUU KKG.
[17] UU No. 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Bab 3 Pasal 10 ayat 1.
[18] Disahkan PBB pada tanggal 18 Desember 1979. Dalam konvensi tersebut disepakati agar setiap negara yang menandatangani mencantumkan azas persamaan antara pria dan wanita dalam konstitusinya, sekaligus membuat peraturan perundang-undangan yang melarang diskriminasi terhadap wanita lengkap beserta sanksi-sanksinya (Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 83). Kemen PPPA mengakui secara jujur bahwa CEDAW ini merupakan pedoman utama dalam PUG. Asas-asas yang tercantum dalam RUU KKG sesuai dengan asas-asas yang dituangkan dalam CEDAW (Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 33).
[19]    Naskah Akademik RUU KKG, hlm. 81-88
[20]    Ulasan panjang lebar tentang sekularisme bida dirujuk buku penulis, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung: Persispers, 2011, Cet. II, hlm. 36-52. Atau merujuk buku yang ditulis oleh penganjur sekularisme di Indonesia, Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam untuk Sekularisme; Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo, 2010.
[21]    RUU KKG bab I pasal 1 ayat 1
[22]    Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, Bandung: Mizan, 1999, hlm. 9-11. Hal ini dilatarbelakangi oleh sejarah peradaban Barat yang selalu mempunyai pandangan yang misogyny (sebelah mata) dan stereotype (anggapan buruk) terhadap perempuan. Seperti pandangan yang menilai bahwa perempuan makhluk penyebab celaka seperti dituduhkan pada Hawa yang menjadi penyebab Adam dikeluarkan dari surga; tidak mempunyai akal dan kekuatan fisik sehingga disamakan dengan hamba sahaya; tidak cerdas namun licik seperti ular berbisa atau setan bertanduk; hanya mengandalkan emosi sehingga hanya berujung pada kejahatan; makhluk penggoda dan diciptakan hanya untuk melayani laki-laki; dan masih banyak lagi (Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 103-109).
[23] Di antaranya UU HAM (No. 39 Tahun 1999), UU Ketenagakerjaan (No. 13 Tahun 2003), UU Sisdiknas (No. 20 Tahun 2003), UU PKDRT (No. 23 Tahun 2004), UU Kewarganegaraan (No. 12 Tahun 2006), UU PTPPO (No. 21 Tahun 2007), UU Parpol (No. 2 Tahun 2008), UU Pemilu (No. 10 Tahun 2008), UU Kesehatan (No. 36 Tahun 2009).
[24]    Jhon L. Esposito dan Dalia Mogahed, Who Speaks for Islam?, terj. Eva Y. Nukman, Saatnya Muslim Bicara!: Opini Umat Muslim tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-isu Kontemporer Lainnya, Bandung: Mizan, 2008, hlm. 133-155.
[25]    Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 alinea 3.34.1. Garis bawah dari penulis.
[26]    Ibid., alinea 3.34.2 – 3
[27]    Ibid., alinea 3.34.9
[28]    Ibid., alinea 3.34.7
[29]    Ibid., alinea 3.34.8. Garis bawah dari penulis
[30]    Lihat catatan kaki no. 23
[31]    Aktivis feminis muslim biasanya berdalih bahwa dalam agama ada multitafsir, dimana salah satu tafsir (versi MUI misalnya) tidak bisa membatalkan tafsir lainnya (versi feminis muslim misalnya). Dalih ini selain tidak logis juga tidak yuridis. Tidak logis karena dalam setiap bidang ilmu apapun, termasuk hukum, selalu ada perbedaan penafsiran, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada penafsiran yang bisa dijadikan pegangan hukum/pegangan ilmu. Secara yuridis, MK sudah menolak argumen serupa dari kaum liberalis muslim dalam pengujian UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama:
      Mahkamah berpendapat bahwa setiap agama memiliki pokok-pokok ajaran yang diterima umum pada internal agama tersebut, oleh karena itu yang menentukan pokok-pokok ajaran agama adalah pihak internal agama masing-masing. Indonesia sebagai sebuah negara yang menganut paham agama tidak dipisahkan dari negara, memiliki Departemen Agama yang melayani dan melindungi tumbuh dan berkembangnya agama dengan sehat, dan Departemen Agama memiliki organisasi serta perangkat untuk menghimpun berbagai pendapat dari internal suatu agama. Jadi dalam hal ini negara tidak secara otonom menentukan pokok-pokok ajaran agama dari suatu agama, akan tetapi hanya berdasarkan kesepakatan dari pihak internal agama yang bersangkutan, dengan demikian menurut Mahkamah tidak ada etatisme dalam menentukan pokok-pokok ajaran agama pada UU Pencegahan Penodaan Agama (alinea 3.53. Garis bawah dari penulis).
[32]   Pasal 70: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dipidana dengan pidana penjara paling lama … (…) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. … (…).
      Pasal 71: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan segala bentuk kekerasan fisik dan/atau non-fisik atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dipidana dengan pidana penjara paling lama … (…) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. … (…).
      Pasal 72: Setiap orang yang dengan sengaja membuat tulisan dan/atau pernyataan yang merendahkan dan/atau melecehkan seseorang dan/atau kelompok berdasarkan jenis kelamin tertentu untuk dipublikasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dipidana dengan pidana penjara paling lama … (…) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. … (…).
      Pasal 67, 68, dan 69 adalah pasal tentang larangan yang bunyinya sama dengan pasal dalam ketentuan pidana tersebut.
[33]    Lihat Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 alinea 3.34.8 (dalam makalah ini hlm. 10).
[34]    Ibid., alinea 3.34.9

*penulis merupakan peneliti konsep Gender

sumber:  http://pemudapersatuanislam.blog.com/2012/04/05/mengapa-harus-ada-uu-kkg/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar