Oleh Kartika Pemilia
Perempuan Berkalung Sorban,
sebuah film besutan Hanung Bramantyo, menuai kontroversi dan protes
dari berbagai elemen Islam. Setelah melakukan pengkajian dengan mengutus
empat orang dari MUI untuk menonton film yang dirilis 15 Januari 2009
ini, dalam sebuah acara diskusi di sebuah televisi swasta, Wakil Ketua
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. KH Ali Mustafa Ya’kub
MA dengan tegas menyatakan bahwa film ini sangat menghina Islam,
melecehkan pesantren serta kyai. Sepanjang film itu diputar, banyak
sekali pernyataan dan adegan yang tidak patut didengar dan dilihat oleh
orang awam, sebab akan menimbulkan kesalahpahaman terhadap Islam; bahwa
Islam tidak adil terhadap perempuan, seperti yang diucapkan Annisa
(diperankan oleh Revalina S. Temat) dalam film produksi Starvision ini.
Semua
ini berawal dari sebuah novel yang ditulis oleh Abidah Al-Khalieqy
dengan judul yang sama dengan filmnya. Novel yang pertama kali dirilis
pada tahun 2001[i]
ini sejak semula memang ditulis sebagai media alternatif pemberdayaan
perempuan, sosialisasi isu jender, dan hak-hak reproduksi di kalangan
pesantren.[ii] Penerbitannya disokong oleh dua lembaga yang sangat concern dalam mengusung ide-ide liberalisme, yakni Yayasan Kesejahteraan Fatayat[iii] (YKF) dan Ford Foundation, sebuah
LSM asing yang banyak memberikan donasi kepada kelompok liberal di
Indonesia, terutama kelompok yang mengusung isu HAM, jender,
liberalisasi pemikiran, dan Sepilis (Sekularisme, Pluralisme,
Liberalisme). Dengan demikian, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) merupakan novel pesanan. Hal ini diakui oleh Abidah saat diwawancarai oleh majalah Al-Mujtama’. Simak pernyataan Abidah [iv].
Kendati
demikian, terlepas dari otoritas penulis; sebagai novel pesanan,
kandungan novel pesanan tentu harus sesuai dengan tujuan, visi, serta
misi pihak yang memesan. Dengan demikian, maka novel Perempuan Berkalung Sorban adalah
novel berbingkai feminisme. Perspektif feminisme lebih mengarahkan
pandangannya pada karya-karya sastra yang ditulis perempuan, dan
sekaligus juga menampilkan tokoh perempuan dengan berbagai masalahnya.
Perspektif dimaksud tidak semata-mata memandang novel dari kacamata
estetika, tapi juga memfokuskan kajian pada makna dan hubungannya dengan
realitas sosial dan budaya.
Sastra Feminisme
Dalam
pengertian yang paling luas, feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk
menolak segala sesuatu yang dimarjinalisasikan, disubordinasikan, dan
direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan
ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya. Senada dengan definisi
tersebut, The New Encyclopedia of Britannica memaknai feminisme sebagai ‘the
belief, largely originating in the West, in the social, economic, and
political equality of the sexes, represented worldwide by various
institutions committed to activity on behalf of women’s rights and
interests. Jadi, ‘Feminism’ adalah keyakinan yang berasal
dari Barat, berkaitan dengan kesetaraan sosial, ekonomi dan politik
antara laki-laki dan perempuan, yang tersebar ke seluruh dunia lewat
berbagai lembaga yang bergerak atas nama hak-hak dan kepentingan
perempuan. Di sini juga dijelaskan bahwa Dari sana akan bisa diketahui
bahwa term ‘feminism’ berkaitan erat dengan women’s movement dan gender identity.[v]
Dalam
pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminisme dikaitkan
dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan
proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian
merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam
ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan jender.[vi]
Dalam buku Glosarium Seks dan Gender, yang dimaksud kesetaraan jender (gender equality)
ialah (1) kesetaraan kesempatan dan hasil untuk perempuan dan
laki-laki, termasuk penghapusan diskriminasi dan ketidaksetaraan
struktural dalam mengakses sumber daya, kesempatan, dan jasa-jasa, (2)
Kesamaan perolehan kesempatan dan hasil untuk perempuan dan laki-laki,
termasuk penghapusan diskriminasi dan ketidaksetaraan struktural dalam
mengakses sumber daya, kesempatan, dan jasa-jasa, seperti akses yang
sama untuk kesehatan, pendidikan, sumber daya produktif, partisipasi
sosial, dan ekonomi.[vii]
Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf[viii] dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929).[ix]
Terdapatnya komentar miring dari kaum lelaki terhadap buku tersebut
semakin menguatkan kesimpulan bahwa perempuan adalah sebuah produk dari
budaya yang mementingkan nilai-nilai lelaki dan tentunya sastra ikut
membentuk dan merespon nilai-nilai patriarki melalui representasi
perempuan untuk kepentingan budaya laki-laki dan mengesampingkan
pengalaman perempuan. Virginia Woolf telah mengilhami para feminis agar
menggunakan sastra sebagai medium perlawanan terhadap budaya patriarki,
sehingga terbukalah kran bagi sastra bergenre feminisme.
Perkembangannya
yang sangat pesat, yaitu sebagai salah satu aspek teori kebudayaan
kontemporer, terjadi tahun 1960-an. Model analisisnya sangat beragam,
sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, dan
ekonomi. Dalam ranah sastra, genre feminis muncul sebagai reaksi
terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial,
seperti Kritik Baru dan Strukturalisme.[x]
Feminisme sebagai bagian dari Poststrukturalisme memiliki beberapa ciri
khas, salah satunya adalah ketidakmantapan teks. Makna karya ditentukan
oleh apa yang dilakukan oleh teks[xi],
bukan apa yang dimaksudkan, sehingga terjadi pergeseran dari estetika
produksi ke estetika konsumsi, penerima menjadi pencipta. Makna teks
tergantung pada konteks, interaksi pada pembaca, teks bersifat terbuka
sebab secara terus-menerus berinteraksi ke luar dirinya.[xii] Genre ini kemudian dipilih oleh Abidah Al-Khalieqy dalam novel Perempuan Berkalung Sorban
untuk menjadikan perempuan sebagai ‘subjek’ (pencipta), bukan sekadar
penerima. Namun dalam konteks ini, konsep perempuan menjadi ‘pencipta’ menimbulkan
masalah krusial saat mengalami perbenturan yang hebat dengan Islam
sebagai sebuah peradaban dan jalan hidup. Islam memiliki worldview tersendiri dalam memandang hidup dan kehidupan. Islamic Worldview ini akan menentukan cara berpikir dan bertindak seseorang ketika menjumpai realitas.
Melalui
tokoh Annisa, Abidah berusaha melakukan pemberontakan terhadap
ayat-ayat atau hadits-hadits yang dianggap misoginis atau membenci
perempuan. Pemilihan karakter tokoh utama yang memiliki kepribadian
kuat, cerdas, serta kritis, ditambah anak seorang kyai, dianggap mampu
mewakili perjuangan seorang muslimah dalam menegakkan emansipasi
pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan diskriminasi
tokoh-tokoh antagonis yang bersifat patriarkis. Namun, berhasilkah
Abidah melakukannya, atau justru Abidah terjebak dalam kerancuan yang
dibuatnya sendiri?
[i] Pada tahun 2008, beredar edisi revisi novel Perempuan Berkalung Sorban yang
dicetak ulang selama dua kali. Namun pada tahun 2009, novel ini
berhasil melejit angka cetak ulangnya menjadi empat kali. Hal ini
dikarenakan masyarakat penasaran dengan novelnya, setelah terpengaruh
filmnya yang menuai kontroversi. Sumber :
http://id.news.yahoo.com/antr/20090301/ten-novel-perempuan-berkalung-sorban-pal-723204b.html
[ii]Abidah Al-Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban, dalam bab Sedikit Latar Belakang, Sederet Terima Kasih Tak Terhingga, (Yogyakarta, Arti Bumi Intaran, 2001), hal.319.
[iii]
Dalam tujuan, visi, serta misi Fatayat, dinyatakan secara jelas dan
tegas, bahwa Fatayat memperjuangkan terwujudnya masyarakat yang
berkeadilan jender dengan membangun kesadaran kritis perempuan.
Selengkapnya lihat di www.fatayat.or.id. Salah satu tokoh perempuan penuh kontroversi yang masuk dalam jajaran pembina adalah Siti Musdah Mulia.
[iv] Majalah Al-Mujtama’ Edisi 11 Th.I/9 Rabi’ul Awwal 1430 H/5 Maret 2009, hal. 16.
[v] The New Encyclopedia of Britannica, (Chicago : Encyclopedia Brittanica Inc., 15th edition), hal 723.
[vi] Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra-Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hal. 184.
vii] Sugihastuti dan Siti Hariti Sastriyani, Glosarium Seks dan Gender, (Yogyakarta, CarasvatiBooks, 2007), hal. 116-117.
[viii]
Virgina Woolf (1882-1941), adalah seorang penulis Inggris terkenal dan
pemikir yang kritis terhadap politik dan kehidupan sosial masyarakat
Eropa. Woolf mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, saat bergulat
untuk menyelesaikan novelnya yang terakhir, Mrs. Daloway. Dalam
setiap karyanya, Woolf selalu melontarkan pertanyaan : Apakah itu
definisi menjadi perempuan? Bagaimana sebenarnya makna
kesenangan-kesenangan sederhana dalam hidup? Dapatkah momen-momen luar
biasa menjadi penawar penantian panjang yang membosankan dan menakutkan
sepanjang ribuan jam penantian menjelang ajal dan kematian? Sumber : http://72.14.235.132/search?q=cache:ShkCP3U6C9kJ:wap.korantempo.com/view_details.php%3Fidedisi%3D2561%26idcategory%3D98%26idkoran%3D102357
%26y%3D2007%26m%3D5%26d%3D27+virginia+woolf%2Bucu+agustin&cd=1&hl=en&ct=clnk, diakses 13 Maret 2009.
[ix] A Room of One’s Own adalah
novel yang bercerita tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh
perempuan. Isi novel ini tidak dipandang penting oleh kritikus sastra
saat itu. Bagi para kritikus sastra saat itu (yang kebetulan berjenis
kelamin laki-laki), novel-novel bertema perang dianggap lebih penting
daripada yang bertema pikiran dna perasaan perempuan. Berbeda sekali
dengan penghargaan yang diberikan kepada para sastrawan perempuan pada
masa Rasulullah SAW. Adalah Khansa ra, seorang sahabiyah yang sangat
terkenal sebagai seorang penyair. Ibnu Atsir ra berkata bahwa telah
menjadi kesepakatan ulama bahwa Khansa ra merupakan perempuan penyair
terbaik, tak seorang pun yang dapat mengungguli keindahan syairnya, baik
pada masa sebelumnya maupun masa sesudahnya. Bisa Anda bayangkan, para
ulama yang sebagian besar laki-laki, mengakui reputasi seorang perempuan
dalam bidang sastra. Jadi tidak benar tuduhan bias jender yang
dilontarkan oleh para feminis terhadap para ulama, hanya karena mereka
laki-laki, lantas mereka membuat karya yang memarjinalkan perempuan dan
tidak mengakui prestasi perempuan.
[x] Ibid., hal.184-185.
[xi] Peneliti mengartikan kalimat ‘apa yang dilakukan teks’ sebagai
‘realitas yang selalu mengikuti alur sejarah’, yang kemudian menjadi
pijakan para pengusung liberalisme untuk membuat aturan serta kaidah
dalam memahami teks, termasuk teks-teks keagamaan.
[xii] Prof.Dr.Nyoman Kutha Ratna, S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra-Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hal. 161.
sumber: http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=148:kritik-terhadap-konstruksi-feminisme-dalam-novel-perempuan-berkalung-sorban&catid=32:gender&Itemid=100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar