Oleh: Kholili Hasib*
Wanita,
selalu menjadi tema sentral dalam pemikiran modernisasi dan isu-isu
globalisasi. Kebebasan wanita dan elemen-elemen yang terkait hampir
selalu mencuat menjadi tema-tema utama wacana liberalisasi, persamaan (equality) dan modernisasi. Dalam perspektif liberal, kebebasan wanita adalah salah satu ikonnya.
Penafsiran
liberal juga diaplikasikan kepada wacana pornografi, yang menjadikan
wanita sebagai objek eksploitasi. Pornografi dianggap seni, yang perlu
diapresiasi. Inilah nalar postmo, tidak mengenal ukuran normatif. Tidak
dikenal benar-salah. Klaim kebenaran, dianggap menghambat orang lain dan
menyuburkan otoriteriarisme. Ketika, korban-korban video porno yang
menimpa anak-anak dan remaja semakin banyak, aktivis feminis dan liberal
‘tiarap’ tak dengar ‘nyanyian’ argumentatifnya. Itulah paradoks yang
menimpa pemikiran postmodernisme – yang sejak awal kelahirannya selalu
menjadi wacana kontroversial, terutama tentang diskursus perempuan.
Penindasan Dibalik Kampanye Feminisme
Diskursus
perempuan dan aspek-aspek lainnya yang dikaitkan dengannya memang
menjadi arena wacana yang selalu menarik. Lebih khusus dalam akal
manusia Barat – di mana feminisme lahir darinya. Bagi Barat, sedari
zaman kuno hingga abad modern, perempuan dan kecantikan serta
seksualitas adalah wacana yang tidak bisa dipilah. Dalam patung-patung
Yunani kuno misalnya, banyak ditampilkan model wanita telanjang.
Tampaknya, Yunani kuno memuja-muja kemolekan perempuan, hal itu bisa
dilihat dari arena Olympus Yunani kuno. Kebiasaan inilah barangkali yang
diwariskan kepada budaya Barat saat ini.
Ironinya,
di satu sisi keindahan fisik dipuja, di sisi lain hak dan jiwa wanita
Barat saat itu dipenjara. Sejarah kelam institusi Inkuisisi Gereja pada
era darkages menampilkan kerendahan perempuan dalam otoritas
Gereja Eropa. Mayoritas korban penyiksaan keji lembaga Inkuisisi adalah
perempuan. Hak dan kehormatan wanita dieksploitasi, bahkan oleh orang
Barat kuno, wanita dianggap sebagai jelmaan setan. Naudzubillah.
Berangkat
dari kutup ekstrim kembali pada kutub ekstrim yang lain. Inilah
barangkali yang dialami diskursus perempuan Barat. Setelah mengalami
eksploitasi hebat pada darkages, gerakan feminisme pada era
pencerahan Eropa justru mebebeaskan perempuan sebebas-bebasnya, tanpa
batas, mengenyahkan ukuran normatif agama.
Kelahiran
feminisme, seiring dengan modernisasi agama di barat. Pada era
selanjutnya, postmodernisme –memeriahkan intelektualitas Barat yang
tidak hanya merambah dunia seni, arsitektur, dan sastra akan tetapi pada
akhirnya ‘menyodok’ pula pada ruang agama. Inti kandungan filsafat
postmodernisme ini adalah anti otoritas keagamaan, relativisme,
pluralisme dan kesetaraan dalam semua aspek.
Term
postmodernisme beserta ruang lingkupnya berpengaruh secara massif
terhadap analisis kefilsafatan dan keberagamaan. Religiuitas Barat
modern disesaki dengan pendekatan postomodern – yang doktrin utamanya
adalah – nihilisme, anti-otoritas, pluralisme dan equality (kestaraan) tanpa memandang agama dan jenis kelamin.
Di sinilah, wacana tentang wanita mengalami perjalanan pada kutup ekstrim yang kedua. Dan dari sinilah wacana equality
dan kebebasan perempuan justru menemukan titik eksploitas yang
memuncak. Hal ini semakin menggugah pertanyaan, adakah kemajuan dan
kemuliaan dari Liberalisasi Perempuan?
Barat
yang memelopori pembukaan kran liberalisasi perempuan, dan Barat pula
yang melanggar hak-hak keperempuanan. Berdasarkan laporan PBB tahun
2006, kasus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi gender di
lingkungan kerja Prancis sangat mengkhawatirkan. Menurut laporan
tersebut, dua pertiga pekerja rendahan yang semuanya perempuan dalam
kondisi mengkhawatirkan.
Di
Inggris, kasus hamil di luar nikah, aborsi dan eksploitasi tubuh wanita
oleh media juga menjadi menghiasi laporan PBB tahun 2008. Kondisi di AS
lebih tragis, menurut laporan FBI AS, pada tahun 2003 sebanyak 93
korban perkosaan dan pelecehan seksual di AS tidak ditanggapi serius
oleh pengadilan.
Liberalisasi dan slogan equaliy
ternyata gagal mengangkat derajat mulia kaum perempuan. Liberalisasi
dan feminisme, satu sisi membongkar kemapanan beragama kaum perempuan.
Bahkan istilah feminis mengandung makna tidak beragama. Feminis berasal
dari kata “Fe-minus” yang artinya tidak beriman. Di balik itu pula
slogan equaliy seperti bunuh diri, yakni, perempuan dieksploitasi.
Di
Indonesia, wacana tersebut ternyata diminati bahkan semakin percaya
diri. Perempuan dan seks sengaja menjadi isu sentral dalam membentuk
opini Liberal – yang antiotoritas normatif agama. Islam dalam konteks
ini sengaja dikreasi menjadi agama Postmo – yakni doktrin-doktrinnya
dibongkar diganti dengan norma-norma humanis-sekuler. Kelihatannya
indah, tetapi mematikan. Rasanya nikmat, namun beracun.
…Di
Indonesia, wacana liberalisasi dan feminisme sangat diminati. Perempuan
dan seks sengaja menjadi isu sentral dalam membentuk opini Liberal.
Seorang kandidat doktor menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai urusan
dengan seksualitas…
Sebuah buku yang ditulis SQ, seorang kandidat doktor sebuah kampus di AS, mengatakan “Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas”. Menurutnya, praktik seks bebas tidak secara jelas diatur dalam diktum keagamaan. Bahkan yang lebih ekstrim dia berkomentar “Agama yang masih mengatur seks, beserta hukumnya, adalah agama kuno”. Astaghfirullah…
Bagi
kaum Liberal, inilah era posmo. Sebuah zaman yang tidak memerlukan
aturan agama untuk menjadi manusia baik, sebab, seperti dikumandangkan
oleh Nietzsche, Tuhan telah terbunuh. Otoritas tidak lagi normatif
keagamaan, akan tetapi nilai-nilai rasio manusia. Dalam hal ini
diskursus perempuan menjadi arena menarik untuk menjejali manusia modern
agar menjadi manusia yang posmo.
Dalam
konteks ini, wanita-wanita telah dimanfaatkan oleh pejuang-pejuang
Feminisme untuk menipu para wanita, agar mereka beranggapan bahwa
perjuangan Feminisme memiliki di negerinya sendiri, Sehingga, muncul
persepsi bahwa kebangkitan wanita perlu dilakukan dan ditingkatkan,
Namun sayang, perjuangan wanita kebanyakan telah menyimpang mereka
berusaha menyaingi laki-laki dalam berbagai hal, yang kadangkala sampai
di luar batas kodrat mereka sebagai wanita.
Tanpa
mereka sadari, wanita-wanita telah diarahkan kepada perjuangan
Feminisme dengan membawa ide-ide Kapitalisme–Sosialisme, yang pada
akhirnya menjerumuskan wanita-wanita itu sendiri, bahkan membawa
kehancuran bagi masyarakat dan negaranya. Hal ini disebabkan, mereka
meninggalkan tugas utama sebagai ummun wa robbatul bait (ibu
dan pengatur Rumah tangga) dan posisi mereka sebagai muslimah yang harus
terikat dengan hukum-hukum syara’. Mereka telah terbelenggu kepada
perjuangan yang bersifat individual dan semata-mata mendapatkan
keuntungan.
Disinilah
menjadi suatu keharusan, untuk meluruskan peran wanita (khususnya
muslimah) dalam usaha untuk mengembalikan kehidupan yang hakiki yang
didasarkan kepada Islam sebagai diin yang syamil dan kamil.
Perjuangan muslimah untuk kebangkitan umat yang hakiki tidak bisa
dilepaskan dari perjuangan dengan laki-laki, karena untuk mewujudkan
masyarakat Islam, di mana di dalam masyarakat itu terdiri dari laki-laki
dan perempuan, mengharuskannya berjuang bersama-sama tidak
terpisah-pisah dan bersaing satu sama lain.
* Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya
sumber: http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=919%3Amengoreksi-tafsir-liberal-dan-feminis-tentang-wanita&catid=70%3Aopini&Itemid=104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar