Rabu, 09 Mei 2012

RUU KKG: Pertarungan Feminis VS Muslimah Indonesia?

 Oleh: Sarah Larasati Mantovani


KEHADIRAN Irshad Manji ke bumi nusantara seperti menjadi bukti bahwa saat ini para feminis sedang menyerang perempuan Indonesia, khususnya Muslimah dengan begitu sistemik, selain melalui undang-undang, film dan kontes kecantikan.

Tentu, Muslimah Indonesia tidak bisa tinggal diam. Sebelum ini, melalui Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) banyak Muslimah yang menandatangani surat pernyataan dukungan penolakan terhadap RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang nantinya surat dukungan tersebut akan dibawa ke DPR sebagai bahan pertimbangan.

Surat dukungan tersebut memang bukanlah hasil akhir dari perjuangan Muslimah yang menolak keberadaan RUU KKG di Indonesia dan tentu saja, RUU KKG, boleh jadi bukan hasil akhir dari perjuangan para feminis untuk mengkampanyekan pemikirannya  di Indonesia.

Sebab kenapa? Para feminis belum bisa tenang jika Indonesia belum benar-benar menjadi negara liberal, di mana mereka juga ingin agar hak-hak untuk menikah beda agama dan hak-hak untuk menikah dengan sesama jenis terimplementasi di Negara, yang dikenal mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia ini.

Meski begitu, dibalik itu semua, pasti selalu ada para Muslimah yang tetap berusaha untuk menghalangi keinginan para feminis ini.

Kaum feminis mungkin sangat gemas, sebab sejak Indonesia meratifikasi CEDAW pada tahun 1984, target mereka agar Kesetaraan Gender (KKG) benar-benar terimplementasi di Indonesia belum sepenuhnya tercapai. Salah satunya seperti kuota 30% yang ditargetkan oleh para feminis dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu hasilnya selalu di bawah 20%, jumlah tertinggi tingkat keterwakilan perempuan di parlemen nasional hanya 12 % sedangkan pada periode terakhir menurun menjadi 11% di DPR. (lihat Adriana Venny, http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=45763).

Meski kini, keterwakilan perempuan di DPR RI memang telah mencapai 18 persen, tetapi angka itu tetap lebih tinggi daripada negara lain yang menaruh perwakilannya sebagai anggota CEDAW. Contohnya seperti di Amerika Serikat yang keterwakilan perempuan di parlemen hanya 16,8%; Jepang 11,3%; Korsel 15,6%,  Malaysia 9,9%, Brazil 8,6%.  Sementara itu, keterwakilan perempuan di parlemen Rwanda mencapai 56,3%, Nepal 33,2%, Tanzania 36%, Uganda 34,9% dan Ethiopia 27,8%. (Lihat : Women in Parliament, November 2011, http://www.ipu.org/wmne/classif.htm).

Bahkan, saat melihat hasil kuota keterwakilan Perempuan yang hanya segitu, Komite Pengawas Pelaksanaan CEDAW di markas PBB dalam concluding comment-nya (2007) amat menyayangkan kecilnya jumlah ke-terwakilan perempuan di parlemen periode 2004. Komite itu menyatakan kecewa, karena tingkat keterwakilan perempu¬an dalam politik di Indonesia sangat rendah, juga menyayangkan tidak adanya sanksi atas gagalnya tindakan khusus se¬mentara 30 % keterwakilan pe¬rempuan dalam kancah per¬po¬litikan Indonesia. (Lihat Adriana Venny, suaramerdeka.com)

Tidak hanya itu, dalam situs UN, dikatakan bahwa masih kuatnya sistem patriarki dan masih adanya 16 peraturan yang melanggar hak-hak perempuan di Indonesia menjadi penyebab terhambatnya implementasi CEDAW di Indonesia (lihat http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/cedaw.htm).

Justru hal semacam ini menjadi pertanyaan besar di benak saya, kenapa PBB terutama United Nations (UN) Women menaruh perhatian sebegitu besarnya pada kuota perempuan di dunia perpolitikan Indonesia?

Kenapa UN Women sangat bernafsu ingin perempuan Indonesia terjun ke dalam kancah perpolitikan atau bahkan sangat ingin perempuan Indonesia, khususnya Muslimah, berontak dengan keadaan yang dianggap oleh UN Women sebagai diskriminasi? Apakah UN Women ingin perempuan Indonesia keluar dari fitrahnya? Ada apa di balik semua ini?.

Bukan Pertarungan Biasa

Umat Islam pasti sudah hafal dengan adagium terkenal di dalam Islam, “al umm al madrosatul ‘ula” (Ibu adalah sekolah pertama untuk anak-anaknya). Dan iInilah yang sangat disadari oleh Muslimah kita. Sebagai seorang Ibu, tentu para Muslimah sangat ingin apabila nantinya dalam rahim-rahim mereka lahir generasi-generasi unggul seperti Umar bin Khattab ra., Buya Natsir, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, Laksamana Malahayati atau Raden Ajeng Lasminingrat.

Bahkan, Rasulullah shalallahu ‘alayhi wassallam saat ditanyai oleh salah seorang sahabatnya mengatakan bahwa seorang Ibu harus lebih didahulukan haknya daripada Ayah,

“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling terbaik untuk ku pergauli dengan baik?”, Beliau berkata, “Ibumu”, Laki-laki itu bertanya kembali, “kemudian siapa?”. “Ibumu”, jawab Beliau. “kemudian siapa?”, tanyanya lagi. “kemudian Ayahmu”, jawab Beliau.” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6647).
Oleh karena itu, mengurus dan mendidik anak-anak bukan lah perkara yang bisa dianggap sepele. Anak bagaikan benih yang suatu saat tumbuh berdasarkan apa yang ia dapat dari Ibunya, dari orangtuanya. Ibunya lah yang pertama kali memperkenalkan agama pada sang anak dan Ibunya pula yang pertama kali menanamkan nilai-nilai kehidupan pada sang anak. Namun rupanya, hal ini lah yang sangat dibenci oleh para feminis. Mereka tidak perduli. Kalau kata feminis, “Saya tidak mau menghabiskan waktu untuk menyusui.Saya sangat paham akan hak anak, tapi my body is my right!. Enak saja semua tanggung jawab ini jadi beban Perempuan. Mulai dari hamil, melahirkan dan menyusui. Rasanya tidak adil!“.

Tentu, cara berfikir kita (Muslimah Indnesia) berbeda dengan kalangan feminis yang menganut paham Barat. Dan pertarungan antara Muslimah dan feminis dalam RUU KKG bukanlah pertarungan biasa. Bisa jadi ini disebut pertarungan antar wanita, pertarungan antar seorang Ibu, karena Muslimah ingin menempatkan kembali peran seorang Ibu pada tempatnya sesuai dengan ajaran Islam sedangkan feminis tidak. Muslimah ingin agar Perempuan Indonesia menyadari benar akan pentingnya arti kehadiran seorang Ibu sedangkan feminis sebaliknya.

Seorang peneliti Muslim belum lama ini mengatakan,  “Luar biasa. Stamina kita harus kuat. Kita tidak bisa diam. Kita harus bergerak, meski yang kita lakukan itu kecil. Wallahul musta’an…”.

Saya harap, semoga Allah senantiasa menguatkan izzah para Muslimah Indonesia untuk terus berjuang menolak RUU KKG ini. Wallahu’alam.*

*Penulis adalah pemerhati masalah kewanitaan


sumber: http://www.hidayatullah.com/read/22496/03/05/2012/ruu-kkg:-pertarungan-feminis-vs-muslimah-indonesia?.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar