Oleh:
Muhammad Haekal Hakim
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini, sering terdengar istilah ketimpangan gender.[i]
Istilah tersebut akan selalu dimaknai sebagai ketertindasan,
diskriminasi, ketertinggalan dan banyak istilah lain, yang semuanya
dialamatkan kepada sosok perempuan. Pernyataan ini memang sangat logis.
Karena bagaimanapun, perempuan adalah sumber daya yang sangat besar,
bahkan jauh melampui laki-laki.[ii]
Namun, pada kenyataannya tidak banyak perempuan yang mampu berbicara
dalam masyarakat. hal ini tidak lain karena dominasi laki-laki dalam
segala aspek kehidupan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat secara
umum, ataupun dalam skala besar di suatu Negara. Hal ini melahirkan
kesan, adanya ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.[iii] Dan terkadang, istilah ketimpangan gender tersebut selalu dikait-kaitkan dengan agama.[iv]
Selain itu, mereka –dalam hal ini kaum feminis—berusaha mencari
legitimasi bahwa argumentasi yang berkaitan dengan ketidakadilan bagi
kaum perempuan, harus dikaji ulang.[v]
Mereka beralasan, al-Qur’an meletakkan laki-laki dan perempuan dalam
kesetaraan. Tidak ada yang diunggulkan antara yang satu dan yang lain.
Dalam
Islam, antara laki-laki dan perempuan adalah setara, yang membedakan
keduanya adalah siapa yang paling taqwa kepada Allah swt.[vi] Keduanya mutlak ada saling kecendrungan dan saling menentramkan.[vii]
Dengan adanya saling cendrung dan saling memberikan ketentraman
tersebut, akan tercipta sebuah kelansungan hidup yang saling melengkapi
antara satu dan yang lain. Hal ini pula yang akan membantu manusia
mencapai tujuan penciptannya, yaitu beribadah kepada Allah.[viii] Dengan tujuan yang sama tersebut, lahirlah sebuah kemitraan antara keduanya,[ix]
dan kemitraan tersebut menjadi akar keserasian antara laki-laki dan
perempuan. Karena Allah menciptakan mereka sebagai mitra yang serasi,
yang diberi tanggung jawab untuk melestarikan jenis manusia dan
memelihara kehidupan. Keduanya bertanggung jawab mengelola alam semesta
beserta seluruh isinya.[x]
Dengan
perbedaan makna dan pemahaman terhadap kesetaraan dan keserasian
gender, muncul masalah dalam pemahaman tersebut. Apakah kesetaraan itu
sejalan dengan misi al-Qur’an, ataukah justru yang dimaksudkan al-Qur’an
adalah keserasian, yang juga kesetaraan. Karena tidak dapat dipungkiri,
banyak ayat al-Qur’an yang mengangkat masalah kedudukan antara
laki-laki dan perempuan adalah sama,[xi]
namun tidak berarti persamaan tersebut bermaksud kesetaraan antara
keduanya dalam segala aspek. Bagaimanakah para ulama Islam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an yang dianggap sebagai argumentasi kesetaraan. Karena
bagaimanapun, wacana kesetaraan gender sebenaranya justru akan banyak
merugikan kaum perempuan itu sendiri.[xii] Karena memang konsep kesetaraan itu sendiri masih menjadi perdebatan panjang sampai saat ini.[xiii] Namun, jika kesetaraan yang dimaksud dimaknai sebagai keserasian, maka misi al-Qur’an pun terlaksana.[xiv]
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa konsep kesetaan gender tersebut kurang
tepat dalam Islam. Berbeda dengan konsep keserasian, yang menempatkan
laki-laki dan perempuan menurut porsi masing-masing. Baik dalam hak
maupun kewajiban.[xv]
Dengan keserasian dan adanya keterikatan antara yang satu dan yang
lain, tercipta sebuah keharmonisan, karena kedua mahluk tersebut memang
tercipta untuk saling melengkapi. Bukan untuk saling mendahului ataupun
saling menjatuhkan. Dalam konteks ini, adil atau setara bukan harus
berarti sama atau sejajar 50/50,[xvi] namun adanya ikatan yang kemudian melahirkan keserasian dan keharmonisan antara kedua mahluk tersebut.
Melalui
makalah singkat ini, akan dibahas konsep keserasian dalam al-Qur’an,
yang berbeda dengan konsep kesetaraan. Hal ini akan dibuktikan dengan
pemaparan ayat-ayat yang menjelaskan kedudukan serta keserasian antara
keduanya, disertai dengan pandapat para ulama yang memiliki otoritas
dalam masalah ini.
B. AL-QUR’AN TENTANG LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Al-Qur’an
adalah kitab suci umat Islam. Dan sebagai muslim, selayaknya mengimani
al-Qur’an, karena merupakan konsekuensi dari tauhid. Artinya, mereka
yang tidak beriman dengan al-Qur’an, perlu dipertanyakan imannya.[xvii] Karena Al-Qur’an merupakan kalam Allah swt, dan tidak ada keraguan atasnya.[xviii]
Di dalam al-Qur’an, semua hal dapat dijumpai. Inilah bukti kemukjizatan
al-Qur’an, yang membedakannya dengan kitab-kitab ataupun suhuf yang
diturunkan kepada nabi-nabi yang lain.
Sebagai
mukjizat terbesar yang diberikan kepada nabi muhammad saw, setidaknya
al-Qur’an memiliki dua fungsi dasar. Yang pertama, sebagai sumber ajaran
dan yang kedua sebagai kebenaran akan kerasulan nabi muhammad saw.[xix]
Sebagai sumber ajaran, al-Qur’an memberikan berbagai norma keagamaan
sebagai petunjuk bagi kehidupan umat manusia, untuk mencapai kehidupan
di dunia dan di akhirat, yang juga merupakan akhir dari perjalanan
manusia itu sendiri. Dan yang kedua, al-Qur’an turun sebagai pembenaran terhadap kerasulan nabi Muhammad saw, terutama bagi mereka yang menentang dakwah-dakwahnya.[xx]
Dalam
Islam, hal pertama yang harus disadari seorang muslim adalah,
eksistensinya dan siapa dirinya. Dan untuk mengenal diri serta dari mana
asalnya, maka Islam berinteraksi dengan manusianya melalui akidah dan
syariatnya. Syariat Islam tidak lain hanya akan di peroleh dalam
al-Qur’an dan hadis nabi saw. Dengan demikian, manusia akan lebih
mengenal eksistensinya di balik semua ilmu dan amal yang dilakukannya.[xxi] Al-Qur’an
sendiri sangat banyak membahas masalah laki-laki dan perempuan. Dari
hubungan antara keduanya, keserasian serta perbedaan mendasar antara
keduanya, baik dalam hal yang berkaitan dengan hak maupun kewajiban masing-masing.
Al-Qur’an
sebagai kitab suci yang merupakan petunjuk bagi umat manusia,
senantiasa menempatkan manusia sesuai dengan porsinya. Manusia sebagai
mahluk yang sama dihadapan Allah swt, namun berbeda dalam beberapa hal,
yang mana perbedaan tersebut merupakan bukti keserasian antara keduanya.
Hal ini bisa dilihat dari ayat-ayat yang menjelaskan posisi keduanya
yang setara dan serasi,
khusunya di hadapan Allah. Namun kesetaraan tersebut bukan sebagai
bukti mereka adalah mahluk yang sama dalam segala hal, seperti yang
banyak disuarakan para feminis. Contoh kesetaraan dalam Islam yang
digambarkan al-Qur’an adalah, bagaimana antara laki-laki dan perempuan
tidak ada yang lebih utama antara keduanya, dalam kebebasan, kewajiban
dan hak.[xxii] Dalam al-Hujuraat Allah berfirman yang artinya:
“hai
sekalian manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa
di antara kalian. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
mengenal.” (QS. Al-Hujuraat:13)
Ibnu katsir mengenai ayat ini mengatakan, “semua manusia berada dalam kemuliaan, namun, masing-masing saling memiliki kelebihan
antara yang satu dan yang lain dalam urusan-urusan agama, yaitu ta’at
kepada Allah dan mengikuti rasulallah saw. Oleh karena itu, Allah
melarang manusia untuk saling menghina dan saling menjelekkan, sebagai
peringatan bahwa mereka sama-sama manusia.”[xxiii]
Berdasarkan
ayat di atas (dan masih banyak ayat yang semakna dengan ayat di atas),
sangat jelas al-Qur’an mengangkat manusia, tidak ada perbedaan antara
yang satu dengan yang lain, kecuali dalam ketaqwaan kepada sang
pencipta. Hal ini juga menegaskan bahwa, sistem relasi antara laki-laki
dan perempuan dimasyarakat sesuai dengan norma ajaran Islam. Maka, berkaitan
dengan ini, masalah ketimpangan gender yang sering dianggap sebagai
permasalahan sebenarnya telah selesai, karena bagaimanapun, ketimpangan
gender yang sedang marak saat ini sudah tidak dianggap menjadi masalah
dalam Islam. Justru agama Islamlah yang mengangkat kaum perempuan sesuai
dengan fungsi serta perannya.
C. ARGUMENTASI KESERASIAN
1. Argumentasi biologis
Berkaitan dengan argumentasi
biologis, akan dibahas masalah penciptaan manusia. Yang mana dalam hal
ini kaum feminis menganggap ada kerancuan dalam memahami ayat-ayat[xxiv]
yang menjelaskan substansi penciptaan manusia, khususnya penciptaan
perempuan, sehingga menyebabkan munculnya interpretasi yang menjadikan
perempuan sebagai mahluk kelas dua di bawah laki-laki. Menurut kaum feminis, segala penafsiran yang ada dianggap bias laki-laki. Hal ini membentuk pola pikir yang
kemudian termanifestasikan dalam sikap dan perilaku. Sehingga, bila
konsep teologisnya sudah bias patriarki, maka sikap dan tindakannya juga
cenderung bias patriarki pula.[xxv] Akhirnya, tafsir-tafsir yang ada dianggap
mengandung kepentingan penafsir. Padahal, tidak dipungkiri ada juga
mufassir yang tidak setuju dengan hadis penciptaan perempuan dari tulang
rusuk laki-laki sebagai tafsir untuk ayat mengenai penciptaan Adam dan
Hawa.[xxvi] Oleh karena itu, feminis muslim, dalam hal ini Riffat Hasan[xxvii], dan feminis muslim lainnya mempertanyakan keabsahan hadis yang menjelaskan penciptaan wanita tersebut.[xxviii]
Menanggapai
penolakan kaum feminis terhadap penciptaan wanita dari tualang rusuk,
akan dibahas pandangan ulama berkaitan dengan hal tersebut. Dengan
merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an, penciptaan manusia dapat
dikategorikan kepada empat macam cara: (1) diciptakan dari tanah
(penciptaan Nabi Adam); (2) diciptakan dari (tulang rusuk) Adam
(penciptaan Hawa); (3) diciptakan melalui seorang ibu dengan proses
kehamilan namun tanpa ayah secara biologis (nabi Isa); (4) penciptaan
manusia pada umumnya, melalui proses biologis dengan adanya ayah dan
ibu.[xxix]
Dalam surat an-Nisaa’ ayat 1, Allah berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا
وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا(النساء:1)
“hai
sekalian manusia, bertaqwalah kepada tuhanmu, yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah mnciptakan istrinya, dan
dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Aallah yang dengan nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa’: 1)
Dalam menafsirkan ayat ini, jumhur ulama tafsir (mufasiiruun), seperti Tafsir al-Qurthuby[xxx], Tafsir ibn katsir[xxxi], Tafsir Jami’ al-Bayan[xxxii], Tafsir al-Kasysyaf[xxxiii] dan al-Maraghi[xxxiv], menafsirkan makna dari kata (nafsin waahidah) “jiwa yang satu” sebagai Adam as, kemudian dhamir minhaa, ditafsirkan dengan “dari bagian tubuh adam”, dan kata zaujahaa oleh para ulama ditafsirkan dengan Hawa.[xxxv]
Hal ini bukan tanpa dasar, melainkan merujuk kepada makna hadis nabi
Muhammad saw, yang menjelaskan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari
tulang rusuk Adam. Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa makna
dari dhamir minhaa kembali kepada asal penciptaan adam. Sehingga, adam dan hawa diciptakan dari unsur yang sama, yaitu tanah.[xxxvi] Ulama yang berpendapat demikian salah satunya Abu Muslim al-Isfahani.[xxxvii]
Demikian pula halnya dengan al-Khatib as-Syarbani, beliau mempertegas
dengan logika bahasa bahwa Hawa tercipta dari tanah yang sama yang
merupakan bahan dasar penciptaan Adam.[xxxviii]
Adapun hadis tentang penciptaan wanita adalah:
حدثنا
إسحاق بن نصر حدثنا حسين الجعفي عن زائدة عن ميسرة عن أبي حازم عن أبي
هريرة : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( من كان يؤمن بالله واليوم
الآخر فلا يؤذي جاره واستوصوا بالنساء خيرا فإنهن خلقن من ضلع وإن أعوج شيء
في الضلع أعلاه فإن ذهبت تقيمه كسرته وأن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا
بالنساء خيرا )[xxxix]
“Dari
abu hurairah, rasulallah saw bersabda: barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya, dan saling
berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada kaum perempuan, karena
mereka diciptakan dari tulang rusuk dan bagian tulang rusuk yang paling
bengkok adalah bagian paling atas. Maka, jika kamu berusaha untuk
meluruskannya, kamu akan mematahkannya, dan jika kamu membiarkannya, ia
akan tetap dalam keadaan bengkok. Maka saling berpesanlah kalian untuk
saling berbuatg baik kepada kaum perempuan”. (HR. Bukhari)
Dengan
lebih dalam memahami makna-makna dari ayat-ayat al-Qur’an tentang
penciptaan ataupun ayat-ayat lain yang berbicara masalah perempuan dan
laki-laki, tidak akan didapatkan sebuah “cacat” pun dalam masalah ini.[xl]
Seperti dijelaskan di atas, adanya tafsir dalam masalah awal penciptaan
tersebut diartikan sebagai akar penindasan dan penyelewengan terhadap
kaum perempuan.
Mengenai ayat penciptaan manusia, khusunya wanita dan kaitannya dengan hadis penciptaan wanita, para ulama salaf (klasik) tidak menafsirkan ayat dan hadis tersebut sebagai hujjah atas superioritas laki-laki terhadap perempuan. Sebab, sekalipun diciptakan secara berbeda,
esensi masing-masing tidak berbeda. Karena al-Qur’an tidak pernah
menilai kemuliaan dan kehinaan berdasarkan asal usul. Namun, oleh para
feminis,
hadis tersebut dianggap sangat bermasalah, karena melahirkan
ketimpangan gender dan menempatkan perempuan sebagai mahluk sekunder,
mahluk yang diciptakan dari bagian laki-laki, dalam hal ini Adam.
Jika
penciptaan perempuan dari tulang rusuk dianggap tidak masuk akal karena
bertentangan dengan ayat al-Qur’an, maka harusnya ada perbandingan.
Bagaimanakah dengan penciptaan Adam dari tanah? Atau bagaimanakah Isa lahir dari seorang ibu tanpa ayah dan tidak melalui proses yang biasanya? Artinya, tidak ada yang mustahil bagi
Allah swt. Dan hikmah yang terdapat di dalamnya adalah, bahwa hal
tersebut menunjukkan kuasa Allah swt menciptakan yang hidup dari yang
hidup pula, tanpa harus melalui proses kelahiran, dan sekaligus sebagai
bukti akan kuasa Allah yang menciptakan yang hidup dari yang tidak
hidup.[xli] Sehingga, keyakinan bahwa Hawa berasal dari tulang rusuk Adam sedikitpun tidak menggiring satu persepsi penghinaan terhadap perempuan dan meletakkan perempuan dalam subordinat dari superordinat atau sebagai the second human being (masyarakat kelas dua).[xlii]
Memang, ada yang memaknai hadis penciptaan perempuan tersebut secara metaforik,[xliii]
namun hal tersebut justru akan meninggalkan tanda tanya tentang
penciptaan perempuan. Asal penciptaan perempuan menjadi tidak terjawab.
Dan jika ayat pada surat an-Nisa ditafsirkan bahwa penciptaan Hawa
adalah dari jenis Adam, maka konsekuensi logisnya adalah umat manusia
berasal dari dua diri, bukan dari satu diri. Dan tentunya hal ini
bertentangan dengan pernyataan Allah bahwa manusia diciptakan dari diri
yang satu.[xliv]
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada masalah dengan hadits penciptaan wanita.
Dan memang, Hawa diciptakan dari tulang rusuk adam, namun hal itu tidak
berarti bahwa hawa dan kaum perempuan menjadi tertindas. Sehingga,
kalaupun saat ini ada dari kalangan perempuan yang mendapatkan perlakuan
tidak adil, diskriminatif, tertindas, maka itu kembali kepada diri
mereka sendiri. Terlebih lagi Islam, yang membebaskan manusia terutama
perempuan dari penindasan dan segala perlakuan diskriminatif.[xlv]
2. Argumentasi sosiologis
a. Kepemimpinan
Dilihat
dari dimensi sosialnya, Islam adalah satu-satunya agama yang mutlak
berbeda dengan semua agama-agama maupun seluruh peradaban di seluruh
dunia. Karena Islam mendifinisikan agama sebagai masalah kehidupan itu
itu sendiri.[xlvi]
Akibatnya, apapun yang merupakan aktifitas seorang muslim, wajiblah
aktifitas tersebut sesuai dengan tuntunan Islam. Hal ini tidak dibatasi
oleh ruang dan waktu. Karena dalam Islam, Islam adalah ruang dan waktu
itu sendiri, sehingga Islam relevan untuk seluruh ruang dan waktu.[xlvii]
Begitupula halnya dalam kehidupan bermasyarakat. Islam menjamin hak-hak
asasi laki-laki dan perempuan, karena hal tersebut merupakan teori
sosial Islam. Dalam teori sosial Islam, hubungan antara manusia yang
satu dengan yang lainnya dalam masyarakat adalah hubungan yang alamiah,
yang tidak mungkin bisa dihindari.[xlviii]
Berkaitan
dengan ini, peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tentu sangat
vital, mengingat keduanya adalah mahluk sosial yang tentunya bergelut
dalam masyarakat dan merupakan khalifah[xlix] Allah di bumi. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30.[l]
Menurut kaum feminis, surat al-Baqarah ayat 30 menjelaskan peran perempuan yang tidak berbeda dengan laki-laki. Begitu pula dalam surat al-An’am ayat 165,[li]
Allah menegaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah (pemimpin,
penguasa) di muka bumi. Dalam ayat-ayat tersebut, tidak dikhususkan
jenis kelamin tertentu untuk menjadi khalifah ataupun pemimpin, sehingga
keduanya berhak menjadi pemimpin, baik dalam rumah tangga ataupun
masyarakat umum, tentunya dengan dibekali kemampuan.
Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan panjang, bahkan menurut Fatimah Mernissi,[lii] perdebatan tentang kepemimpinan perempuan sudah setua Islam itu sendiri.[liii]
Menurutnya, menyangkut persoalan jenis kelamin maupun ras, Islam telah
memberi hak yang sama. Antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang
penuh untuk memimpin. Sama halnya dengan ratu Bilqis pada zaman nabi Sulaiman, yang memiliki segalanya sehingga mampu menjadi pemimpin.[liv]
Dengan alasan yang demikian, didukung dengan pendapat syeikh Ghozali[lv], Mernissi menggugat otentisitas dan validitas hadis nabi tentang kepemimpinan perempuan. Adapun hadis tersebut adalah:
[lvi] لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
Oleh Mernissi, hadis tersebut[lvii]
dianggap bertentangan dengan ayat al-Qur’an, baik ayat-ayat yang
menunjukkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, ataupun ayat yang
menyebutkan kepemimpinan perempuan, dalam hal ini surat an-Naml. Ayat
dalam surat an-Naml yang digunakan sebagai dalil adalah ayat 23, yang
artinya:
“kudapati seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dikarunai segala sesuatu, dan dia mempunyai singgasana yang besar”. (QS. An-Naml: 23)
Menurut
Mernissi, mengingat hadis di atas bertentangan dengan surat an-Naml
yang menjelaskan kepemimpinan perempuan (Ratu Saba’), maka hadis
tersebut harus ditolak, karena bertentangan dengan al-Qur’an, sedangkan
al-Qur’an merupakan dasar utama yang tidak mungkin dipertanyakan
validitasnya.[lviii] Dengan demikian, perempuan berhak menjadi pemimpin sebagaimana laki-laki. Terlebih lagi, perawi dari hadis di atas adalah orang yang pernah dicambuk oleh khalifah umar,[lix] dengan demikian maka validitas hadis tersebut perlu dipertanyakan.[lx]
Tuduhan yang disampaikan oleh mernissi berkaitan dengan sahabat,[lxi] adalah sangat tidak tepat. Serangan yang dilakukan Mernissi terhadap Abu Bakrah sebagai perawi hadis tersebut hanyalah
untuk menciptakan keraguan pada sumber otentik Islam, yaitu hadis nabi
saw. Adalah naif, dengan kesimpulan yang tidak didukung perangkat ilmu
yang mencukupi digunakan untuk menilai ketidakabsahan seorang sahabat
nabi sebagai perawi hadis. Hematnya, jika anggapan yang dituduhkan
Mernissi adalah benar, maka gugurlah semua hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Bakrah.[lxii]
Padahal, antara kisah pencambukan dan periwayatan hadis sama sekali
tidak berkaitan. Ini karena antara kesaksian (kisah pencambukan) dan
periwayatan merupakan dua fakta yang berbeda. Dengan demikian, hadis
tentang kepemimpinan di atas tidak dapat ditolak, dari segi sanad maupun
matan, dan tidak ada unsur politis.[lxiii]
Berkaitan
dengan ini, al-Qur’an telah menempatkan laki-laki maupun perempuan pada
posisi yang sama dalam memikul tanggung jawab yang besar dalam
memajukan kehidupan sosial masyarakat yang Islami. Tanggung jawab
tersebut adalah, bersama-sama mengajak kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Hal ini erat kaitannya dengan hubungan sosial antara
keduanya. Dasar hubungan sosial tersebut tergambar dalam al-Qur’an surat
al-Hujuraat ayat 13, yang artinya:
“wahai
sekalian manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
mengenal”. (QS. Al-Hujuraat: 13).[lxiv]
Hubungan antara sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam masyarakat harus didasarkan pada keselarasan potensi-potensi yang dimiliki
dengan standar-standar pengabdian yang ditetapkan Allah swt. Sehingga
kedua mahluk tersebut tidak akan mengartikulasikan potensi akhlaknya
kecuali sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan Allah swt dan
diterangkan oleh rasulnya.[lxv]
b. Kesaksian
Selain masalah kepemimpinan, masalah kesaksian wanita juga banyak menjadi kritikan feminis.[lxvi] Hal ini karena ketetapan syara’ akan kesaksian perempuan yang setengah dari
laki-laki, yang mana dengan alasan yang seperti itu seorang perempuan
adalah inferior dari laki-laki. Berkaitan dengan ini, Asghar Ali
Engineer menilai bahwa tidak ada kesepakatan para ahli hukum mengenai
kesaksian. Menurutnya,
penafsiran yang ada berkaitan dengan kesaksian perempuan adalah alasan
yang dibuat-buat oleh manusia (mufassir), dan oleh karenanya hal
tersebut tidak bisa mengikat seorang muslim untuk dijadikan pijakan. Hal
ini di karenakan ayat al-Qur’an secara spesifik hanya merujuk kepada
masalah keuangan dan penerapannya tidak dapat diperluas pada masalah
non-keuangan.[lxvii]
Asghar juga menambahkan bahwa, tidak sedikit ahli tafsir Qur’an modern
yang tidak menerima ketentuan bahwa kesaksian seorang perempuan tidak
bisa diterima dalam masalah-masalah hukuman hudud, dan apalagi bila di
semua kondisi kesaksian seorang perempuan tidak bisa diterima.[lxviii]
Adapun
ayat al-Qur’an yang menyebutkan masalah kesaksian dua orang perempuan
sama dengan seorang laki-laki adalah surat al-Baqarah ayat 282.[lxix]
Dalam ayat ini, disebutkan bahwa kesaksian seorang laki-laki sama
dengan dua orang perempuan, yang mana hal ini secara umum tidak diterima
oleh kalangan modernis ataupun feminis.[lxx] Seperti yang dijelaskan di awal.
Berkaitan
dengan ini, Ibnu Katsir dalam tafsirnya mangatakan bahwa,
disejajarkannya dua orang perempuan dengan satu orang laki-laki dalam
kesaksian dikarenakan perempuan lebih lemah akalnya dibanding laki-laki.[lxxi] Demikian halnya yang dijelaskan oleh imam asy-Syafi’I dalam al-umm. Beliau mengatakan bahwa, ada dua keadaan yang memungkinkan kesaksian perempuan diterima. Yang pertama, berkaitan
dengan harta (utang –piutang). Tidak diterima kesaksian perempuan
walaupun jumlah mereka banyak, kecuali ada seorang saksi laki-laki di
antara mereka. Dan tidak boleh pula kurang dari dua orang perempuan, hal
ini sesuai dengan ketentuan yang diberikan Allah dalam al-Qur’an dalam
masalah ini. Yang kedua, dimana laki-laki tidak boleh melihat aurat
perempuan (dalam perkara yang tidak diketahui oleh laki-laki, yakni,
berkaitan dengan urusan perempuan). Maka perempuan boleh bersaksi atau
memberikan kesaksian tanpa ada laki-laki, namun tidak kurang dari empat
orang perempuan, sesuai dengan hukum Allah yang menempatkan dua orang
perempuan sama dengan satu orang laki-laki. sehingga kesaksian dua orang
laki-laki sama dengan empat orang perempuan.[lxxii]
Sayyid
Sabiq dalam Fiqh As-Sunnah mengemukakan pendapat fuqaha berkaitan
dengan kesaksian dua orang perempuan dan seorang laki-laki. Menurutnya,
madzhab Hanafi berpendapat bahwa kesaksian perempuan sama dengan
laki-laki dalam harta (utang-piutang), nikah, rujuk dan thalaq, namun
tidak dalam qishash dan hudud. Dan hal ini dikuatkan oleh ibnu
al-Qayyim. Berbeda dengan pendapat imam Malik dan imam Syafi’i serta
jumhur ulama fiqih, yang memiliki pandangan bahwa, kesaksian laki-laki
dan perempuan sama dalam hal harta (utang-piutang) dan yang sejenis,
namun tidak dalam hal qishash, hudud, nikah, thalaq dan ruju’.[lxxiii]
Namun, dalam perkara yang telah ditetapkan oleh syari’at, kesaksian perempuan
sebanding dengan kesaksian laki-laki. Bahkan kesaksian perempuan dapat
membatalkan kesaksian laki-laki, yakni jika seorang suami menuduh
istrinya berkhianat, maka al-Qur’an menyuruh suami bersumpah lima kali
untuk memperkuat kebenaran apa yang dikatakan. Akan tetapi jika istri
membantah dan bersumpah lima kali, maka dia tidak dikategorikan sebagai
istri yang berdosa (berkhianat), dan jika hal ini terjadi maka bubarlah
pernikahan tersebut.[lxxiv]
Dengan
demikian, kesaksian dua orang perempuan yang sebanding dengan kesaksian
satu orang laki-laki adalah merupakan ketentuan syara’, yang tentunya
berdasarkan nash shahih dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
3. Argumentasi Fungsional-Struktural
Dalam masyarakat, keluarga merupakan suatu kelompok kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan beberapa orang anak. Individu-individu tersebut memiliki hak masing-masing dalam keluarga. Baik ayah, ibu maupun anak. Dan tentunya, antara individu yang satu dengan yang lain pastilah terdapat perbedaan. Khusunya mengenai hak-hak yang sifatnya sangat alami dan wajar, kecuali jika perbedaan tersebut memasuki hal yang prinsipil. Tentu tidak bisa ditolerir, namun dicari jalan keluarnya.[lxxv]
Perbedaan
dalam keluarga yang kemudian mempengaruhi interaksi sosial antar
seluruh individu yang ada dalam keluarga, terkadang disebabkan oleh
masalah kedudukan laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Yang mana hal
tersebut dipengaruhi oleh keunggulan ataupun keistimewaan, khususnya
antara suami dan istri. Apakah suami lebih berperan penting dalam
membangun keluarga, ataukah istri yang justru menjadi tulang punggung
keluarga. Selain itu, munculnya teori keidentikan hak laki-laki dan
perempuan yang didasarkan pada asumsi, ide, keyakinan atau hipotesis
bahwa kehidupan sosial di dalam keluarga sama halnya dengan kehidupan
sosial di luar keluarga.[lxxvi]
Munculnya
doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan karena adanya
anggapan bahwa, perempuan tidak cocok memegang kekuasaan ataupun
memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki. Sehingga, laki-laki harus
memiliki dan mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan
masa depannya, dengan bertindak sebagai ayah, saudara laki-laki ataupun
sebagai suami.[lxxvii] Dengan alasan, hal yang demikian ini adalah untuk kepentingan perempuan itu sendiri.[lxxviii]
Membaca
fenomena seperti yang tergambar di atas, sepintas akan sangat
merendahkan wanita, dan tentunya sangat menyakitkan bagi kaum wanita.
Padahal, yang sebenarnya merupakan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan adalah ketertarikan antara yang satu dengan yang lain. Dengan
kata lain, laki-laki sangat membutuhkan sosok perempuan, demikian juga
sosok perempuan sangat membutuhkan laki-laki. Hal ini telah berlaku 14
abad lalu hingga sekarang. Sesuai dengan firman Allah dalam surat
al-Nisaa’ ayat 34
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى
بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ(النساء:34)
“kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita). Dan karena mereka (laki-laki) telah menginfakkan sebagian dari
harta mereka…”(al-Nisaa’: 34)
Berkaitan dengan ayat ini, Abu Ja’far ath-Thabary dalam tafsirnya mengatakan:
"الرجال
قوّامون على النساء"، الرجال أهل قيام على نسائهم، في تأديبهن والأخذ على
أيديهن فيما يجب عليهن لله ولأنفسهم ="بما فضّل الله بعضهم على بعض"، يعني:
بما فضّل الله به الرجال على أزواجهم: من سَوْقهم إليهنّ مهورهن، وإنفاقهم
عليهنّ أموالهم، وكفايتهم إياهن مُؤَنهنّ. وذلك تفضيل الله تبارك وتعالى
إياهم عليهنّ، ولذلك صارُوا قوّامًا عليهن، نافذي الأمر عليهن فيما جعل
الله إليهم من أمورهن.[lxxix]
Senada dengan yang disampaikan oleh ath-Thabary, Ibnu Katsir juga mengatakan:
{
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ } أي: الرجل قَيّم على المرأة،
أي هو رئيسها وكبيرها والحاكم عليها ومؤدبها إذا اعوجَّت { بِمَا فَضَّلَ
اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ } أي: لأن الرجال أفضل من النساء، والرجل
خير من المرأة؛ ولهذَا كانت النبوة مختصة بالرجال وكذلك المُلْك الأعظم؛
لقوله صلى الله عليه وسلم: "لن يُفلِح قومٌ وَلَّوا أمْرَهُم امرأة" رواه
البخاري من حديث عبد الرحمن بن أبي بكرة، عن أبيه (1) وكذا منصب القضاء
وغير ذلك. [lxxx]
Dari
kedua pendapat ulama tafsir di atas, tidak didapatkan adanya indikasi
superioritas laki-laki atas perempuan. Walaupun kedua penafsiran
tersebut berbeda dalam penyampaiannya, namun makna dan maksud dari kedua
tafsir tersebut tidak berbeda. Kedua mufassir tersebut sama sekali
tidak menyebut adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan, khususnya bagi seorang istri dalam keluarga. Memang, secara bahasa, kata "الرجال قوّامون على النساء"
, seakan-akan bermakna laki-laki di atas wanita, atau wanita dibawah
kekuasaan laki-laki, pemaknaan yang demikian bisa muncul dan diartikan
sebagai penindasan terhadap perempuan.
Namun,
dengan melihat tafsir dan pemahaman para ulama, akan didapatkan bahwa
maksud dari ayat tersebut adalah, laki-laki sebagai pelindung kaum
perempuan, suami pelindung bagi istri dan anak-anak, laki-laki sebagai
orang yang memutuskan perkara, sebagai pemimpin bagi wanita, sebagai
yang memenuhi nafkah, sebagai orang yang memperingati ketika wanita
melakukan sebuah kesalahan. Dengan demikian, tampak sangat jelas akan
keserasian antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Sehingga,
makna dari قوّامون adalah قوامة sebagai perlindungan.[lxxxi]
Laki-laki melindungi, mengayomi dan menjaga perempuan. Berkenaaan
dengan keutamaan laki-laki atas perempuan seperti dijelaskan di atas,
itu juga tidak bisa dimaknai sebagai keutamaan yang mutlak.[lxxxii] Karena sangat banyak hadis yang menjelaskan kemuliaan wanita atas laki-laki.[lxxxiii]
Oleh
karena itu, ketika Islam membedakan antara laki-laki dan perempuan
dalam masalah ibadah, seperti jihad dan yang lainnya tidak berarti
laki-laki lebih tinggi dan perempuan dibawahnya, tetapi perbedaan
tersebut adalah merupakan rahmat bagi keduanya.[lxxxiv] Karena dengan perbedaan tersebut keduanya saling melengkapi.[lxxxv] Perbedaan
yang saling melengkapi antara kedua mahluk tersebut, memberikan peran
serta fungsi masing-masing yang tidak dapat ditolak oleh keduanya.
Fungsi sebagai ibu, pengatur rumah tangga dan pengasuh anak, ataupun
fungsi ayah, pelindung, pencari nafkah dan yang memikul seluruh tanggung
jawab dalam keluarga. Semua fungsi tersebut menuntut syarat-syarat
fisik, psikis dan emosional yang berlainan antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan yang demikian bukanlah diskriminasi ataupun
segregasi.[lxxxvi]
Dengan
demikian, normativitas kepemimpinan laki-laki dalam keluarga merupakan
prinsip keserasian gender, karena pada hakekatnya kesetaraan tidaklah
selalu sama dengan kesamaan. Jika laki-laki dan perempuan sama-sama
tersita dalam aktivitas publik,
maka mereka akan menyelesaikannya dengan dengan mencari pembantu. Hal
ini akan membuka pintu kehancuran institusi keluarga, khususnya keluarga
muslim. Peran kepemimpinan yang dibebankan pada kaum laki-laki akan
melemah, karena perempuan akan menuntut hak yang sama dalam memimpin.[lxxxvii] Hematnya, logika al-Qur’an tidak pernah melihat kesetaraan dan juga keadilan dari sisi segala sesuatu harus sama. Kesetaraan (keserasian) dan keadilan gender dipahami dan dilaksanakan secara proporsional dengan mempertimbangkan faktor-faktor biologis, fisiologis, psikologis dari kedua belah pihak.[lxxxviii]
4. Argumentasi Kewarisan Dalam Keluarga
Perkembangan
wacana kesetaraan gender yang disuarakan oleh kaum feminis muslim, mau
tidak mau harus memaksa masuk ke dalam wilayah yang bersifat prinsipil
dalam Islam. Demi sebuah makna kesetaraan dan kesejajaran antara
laki-laki dan perempuan, serta menghapus superioritas kaum Adam atas
perempuan. Apapun
yang dianggap menghalangi upaya dalam pencapaian kesetaraan akan
dilewati, meskipun terbentur dengan hukum-hukum yang sudah qath’i.
Diantara hukum qath’i yang siap dirubah adalah masalah hak warisan,[lxxxix] yang oleh feminis muslim dianggap tidak adil dan menindas kaum perempuan.[xc]
Berkaitan dengan masalah ini, Amina Wadud Muhsin,[xci] mempermasalahkan ketentuan li adz-dzakari mitslu hadzdzi al-untsayaini [xcii](anak
laki-laki mendapatkan bagian dua bagian anak perempuan) yang terdapat
dalam ayat waris. Secara implisit, Amina Wadud tidak setuju dengan
formula pembagian waris seperti yang disebutkan dalam ayat waris
tersebut. Menurutnya, pembagian waris harus dilihat dari berbagai faktor
yang lain, seperti orang yang meninggal dan yang ditinggal. Sebelum
warisan dibagi, banyak hal yang menurut Amina Wadud perlu diperhatikan,
seperti anggota keluarga yang berhak, kombinasi dan kemanfaatannya.[xciii] Jadi,
menurut Amina Wadud, dalam pembagian warisan, banyak hal yang harus
dipertimbangkan, di antaranya: pembagian untuk keluarga dan kerabat
laki-laki dan perempuan yang masih hidup, orang-orang yang ditinggalkan,
manfaat bagi yang ditinggalkan dan manfaat harta warisan itu sendiri.[xciv]
Berbeda dengan Amina Wadud, Asghar Ali Engineer,[xcv]
menganggap bahwa ketentuan pembagian warisan didalam Al-qur'an termasuk
pembagian formula 2:1 bagi anak laki-laki dan anak perempuan sama
sekali tidak bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Ia menilai
bahwa ketentuan anak laki-laki diberi warisan dua kali bagian anak
perempuan tidaklah bersifat diskriminatif karena melihat konteks
sosiologis dan ekonomis. Akan tetapi Asghar menilai, bahwa terdapat
kesalahan pemahaman mengenai hukum kewarisan yang disyari'atkan oleh
Al-Qur'an. Menurut Asghar, ketetapan hukum-hukum mawarits di dalam
Al-Qur'an surat ke : 4 ayat : 11, sebagaimana yang dirumuskan oleh para
fuqoha’ pada masa awal, jangan diperlakukan sebagai suatu yang final.
Kalau perlu, harus di reinterpretasikan atau dirumuskan kembali dengan
mempertimbangkan kondisi-kondisi yang tetap berubah dan kesadaran baru
dikalangan para perempuan.[xcvi]
Menanggapi
pendapat yang disuarakan oleh kaum feminis, perlu kiranya membaca
kembali ayat-ayat yang bersangkutan. Allah berfirman:
Ayat 11 yang artinya:
"Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk
itu dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian
tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
maha mengetetahui lagi maha bijaksana".[xcvii]
Ayat 12 yang artinya:
"Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar hutannya. Para istri-istrimu memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
"mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja), atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara- saudara
seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha penyantun".[xcviii]
Ayat 176 yang artinya:
"Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakana: "Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia,
dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan. Maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu
terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hokum ini) kepadamu, suppaa kamu tidak
sesat. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu".[xcix]
Ayat-ayat
diatas menerangkan tentang kewarisan dengan jelas dan terperinci.
Didalamnya telah diuraikan bagian tiap ahli waris, ukuran yang diterima
dan syarat-syaratnya. Siapa saja yang berhak mendapat warisan yang tetap (bi al-fardh), berdasarkan kelebihan harta ('ashabah), atau berdasarkan dua sistem tersebut (bil al-fardh dan 'ashabah), siapa saja
ahli waris yang terhalang haknya oleh ahli waris yang lain karena
kedekatan hubungan darah atau kerabat, baik secara keseluruhan atau
sebagian. Tiga ayat diatas adalah asas ilmu waris Islam (ilmu faraidh).
Tidak ada satupun dari ayat-ayat tersebut menyisakan keraguan bagi tiap
individu yang berhak, karena tidak ada unsur kedzaliman. Bahkan Para
ulama, baik salaf maupun kontemporer yang menulis tentang ilmu waris,
pada dasarnya hanya menerangkan ayat-ayat waris diatas.[c]
Ini menunjukkan bahwa pembagian warisan didalam Al-Qur'an telah jelas
dan tidak memerlukan penafsiran ulang sebagiamana penafsiran kaum
feminis muslim yang tujuannya adalah untuk mendekonstruksi
syari'ah Islam. Penafsiran ulama-ulama salaf tentang ayat ini, tidak
satupun yang keluar dari koridor pemahaman kaum muslimin dari zaman nabi
Muhammad SAW sampai saat ini.
Menurut Abu Ja’far ath-Thabary, لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
, bukan menunjukkan kekurangan perempuan, justru ayat tersebut
menjelaskan keadilan yang didapat oleh keduanya dalam hal warisan.
Mengingat pada masa sebelum Islam, perempuan dan anak-anak tidak
memperoleh warisan, dengan alasan bahwa mereka tidak menunggang kuda,
tidak berperang dan membawa senjata. Jadi, dengan pembagian seperti yang
tergambar dalam ayat tersebut, antara laki-laki dan perempuan --setelah
datangnya Islam—mendapat perlakuan yang sangat adil. Yaitu memperoleh
warisan. Jadi, perbedaan pembagian tersebut bukan berarti wanita
direndahkan.[ci]
Demikian juga yang disampaikan oleh Ibnu Katsir, Ibnu
Katsir menegaskan, bagian anak laki-laki lebih besar dua kali lipat
bagian anak perempuan, karena anak laki-laki mempunyai tanggung jawab
atas nafkah keluarga, dan beban kehidupan yang lebih berat seperti
perniagaan, mencari rezki dan sebagainya.[cii]
Berbeda
dengan ath-Thabary dan Ibnu Katsir, Fakhruddin al-Razi disamping
menjelaskan kebiasaan orang arab sebelum Islam, yang tidak memberikan
warisan kepada anak-anak dan perempuan, al-Razi juga menjelaskan
beberapa hikmah kenapa laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari yang
didapatkan perempuan. Menurut al-Razi, diantara hikmah pembagian
tersebut adalah, karena perempuan lebih lemah dibanding laki-laki,
secara fisik, sehingga perempuan tidak keluar untuk berperang dan
berjuang, dan nafkah perempuan tentunya dari suaminya. Sedangkan
laki-laki harus menafkahi, bukan dinafkahi seperti perempuan. Yang
kedua, menurut al-Razi, laki-laki lebih sempurna keadaannya daripada
perempuan, dari segi moral, intelektual maupun agama. Selanjutnya,
perempuan sedikit akal namun memiliki banyak keinginan. Berbeda dengan
laki-laki, karena memiliki kesempurnaan intelektual, ia mampu
mempergunakan harta warisan tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat.[ciii]
Adapun Anak laki-laki menerima bagian lebih besar dua kali lipat dari pada anak perempuan adalah karena beberapa hal :
1. Perempuan
selalu terpenuhi segala kebutuhannya, karena nafkahnya menjadi tanggung
jawab anak laki-lakinya, ayahnya, saudara laki-lakinya, dan setelah
menikah, tanggung jawab suaminya.
2. Perempuan
tidak punya kewajiban berinfaq untuk orang lain, sedangkan laki-laki
mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabatnya.
3. Belanja laki-laki dan pengeluaran keungannya lebih besar dari pada perempuan, maka harta yang dibutuhkan jauh lebih banyak.
4. laki-laki
ketika menikah, mempunyai kewajiban membayar mahar, disamping
menyediakan tempat tinggal dan memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya
setelah berumah tangga.
5. Biaya pendidikan dan pengobatan anak-anak dan istri adalah tanggung-jawab suami (laki-laki).[civ]
Dari penjelasan para mufassir diatas tentang ayat-ayat mawarits, nampak jelas tidak ada penafsiran yang kontradiktif antara satu dengan yang lain. Penafsiran para ulama tafsir (mufassir) tidak berbeda
dengan pemahaman para fuqoha yang menulis kitab-kitab mawarits atau
ilmu faraidh yang menjadi acuan pembagian warisan kaum muslimin di
negeri-negeri muslim. Ini menunjukkan penafsiran ayat-ayat mawarits
bersifat qoth'i (pasti) dari Allah dan tidak boleh dirubah. Dengan
demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hak waris antara
laki-laki dan perempuan tidak terdapat penindasan, diskriminasi,
ketidakadilan ataupun “bias gender”, seperti yang dituduhkan para
feminis terhadap syari’at Islam.
Mengomentari banyaknya syubhat tentang ketidakadilan dalam warisan, DR. Muhammad Imarah mengatakan, bahwa pembagian warisan dalam Islam merupakan hikmah ilahiyah dan
syariat yang sempurna, yang tidak diketahui oleh banyak orang. Dan
pembagian tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah
kelamin, laki-laki maupun perempuan secara mutlak.[cv]
Penjelasan yang disampaikan oleh para ulama
berkaitan dengan masalah warisan, selain sebagai jawaban atas kaum
feminis, sekaligus sebagai bukti akan keserasian antara laki-laki dan
perempuan dalam segala aspek kehidupan. Yang mana keserasian tersebut
bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, sehingga anggapan akan adanya
dominasi laki-laki yang disertai dengan perlakuan diskriminatif terhadap
perempuan terjawab dengan sendirinya. Hematnya, dengan mengatakan bahwa ada ketidakadilan dalam pembagian warisan sama halnya menafikan sifat Allah yang maha adil.[cvi]
Disamping
alasan diatas, pertimbangan lain seperti pengendalian emosi antara
laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Secara umum, laki-laki lebih
mampu mengendalikan emosinya dibandingkan perempuan. Ini menunjukkan
pengendalian harta atas dasar pertimbangan akal harus didahulukan
daripada pengendaliannya atas dasar emosi. Bahkan, kalau ditinjau dari
kepemihakan, sejatinya Al-Qur'an lebih berpihak kepada perempuan
daripada laki-laki. Laki-laki membutuhkan Istri sebagaimana perempuan
juga membutuhkan suami. Namun laki-laki berkewajiban membelanjai
istrinya, sedangkan perempuan justru dicukupi segala kebutuhannya oleh
sang suami.[cvii]
D. ANTARA KESETARAAN DAN KESERASIAN GENDER
1. Kesetaraan Gender
Harus
diakui, bahwa isu kesetaraan gender berasal dari Barat, yang bermula
pada pandangan negatif masyarakat Barat terhadap wanita. Cara pandang ‘gender equality’ di Barat tidak terlepas dari latar belakang sejarah Barat yang di masa lalu berlaku sangat kejam terhadap wanita.[cviii] Selain itu, pandangan ‘sebelah mata’ terhadap kaum perempuan (misogyny) dan berbagai anggapan buruk (stereotype) serta citra negatif yang dilekatkan pada wanita.[cix]
Hal ini menyebabkan para penggerak kesetaraan gender untuk memusatkan
segala perhatian untuk melukiskan dan mengutuk ketidakadilan yang
diderita kaum wanita sebagai akibat dari hukum yang dibuat oleh
laki-laki.[cx]
Perbedaan
gender telah melahirkan berbagai perlakuan tidak adil dan diskriminatif
terhadap kaum perempuan. Gender yang awalnya merupakan interaksi sosial
yang setara antara laki-laki dan perempuan mengalami pergeseran
sehingga melahirkan hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Dalam proses
historis yang panjang, hegemoni laki-laki atas perempuan telah
memperoleh legitimasi dari nilai-nilai sosial , agama, hukum dan
sebagainya. Hegemoni tersebut terisolasi secara turun temurun , dari
generasi ke generasi. Pergeseran relasi gender inilah yang membentuk
lahirnya masyarakat patriarkal. Dimana laki-laki menguasai dan menjadi
superior di berbagai sektor kehidupan.
Melihat kondisi yang demikian, kaum perempuan merasa terbangun dari
tidur panjangnya, dan mulai sadar untuk mengambil hak-haknya yang selama
ini didominasi kaum laki-laki. Perjuangan kaum perempuan untuk
memperoleh kembali kemerdekaannya inilah yang melahirkan gerakan
Feminisme.[cxi]
Gerakan feminisme yang
mengusung pembebasan perempuan dari ketertindasan dan mengeluarkan
perempuan dari hegemoni budaya patriarkal, mau tidak mau memasuki ranah
kritik teologis. Dan dengan cepat menyebar ke berbagai agama di dunia.[cxii]
Upaya gender memasuki wilayah agama membuat persoalan menjadi tambah
kompleks. Karena pada umumnya, ketidakadilan gender merupakan masalah
agama. Sehingga tradisi dan khazanah keagamaan dipertanyakan ulang. Isu ketidakadilan gender yang tadinya hanya dilakukan oleh kaum liberlisme kristen, namun secara perlahan tapi pasti ikut mempengaruhi Islam.[cxiii] Hal ini menyebabkan para muslimah (feminis muslim) yang terlibat dalam wacana kesetaraan gender berlomba-lomba melakukan perombakan
terhadap konsep-konsep Islam tentang wanita, dan kemudian disesuaikan
dengan nilai-nilai modern yang berlaku sekarang. Dalam perspektif
feminis muslim, sangat banyak hukum yang sekarang berlaku dalam masyarakat
muslim adalah merupakan hasil konstruksi kaum laki-laki. Sehingga perlu
membuat hukum tandingan, yang sesuai dengan perspektif dan kepentingan
perempuan.[cxiv]
Di
bawah bendera feminisme, kaum perempuan mulai mendekati dan berusaha
sedekat mungkin hingga sejajar dengan laki-laki. Hal inilah yang juga
dilakukan oleh sebagian muslimah yang sudah terbius virus feminisme.
Tidak sedikit dari feminis muslim yang berusaha menjadikan emansipasi
sebagai gerbang menuju kesejajaran dengan laki-laki, baik domestik
maupun publik.[cxv]
Dalam kacamata feminis (muslim dan non muslim), laki-laki merupakan
entitas yang suka menerabas tanpa pamit ruang publik dan sekaligus
sebagai kekuatan tersendiri dalam menempatkan diri sebagai kekuatan
sosial yang berdiri di atas perempuan secara sosial. Hal ini menjadikan
perempuan dalam kelas inferior di hadapan laki-laki, dan sebaliknya
laki-laki berada dalam kelas superior.[cxvi]
Menurut Ratna Megawangi, teologi pembebasan yang diterapkan perempuan yang dianggap kelas tertindas disebut teologi feminis (feminist theology). Pendekatan yang dilakukan oleh teologi feminis lebih menonjol kepada perubahan pemahaman keagamaan.[cxvii]
Menurut mereka, maraknya hukum yang menindas kaum wanita tidak lain
karena adanya bias dalam penafsiran teks-teks keagamaan. Terlebih lagi,
agama-agama sering ditafsirkan dengan menggunakan ideologi patriarkat
yang menyudutkan wanita. Demikian halnya yang terjadi pada wanita
muslim. Sehingga para feminis muslim berkesimpulan bahwa perempuan lebih
rendah dari pada laki-laki karena semua penafsir agama dan penulis fiqh tentang perempuan adalah laki-laki.[cxviii]
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa dalam melihat makna kesetaraan, haruslah
dilihat terlebih dahulu cara pandang dalam menilai kesetaraan tersebut.
Kalau yang digunakan adalah cara pandang yang berkiblat kepada Barat,
maka akan didapatkan kekacauan dalam makna kesetaraan tersebut. Hal ini
karena gerakan feminisme dan gender berasal dari pandangan hidup Barat,
yang muncul akibat dari kondisi sosial budaya masyarakat Barat. Yang
mana inti dari gerakan tersebut adalah untuk merubah pandangan dan
keyakinan masyarakat Timur maupun Barat, bahwa perbedaan perilaku
laki-laki dan perempuan ditentukan oleh kondisi sosial dan budaya.[cxix] Maka,
kesetaraan yang demikian bukanlah cita-cita Islam, yang membebaskan
umat manusia dari segala bentuk penindasan yang merupakan warisan
jahiliyah.
2. Keserasian Gender
Seperti
yang dijelaskan sebelumnya, kesetaraan dalam Islam itu sendiri memang
ada, dan tidak bisa dihindari. Karena dalam al-Qur’an sendiri konsep itu
ada dan disepakati oleh para ulama, tentunya dengan mengacu pada makna
kesetaraan menurut Islam.[cxx]
Kesetaraan yang berarti keserasian, yang membentuk kemitraan antara
laki-laki dan perempuan, bukan kesetaraan yang malah merugikan salah
satunya. Konsep kesetaraan yang merupakan cita-cita al-Qur’an dan
bermakna keserasian harus dilihat melalui cara pandang yang Islami,
dengan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, apabila
kesetaraan diartikan bahwa segala sesuatu harus sama (50/50), maka akan
didapati ayat-ayat al-Qur’an yang nantinya dimaknai diskriminatif
terhadap kaum perempuan. Namun, jika kesetaraan tersebut dimaknai secara
proporsional, maka perbedaan status, hukum, hak dan kewajiban antara
laki-laki dan perempuan, tidak akan didapatkan makna diskriminatif
terhadap keduanya, khususnya perempuan.[cxxi]
Mengutip pendapat Vandara Shiva, Ratna Megawangi
dalam bukunya mengatakan, “diferensiasi peran tradisional antara peran
pria dan wanita harus dilihat sebagai dua peran yang berbeda.
Kedua-duanya berperan sama pentingnya, walaupun dalam bentuk dan
aktivitas yang berbeda”.[cxxii] Dalam buku yang sama, Ratna kembali mempertegas maksud dari diferensiasi tersebut. Dia mengatakan:
“ketimpangan (ketidaksetaraan) harus dibedakan dengan diferensiasi. Diferensiasi
dalam peran, status dan bakat perlu dilihat sebagai jenis-jenis berbeda
yang tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif. Maka, diferensiasi
peran pria dan wanita yang bersumber dari keragaman alami, harus dilihat
sebagai “simply another mode of being”. Oleh karena itu,
perbandingan kuantitatif antara pria dan wanita , atau ukuran kesetaraan
gender yang 50/50, perlu dihilangkan sebisa mungkin.[cxxiii]
Wacana
kesetaraan gender (50/50) –perspektif Barat-- jelas tidak sesuai dengan
al-Qur’an, walaupun dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat
tentang kesetaraan keduanya. Namun itu bukanlah seperti yang disuarakan
pembela serta pengikut feminisme.
Terlebih lagi kesetaraan gender yang sekarang disuarakan oleh kaum
feminis adalah merupakan ideologi marxis, yang menempatkan perempuan
sebagai tertindas dan laki-laki sebagai penindas. Dengan ideologi yang
demikian, kaum feminis muslim akan terus-menerus mencoba menggali
dasar-dasar Islam tidak dengan cita-cita Islam, melainkan cita-cita yang
dibangun atas kepentingan kaum feminis sendiri.
Dan agenda kaum feminis dari awal abad hingga saat ini adalah, bagaiman
mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita
harus sama-sama (fifty-fifty), baik domestik maupun publik.[cxxiv]
Melihat fenomena wacana kesetaraan gender yang banyak disuarakan feminis, dapat diketahui bahwa kaum feminis muslim terjebak dalam pemahaman konsep “gender equality” yang jelas tidak berasal dari Islam. Hal ini karena kerangka berfikir kaum feminis sudah terpengaruh oleh worldview[cxxv]
yang bukan Islam. Jika kerangka berfikir kaum feminis dibangun atas
‘worldview Islam’, yang tersusun atas konsep-konsep dasar tentang tuhan,
manusia, kebenaran, ilmu, kenabian, wahyu dan sebagainya,[cxxvi]
maka segala penafsiran yang dianggap sebagai bias akan dimaknai sebagai
sebuah keserasian, sebagaimana para ulama Islam sebelumnya.
Keserasian
dalam Islam seumur Islam itu sendiri, karena Islam yang membebaskan
manusia dari ketidakadilan yang merupakan warisan zaman jahiliyah. Islam
datang memberikan kesamaan dan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan tanpa ada perbedaan antara keduanya.
Segala hukum yang dibebankan kepada laki-laki, juga dibebankan kepada
perempuan, tanpa perbedaan, kecuali ada dalil syar’i yang mengkhususkan
salah satunya, dan itulah yang mengecualikan dari kaidah yang
menyertainya.[cxxvii] Karena
asal dari Islam itu sendiri adalah asas persamaan, baik hak maupun
kewajiban. Dan adapun yang menjadi pembeda antara keduanya adalah
tabi’at penciptaannya, yang melahirkan perbedaan biologis. Perempuan sesuai dengan tabi’atnya, demikian halnya laki-laki, sesuai dengan tabi’at penciptaannya.[cxxviii]
Memang,
dengan perubahan zaman dan struktur sosial dalam masyarakat, mau tidak
mau ikut merubah cara berpikir masyarakat. Tuntutan masyarakat modern
tentu sangat berbeda dengan masyarakat tradisional. Perubahan sosial
yang terjadi dalam masyarakat akan mempengaruhi corak berpikir masyarakat.
Hal ini juga yang ikut merubah makna kesetaraan yang dimaksudkan Islam
menjadi kesetaraan mutlak menurut pandangan Barat. Padahal, laki-laki
dan perempuan muslim sudah memang terbebas dari segala hal yang
mengekang, menjadikan mereka taqlid buta (ke Timur ataupun ke Barat),
dari jeratan kemiskinan, kebodohan dan kedzoliman. Yang mereka butuhkan
hanyalah kembali kepada hukum (syari’at) yang telah diturunkan Allah
swt, tanpa merubah apalagi menolaknya.[cxxix]
Syari’at
Islam bertujuan memberikan manusia kemaslahatan dan keadilan. Untuk
itu, Islam memberikan hak dan kewajiban yang sama terhadap laki-laki dan
perempuan, kecuali dalam beberapa hal yang menurut syara’ membedakan
keduanya. Syari’at inilah yang membangun integritas antara keduanya.
Sehingga antara
yang satu dan yang lain tidak saling bertentangan, namun saling
melengkapi sesuai dengan tujuan penciptaannya. Dengan kata lain, esensi
tujuan hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah menjadi
insan kamil.[cxxx] Dengan demikian, hakikat kesetaraan yang bermakna keserasian yang sesuai dengan tujuan syari’at akan tercapai.
E. KESIMPULAN
Dari
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak
kesalahpahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalam hal ini, ayat-ayat
yang berkaitan dengan peran dan eksistensi perempuan menurut pandangan
Islam. Yang
dimulai dengan pertanyaan mendasar mengenai asal-usul penciptaan
perempuan dan laki-laki, yang kemudian menimbulkan polemik seputar
eksistensi serta peran keduanya. Selain
masalah asal-usul penciptaan keduanya, timbul juga wacana yang
mempertanyakan peran keduanya dalam masyarakat, keluarga dan hak-hak
keduanya dalam segala aspek kehidupan.
Dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan tema kesetaraan
gender, kaum feminis dan mereka yang mendukung feminisme dipengaruhi
oleh banyak hal. Mulai dari perbedaan penafsiran di kalangan ulama,
latar belakang mereka sendiri, baik pendidikan, sosial budaya dan latar
belakang organisasi masing-masing dari mereka. Namun, hal terpenting
dari sekian faktor tersebut adalah, adanya pengaruh dari pemikiran
feminis Barat tentang kedudukan perempuan di mata mereka. Hal inilah
yang menjadi ‘ruh’ wacana kesetaraan gender, khususnya dalam Islam. Sehingga para feminis berani mempertanyakan keotentikan hadis-hadis nabi Muhammad saw.
Demikian
halnya dengan tuduhan yang dilancarkan kaum feminis tentang adanya
kepentingan dibalik penafsiran teks-teks agama, terutama fiqh. Segala
bentuk tafsiran keagamaan adalah salah satu bentuk penindasan terhadap
kaum perempuan, karena dalam setiap penafsiran, perempuan selalu berada
di bawah laki-laki. Dan banyak lagi tuduhan dan serangan yang sejenis,
yang ditujukan kepada ulama Islam dengan berdiri di bawah naungan
feminisme, yang juga berusaha melakukan pendekatan dekonstruktif dalam
menafsirkan syari’at Islam seputar gender.
Apa
yang dilakukan oleh feminis muslim maupun yang mendukung adalah salah
satu bentuk ketidakpahaman mereka terhadap Islam, yang disebabkan oleh
banyaknya pemikiran Barat yang mereka adopsi tanpa melalui seleksi.
Seperti yang dilakukan Fatimah Mernissi ketika mempermasalahkan
validitas hadis, yang akhirnya menyeret dia sendiri untuk menolak hadis
sahih. Demikian pula Riffat Hasan, yang menolak keabsahan hadis hanya
karena diriwayatkan oleh seorang sahabat, yang menurutnnya “anti
perempuan” , dan ternyata tidak terbukti. Atau yang dilakukan oleh tokoh
feminis lainnya, yang mempermasalahkan keadilan dalam warisan dan
sebagainya. Hanya karena dali-dalil tersebut dianggap tidak sesuai
dengan perkembangan zaman, kepentingan perempuan dan lainnya.
Harusnya,
para feminis membangun kerangka berpikir dari ‘worldview Islam’, bukan
worldview Barat seperti yang umumnya dijadikan pijakan oleh banyak
feminis muslim. Karena bagaimanapun, akan terdapat perbedaan dalam
memahami makna kesetaraan itu sendiri. Apabila kesetaraan dilihat dengan
kacamata Barat yang berarti segala sesuatu harus sama, maka akan
didapatkan ayat ataupun hadis yang seakan-akan bermakna diskriminatif
terhadap kaum perempuan. Karena memang sejarah perempuan dalam Barat
berbeda dengan Islam, sehingga tidak tepat digunakan dalam menilai suatu
syari’at suci. Namun, jika kesetaraan dipahami secara proporsional
dengan berdasar pada sumber Islam, maka tidak akan didapatkan makna
ataupun tujuan yang diskriminatif terhadap perempuan. Meskipun akan ada
perbedaan, maka perbedaan tersebut adalah fitrah masing-masing, yang
menegaskan bahwa antara yang satu dan yang lainnya ada saling
keterkaitan dan saling melengkapi.
Dengan
kata lain, kesetaraan yang ada dalam Islam adalah kesetaraan yang
menunjukkan keserasian antara laki-laki dan perempuan. Keserasian yang
dibangun di atas syari’at, bersandar pada asas kemitraan, bukan
perlawanan, serta kerjasama yang tidak mengandung persaingan.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan terjemahannya.
al-‘Adzm, Abidah al-Mu’ayyad, Sunnah
at-Tafadhul wa ma Fadhdhalallahu Bihi an-Nisa’ ‘ala al-Rijal (Kemilau
Cahaya Muslimah, Potret Wanita Dalam al-Qur’an dan as-Sunnah), terj Hayik El Bahja, (Jakarta: Rabitha Press, 2008) cet. 1
Al-‘Alaa, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfury, Tuhfatu al-Ahwadzi bi Syarh at-Tirmidzi, (Beirut, Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)
al-Asqalaniy, Ibnu Hajar, Fathul Baariy, Syarh Sahih Bukhari, (Daar al-Ma’rifah)
al-Faruqi, Isma’il Raji, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988)
Al-Razi, Fakhruddin, Tafsiir al-Kabiir aw Mafaaatih al-Ghaib, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000) cet 1
alu Nawaab, ‘Abdu al-Rabb Nawaab al-Din, ‘Amalu al-Mar ati wa mauqifu al-Islam Minhu, (Riyadh: Daar al-Ma’rifah, 1989) cet. 2
Al-Wa’ie, Media Politik dan Dakwah, No. 75 Tahun VII, 1-30 November 2006
Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008) cet. 1
as-Shaubuny, Muhammad Ali, Al-Mawarits fi Asyari'ah al-Islamiyah fi dhaui al-Kitab wa al- Sunnah, (Damaskus: Daar al-Qolam, 1993)
Ath-Thabary, Abu Ja’far, Jaami’ Al-Bayan fi Ta’wili Al-Qur’an, (Muassasah ar-Risaalah)
Aziz, Asmaeny, Feminisme Profetik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007) cet. 1
Baidan, Nasiruddin, Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya Pengendalian Konsep Wanita Dalam al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) cet. 1
Baltaji, Muhammad, Makaanatu al-Mar ati fi al-Qur’an wa as-Sunnah ash-Shohihah, (Kairo: Daar al-Salaam, 2000). Cet 1
Burhanuddin, Jajat dan Fathurrahman, Oman, Tentang Perempuan Islam, Wacana dan Gerakan, (Jakarta: Gramedia, 2004)
Engineer, Asghar Ali, Hak-hak perempuan Dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 1994) cet. 1
Fakih, Mansur dkk, Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000) cet 2
Fanani, Muhyar dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003) cet. 1
Hawwa, Said, al-Islam, terj Abdul Hayyi al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004) cet. 1
Husaini, Adian, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006) cet. 1
Ilyas, Yunahar, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Mufassir, (Yogyakarta: Labda Press, 2006) cet. 1
ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam. Vol V No. 1, 2009.
ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam THN II NO. 5/APRIL-JUNI 2005
Isma’il, Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan, Bias Laki-Laki Dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LkiS, 2003) cet. 1
Kadarusman, Agama, Relasi Gender dan Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005) cet. 1
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur'an al-Adzim, , (Beirut: Daar al-Fikr, 2005)
M. Quraish Shihab dkk, sejarah ‘ulum al-Qur’an, editor: Azumardi Azra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000) cet. 1
Matnur, Abdul Aziz, Jangan Rendahkan Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009) cet. 1
Mernissi, Fatimah dan Hasan Riffat, Setara di Hadapan Allah, (Yogyakarta: LSPPA, 1996)
Muhammad Imarah, al-Tahriir al-Islami li al-Mar’ah, dalam al-Islaam wa Huquuqu al-Mar’ah, (Kairo: Raabithotu al-Jaami’aat al-Islaamiyyah, 2004)
Muhsin, Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1994)cet. 1
Muslih, Muhammad, Bangunan Wacana Gender, (Ponorogo: CIOS, 2007) cet. 1
Mustaqim, Abdul, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, Telaah Kritis Penafsiran Dekonstruktif Riffat Hasan (Yogyakarta: Sabda Persada, 2003) cet. 1
Muthahhari, Murtadha, Perempuan dan Hak-Haknya Menurut Pandangan Islam, (Jakarta: Lentera, 2009), hal 127. Judul asli Women and Her Rights in Islam. Terjemah oleh Ilyas Hasan
Nashiruddin, M. dan Hasan, Sidik, Poros-Poros Ilahiyah, Perempuan dalam Lipatan Pemikiran Muslim, (Surabaya: Jaring Pena, 2005) cet. 1
Partanto, Pius A dan Al Barry, M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994)
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender (Bandung: Mizan, 1999)
Salim Al-Bahnasawi, al-Mar’atu baina al-Islami wa al-Qawaanin al-‘Aalamiyyah, (Kuwait: Daar al-Wafaa’, 2001) cet. 1
Sulthan, Shalahuddin, Ternyata Wanita Lebih Istimewa Dalam Warisan (Imtiyaz Al-Mar’ati ‘Ala Al-Rajuli), (Depok: Iiman, 2008), cet 1. Terj Khaeron Sirin
Syuqqah, Abdul Halim Abu, Tahriir al-Mar’ah fi ‘Ashri al-Risaalah (Kebebasan Wanita), terj Chairul Halim, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet 3
Taufiq, Muhammad Izzuddin, At-Ta’shil al-Islami li al-Dirasaat an-Nafsiyyah, diterjemahkan oleh Sari Nurilita, Lc. Dkk dengan judul Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006) cet. 1
Teichman, Jenny, Etika Sosial, (Yogyakarta: Kanisius, 1998) cet. 1
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001) cet 2
al-Baghdadi, Al-Alusi Abu al-Fadhal Syihab ad-Din as-Sayyid Mahmud, Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Qur’an al-‘Adzim,,,(Beirut: Dar al-Fikri, 1987)
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan Bersama missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, (Ponorogo: CIOS, 2009) cet. 1
Asy-Syafi’I, Muhammad bin Idris, al-Umm, (Daar al-Wafaa, 2001), cet 1
[i] Kata Gender dalam Bahasa Inggris berarti “jenis
kalamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary, berarti “perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku’. Singkatnya, gender adalah suatu konsep yang digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi sosial budaya atau dari sudut non-biologis. Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal 33-35.
[ii] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender (Bandung: Mizan, 1999), hal 9.
[iii] Kadarusman, Agama, Relasi Gender dan Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal 21.
[iv]
Dalam Islam, anggapan adanya ketimpangan gender selalu dikaitkan dengan
proses penciptaan hawa (perempuan pertama dalam sejarah manusia, yang
juga istri adam, laki-laki pertama dalam sejarah manusia), yang mana
dalam keyakinan umat Islam, hawa diciptakan dari tulang rususk adam. Hal
ini melahirkan sebuah wacana, bahwa perempuan adalah mahluk sekunder,
karena tercipta dari bagian tubuh laki-laki. Wacana ini yang manimbulkan
pro dan kontra seputar peran perempuan dalam masyrakat. Lihat
Kadarusman, Agama, Relasi,,, hal 86.
[v] Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, (Yogyakarta: LSPPA, 1996), hal 55-56.
[vi] QS. Al-Hujurat ayat 13.
[vii] QS. Ar-Rum ayat 21.
[viii] QS. Adz-Dzaariyaat ayat 56.
[ix] M. Quraish Shihab, kata pengantar Argumen Kesetaraan Gender, oleh Nasaruddin Umar, (Jakarta: Paramadina, 2001) hal xxxiii
[x] QS. Al-Baqarah ayat 30.
[xi] Seperti yang diangkat oleh Nasaruddin Umar dalam disertasinya yang berjudul, argument kesetaraan gender,
yang diterbitkan oleh Paramadina. Dalam tulisan tersebut, penulis
menyebutkan beberapa ayat tentang kesetaraan gender, di antaranya
al-Dzariyaat ayat 56, al-Hujurat ayat 13, al-Nahl ayat 97, al-An’am ayat
165, al-Baqarah ayat 30 dan ayat-ayat yang lain.
[xii] Ratna Megawangi,,, hal 149. Berkaitan dengan ini, penulis mengatakan, bahwa, eblum ada satupun Negara yang berhasil dengan wacana kesetaraan gender, terlebih lagi yang dimaksud adalah merombak secara total konsruksi social budaya.
[xiii] Ratna Megawangi,,, hal 93.
[xiv] Ibnu katsir dalam tafsiir al-Qur’an al-‘Adzim menjelasakan maksud dari surat al-Rum ayat 21 (ومن اياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها...)
bahwa antara laki-laki dan perempuan salaing melengkapi, dalam hidup
dan penghidupan, kemampuan dalam keilmuan dan pikiran, baik dan buruk,
kaya dan miskin, dalam suka maupun duka. Artinya, antara kedua mahluk
tersebut, ada untuk saling melengkapi satu dengan yang lain. Tafsir ibn
katsir hal 406.
[xv] ‘Adnan bin Muahammad bin Abdul ‘aziz al-Wazzan, Mausuu’atu huquuqi al-Insaan fi al-Islam, juz 5 huquuqu al-Thifli wa al-Mar’ti fi al-Islam, (Beirut: ar-Risaalah, 2005) hal, 279
[xvi] Ratna Megawangi,,, hal 55.
[xvii]
Beriman dengan al-Qur’an merupakan salah satu rukun iman, dan
mengingkari rukun iman berarti mengingkari apa yang datang dari
rasulallah saw, dan karena al-Qur’an diturunkan kepada rasulallah saw,
lafdzon wa ma’nan. Lihat Mutuun at-Tauhiid wa al-‘Aqiidah, al-‘Aqiidah al-Waashothiyyah, (daar al-atsaar, 2002), hal 226
[xviii] QS al-Baqarah ayat 2.
[xix] M. Quraish Shihab dkk, Sejarah ‘Ulum al-Qur’an, editor: Azumardi Azra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hal 104.
[xxi] Muhammad Izzuddin Taufiq, At-Ta’shil al-Islami li al-Dirasaat an-Nafsiyyah (Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam), terj. Sari Nurilita, Lc. , (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal 166-167.
[xxiv] Sebagai
contoh, surat an-Nisa’ ayat 1. Jumhur ulama’ tafsir menafsirkan ayat
tersebut sebagai awal penciptaan wanita, yang mana dalam ayat tersebut
ditafsirkan kalau wanita diciptakan dari bagian tubuh Adam. Demikian
pula dengan surat al-A’raf ayat 189 dan juga surat az-Zumar ayat 6.
[xxv]Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, Telaah Kritis Penafsiran Dekonstruktif Riffat Hasan (Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), hal 116.
[xxvi] Salah
satunya adalah Muhammad ‘Abduh dengan tafsir al-Manar. Dalam masalah
ini, Hamka juga terpengaruh oleh Muhammad ‘Abduh. Menurutnya, pernyataan
tersebut diadopsi dari kitab perjanjian lama. Tidak ada satu ayatpun
dalam al-Qur’an yang menerangkan bahwa perempuan, tepatnya siti hawa
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dalam menafsirkan surat an-Nisa’
ayat 1, hamka menulis,” dalam ayat itu diterangkan bahwa seluruh
manusia itu adalah dari ‘nafsin waahidah’, dari diri yang satu. Artinya
bahwa nyawa manusia pada hakikatnya ialah satu asal. Laki-laki itu juga
perempuan, dan perempuan itu juga laki-laki. Tetapi setelah kurun waktu
tertentu dalam kandungan, barulah tuhan mengadakan pemisahan. Kalau nafs
itu akan dijadikan tuhan laki-laki, diberatkanlah kejadian tubuhnya
kepada kelaki-lakian, demikian juga akan dijadikan wanita atau
perempuan”. Lihat: Tentang Perempuan Islam; Wacana dan Gerakan,
(Jakarta: Gramedia, 2004), hal 60. Editor Jajat Burhanuddin dan Oman
Fathurrahman. Dan banyak lagi ulama yang tidak menjadikan hadis tersebut
pijakan asal penciptaan wanita. Lihat juga Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an,,, hal 94-104.
[xxvii] Seorang
feminis muslimah kelahiran Pakistan. Menempuh pendidikan di St. Mary’s
College University Durham, Inggris. Pada tahun 1976 tinggal di Amerika
dan menjadi profesor sekaligus menjabat sebagai ketua jurusan Program
Religious study di Universitas Lousville, Kentucky.
[xxviii] Berbeda
dengan para mufassir, Riffat Hasan mempertanyakan hadis tersebut
sebagai tafsir ayat penciptaan perempuan. Karena menurutnya, hadis
tersebut ada kaitannya dengan dengan isi alkitab dan talmud. Riffat menganggap hadis-hadis tentang penciptaan perempuan adalah dhaif. Lihat Fatimah Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah,,, hal 59
[xxix] Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Mufassir, (Yogyakarta: Labda Press, 2006), hal 89
[xxxiii] Tafsir al-Kasysyaf jilid 1, hal 492
[xxxv]Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan jender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal 237-246.
[xxxvi] Dalam
bukunya, Nasaruddin Umar mengatakan, bahwa ada kesulitan dalam memahami
kisah asal-usul kejadian manusia dalam al-Qur’an krena adanya loncatan
atau missing link dalam kisah-kisah yang terdapat dalam
al-Qur’an. Menurutnya, pemahaman yang keliru mengenai asal-usul kejadian
perempuan bisa melahirkan sikap ambivalen di kalangan perempuan; di
satu pihak ditantang untuk berprestasi dan mengembangkan karir agar
tidak selalu menjadi beban laki-laki, tetapi di lain pihak ketika
menduduki karir di puncak, keberadaannya sebagai wanita salihah
dipertanyakan. Lihat Nasaruddin Umar,,, hal 246-247
[xxxviii] Beliau mengatakan وخلق منها زوجها adalah
ma’thuf ‘ala mahdzuf (disifatkan pada sesuatu yang disembunyikan),
sehingga bisa dimaknai “dari jiwa yang satu dicipta dan diawali dari
tanah itu pula tercipta pasangannya”. Dimahdzufkannya hal tersebut untuk
menunjukkan satu makna, yaitu, bahwa bangsa kalian berasal dari satu
jiwa, begitulah sifatnya. Dan karena jiwa itu tercipta dari tanah dan
dari tanah pula tercipta pasangannya, Hawa. Lihat al-Khatib as-Syarbini,
as-Siraaj al-Munir, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2004, juz 1, hal 320.
[xxxix] Sahih Bukhari, كتاب النكاح, باب الدعاء للنساء اللواتي يديهن العروس للعروس , juz 5, hal 1987 no 4890.
[xl] Berkaitan
dengan ini, Riffat Hasan menganggap ayat penciptaan perempuan pada
surat an-Nisa ayat 1 bertentangan dengan surat at-Tin ayat 3 yang
artinya “sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Mengutip pendapat Maurice Bucaille, dalam Asal-Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Qur’an dan Sains, bahwa yang dimaksud dengan taqwim
dalam ayat tersebut adalah mengorganisasi sesuatu dengan cara yang
terencana. Sehingga ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia telah diberi
bentuk yang sangat terorganisir oleh kehendak tuhan, dan yang demikian
sangat selaras melalui adanya keseimbangan dan kompleksitas struktur.
Maurice Bucaille, Asal –Usul manusia menurut Bibel, Al-Qur’an dan Sains, terj Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1990), hal 208. Lihat Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Mufassir, (Yogyakarta: Labda Press, 2006), hal 202.
[xli] Wahbah Zuahaili, tafsir al-Muniir,,, hal 556
[xliii] Seperti
Hamka dan beberapa penulis muslim yang membela hadis tersebut sebagai
bantahan terhadap kaum feminis yang menolak hadis dan menganggap hadis
tersebut bias penafsir laki-laki. lihat Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam al-Qur’an,,, hal 99-102
[xliv] Al-Alusi al-Baghdadi, Abu al-Fadhal Syihab ad-Din as-Sayyid Mahmud, Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Qur’an al-‘Adzim,,,(Beirut: Dar al-Fikri, 1987) hal 181-182
[xlv] Al-Qur’an menggambarkan bagaimana masyarakat arab jahiliyah sebelum kedatangan Islam. “Dan
apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.”QS. AN-Nahl ayat 58.
[xlvii] Ibid,,, hal 86.
[xlviii] Ibid,,, hal 86-87.
[xlix] Dalam Kamus kontemporer Arab Indonesia al-‘Ashri, kata خليفة
mempunyai makna ‘Kepala Negara’, artinya makna tersebut tidak berbeda
bila dikatakan bahwa Khalifah berarti Pemimpin atau Presiden.
[l] “Ingatlah
ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘sesungguhnya aku hendak
menciptakan seorang khalifah di muka bumi’, mereka berkata: ‘mengapa
engkau hendak menciptakan khalifah di muka bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih denghan memiji Engkau dan mensucikan engkau?,’ tuhan
berfirman:’ sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak aklian ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 30)
[li] “dan
Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia maha pengampun lagi maha penyayang”
[lii] Fatimah
Mernissi adalah salah sorang tokoh feminis muslim yang lahir di Marokoo
pada tahun 1940. Dikenal sebagai feminis yang sangat krirtis terhadap
teks-teks agama, khususnya yang berhubungan dengan hadis-hadis yang
dianggap merendahkan kaum perempuan (hadis misogini). Dalam peta
pemikiran Islam secara umum, model pemikiran Fatimah Mernissi sejalan
dengan Amina Wadud Muhsin dan Riffat Hasan dan lainnya, yang mencoba
menggali teks-teks suci untuk dipahami ulang sesuai tuntutan feminisme
dan konteks zaman. Lihat Ftima Mernissi: Menggugat Ketidakadilan Gender, dalam Pemikiran Kontemporer, oleh Tamyiz Burhanuddin, (Yogyakarta: jendela, 2003),hal 126-129.
[liii] Fatimah Mernissi, Perempuan Dapat Memimpin Negara Muslim?, dalam Setara Di Hadapan Allah, (Yogyakarta: LSPPA,1996), hal 179.
[liv] Dalil yang
dianggap memiliki validitas tinggi akan bolehnya seorang wanita
memimpin. Ini juga yang disuarakan oleh Mernissi sebagai jastifikasi
terhadap kepemimpinan seorang wanita. Menurutnya, ayat-ayat dari surat
an-Naml yang memberitakan tentang ratu saba’ sebagai pemempin sudah
cukup membuktikan bolehnya perempuan menjadi pemimpin publik. Dalam ayat
tersebut, Allah menggambarkan bagaimana hud-hud memberitahu nabi
Sulaiman akan adanya sebuah kerajaan yang dipimpin seorang wanita , dan
wanita tersebut memilki segalanya, yang juga dikaruniai singgasana yang
besar. Sayangnya, wanita tersebut (ratu bilqis) dan kaumnya menyembah
matahari. Lihat Apakah Kaum Perempuan Dapat Memimpin Negara muslim?. Oleh Fatimah Mernissi, dalam Setara di Hadapan Allah, hal 179-203.
[lv] Seorang
tokoh agama yang amat disegani yang juga merupakan alumni al-Azhar.
Beliau menulis buku tentang kepemimpinan perempuan yang kemudian menuai
kontroversi di kalangan ulama. Fatimah Mernissi, Perempuan Dapat Memimpin Negara Muslim?, dalam Setara Di Hadapan Allah, (Yogyakarta: LSPPA,1996), hal 182-183.
[lvi] Sahih bukhari, dalam كتاب هالمغازي,باب كتاب النبي صلى الله عليه وسلم إلى كسرى وقيصر, juz 4, hal 1610, no 4163.
[lvii] Ada
beberapa hadis yang oleh kaum feminis digolongkan ke dalam hadis-hadis
misogini, di antaranya hadis tentang kebanyakan penghuni neraka adalah
perempuan, tentang perempuan kurang akal dan agama, tentang yang
membatalkan solat, dan sejumlah hadis yang intinya merendahkan kaum
perempuan, namun “versi feminis”.
[lviii]
Fatimah Mernissi,,, hal 179-199. Berkaitan dengan ini, hal pertama yang
dilakukannya adalah dengan mempertanyakan apakah hadis tersebut
benar-benar diucapkan oleh nabi atau tidak, kalaupun berasal dari nabi,
dalam konteks apa nabi mengucapkannya, dan bisakah para perawi hadis
tersebut dipercaya. Dalam hal ini, Mernissi menganggap hadis tersebut
mengandung muatan politis. karena hadis tersebut menurut Mernissi,
disampaikan setelah terjadinya perang jamal,
dimana Aisyah terpuruk dengan terbunuhnya 13.000 pendukung setianya.
Sehingga Abu Bakrah menyampaikan hadis tersebut, dengan sebab kekalahan
Aisyah, padahal dalam fathul bary juz 13 halaman 56 dijelaskan, Aisyah
sama sekali tidak sebagai seorang pemimpin, namun beliau mengajak
pengikutnya untuk berdamai, dan meminta ali agar menindaklanjuti kasus
terbunuhnya Usman bin Affan, dan bukan memimpin seperti anggapan
Mernissi. Bukan pula sebagai pemimpian seperti perempuan zaman sekarang. Dalam Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam,
Hidayat Nur Wahid memberikan komentar panjang tentang tulisan Fatimah
Mernissi. Hidayat Nur Wahid menyimpulkan bahwa, apa yang dilakukan
Mernissi terhadap sahabat rasul adalah satu bentuk tindakan emosional
yang tidak berdasar, karena didapatkan dalam tulisan Mernissi banyak hal
yang tidak sesuai dengan yang dijadikan sebagai maraji’ oleh
Mernissi. Dengan demikian, justru umat Islam harus lebih berhati-hati
dengan tulisan-tulisan yang mejatuhkan kredibilitas para sahabat rasul.
Lihat M. Hidayat Nur Wahid, Kajian atas Kajian DR Fatima Mernissi
tentang Hadis Misogini, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hal 3-33.
[lix]
Riwayat tentang pencambukan Abu Bakrah oleh khalifah Umar banyak dimuat
oleh ahli sejarah, seperti ath-Thabary. Baik dalam kitab tarikh maupun
tafsir. Abu Bakrah dicambuk karena pernah bersumpah menyaksikan
perbuatan serong al-Mughirah bin Syu’bah, yang juga sahabat rasul.
Berkaitan dengan kasus ini, abu bakrah dicambuk krena kesaksiannya
dianggap tidak kuat. Namun, tercambuknya abu bakrah tidak lain karena
beliau berpegang teguh dengan pendapatnya, walaupun harus dicambuk 2
kali. Dan karena beliau memang tidak berbohong. (lihat At-Thabari,
Târîkh at-Thâbarî, juz II, hlm. 493).
[lxi] Mengenai keutamaan para sahabat, nabi bersabda yang artinya: “Jangan kalian mencaci para sahabatku! Sesungguhnya
jika salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud,
maka itu tidak akan dapat menyamai satu mud yang mereka infakkan, bahkan
tidak juga akan menyamai setengahnya”.
[lxii]
Imam Bukhari dan Muslim dalam masing-masing kitabnya tetap menerima
riwayat dari Abu Bakrah, bukan hanya satu dan dua riwayat, melainkan 14
hadis; 8 hadis diriwayatkan secara bersama-sama, 5 hadis diriwayatkan
secara terpisah oleh Bukhari dan 1 oleh Muslim. Lihat Masâ’il al-Imâm Ahmad, juz III, hal 291. http://swaramuslim.net/islam/more.php?id=642_0_4_0_M/09.02.2010/09.39.
[lxiii]
Mayoritas ulama fiqih dan hadis sepakat dengan hadis tersebut sebagai
larangan bagi perempuan untuk memimpin. Para ulama sepakat bahwa
perempuan mutlak tidak boleh memimpin jika dalam imamatu al-uzdma, atau khilafah seperti pada zaman rasulallah dan para sahabat. Namun ulama berbeda pandangan dalam masalah kepemimpinan selain imamatu al-udzma.
Menurut Muhammad Biltaji, tidak ada nash khusus dari al-Qur’an maupun
sunnah yang melarang kepemimpinan perempuan, meskipun jumhur ulama fiqih
dan hadis sepakat dengan hadis tentang kepemimpinan tersebut. Lihat
Muhammad Biltaji, Makaanatu al-Mar’ah fi al-Qur’an al-Karim wa as-Sunnah ash-Shahihah,,,(Kairo: Daar as-Salaam, 2000), hal 255-261. Demikian juga dijelaskan dalam tuhfatu al-Hawadzi, bahwa jumhur ulama tidak sepakat dengan kepemimpinan ataupun sebagai qoodhi, walaupun hal tersebut dibolehkan oleh ath-Thobary dengan mengacu pada pendapat imam malik dan abu hanifah. Lihat Tuhfatu al-Ahwadzi,
juz 6 , hal 447. Tidak seperti yang terjadi sekarang dan tidak pula
seperti yang diinginkan kaum feminis saat ini. Larangan perempuan untuk
menjadi pemimpin juga berdasar pada surat al-Ahzab ayat 33, yang
artinya: “Dan hendaklah kamu menetap di rumahmu dan janganlha kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.
Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasulnya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”. ath-Thabary
(Jami’ al-Bayan fi Ta’wili al-Qur’an) dan ar-Razi (Mafaatih al-Ghaib)
berpendapat bahwa ayat tersebut ditujukan kepada para istri rasulallah.
Ibnu Katsir berpendapat ayat tersebut untuk kaum wanita, agar menetap
dalam rumah. Berdasar pada hadis Rasulallah saw ketika didatangi oleh
beberapa wanita dan bertanya: ya Rasulallah, kaum laki-laki mendapatkan
keutamaan dengan berjihad di jalan Allah, lalu apa amalan bagi kami yang
dapat mencapai derajat berjihad di jalan Allah?rasulallah menjawab:
barang siapa yang duduk—atau kalimat yang sejenisnya-- di dalam rumahnya
maka dia telah mencapai derajat para mujahid di jalan Allah. Tafsir
ibnu katsir Tafsir al-Qur’an al-Adzim hal 422.
[lxiv] Ibnu katsir mengenai ayat ini mengatakan, “semua manusia berada dalam kemuliaan, namun, masing-masing saling memiliki kelebihan
antara yang satu dan yang lain dalam urusan-urusan agama, yaitu ta’at
kepada Allah dan mengikuti rasulallah saw. Oleh karena itu, Allah
melarang manusia untuk saling menghina dan saling menjelekkan, sebagai
peringatan bahwa mereka sama-sama manusia.” Lihat Tafsir ibn katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (daar ath-thoyyibah, 1999) juz 7, hal 385
[lxv] Said Hawwa, al-Islam, terj Abdul Hayyi al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hal 382.
[lxvi] Berkaitan
dengan masalah kesaksian wanita, penulis mengambil salah seorang
feminis muslim yang menganggap bahwa belum ada kesepakatan akan
ketentuan kesaksian dua orang wanita yang setara dengan kesaksian satu
orang laki-laki. Dalam hal ini, feminis yang dimaksud adalah Ashgar Ali
Engineer. Lihat Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hal 108
[lxix] “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun
daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka
hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu,
baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian
itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu
itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di
antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan
saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah
kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”(QS. Al-Baqarah: 282)
[lxxi] Ibnu Katsir, Tafsiir al-Qur’an al-‘Adziim, juz 1, hal 724. Hal ini berdasarkan hadis nabi shalallahu’alaihi wasallam, yang artinya “aku tidak melihat seorangpun
dari yang kekurangan akal dan agama dari yang memilki pengetahuan lebih
(laki-laki) aripada segolongan kalian”. Lalu mereka berkata, “apakah
kekurangan akal dan agama kita wahai Rasulallah?”. Rasullah
menjawab:”bukankah kesaksian perempuan itu setengah dari kesaksian
laki-laki?”mereka menjawab,”benar...”. rasulallah berkata, “itulah
kekurangan akalnya, dan bukankah ketika sedang haidh dan nifas mereka
tidak salat dan puasa?”mereka menjawab,” benar... “ lalu Rasulallah
berkata, itulah kekurangan agamanya”.
[lxxii] Imam As-Syafi’i, al-Umm, (daar al-wafaa, 2001) hal 117
[lxxiii] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, juz 3, hal 443
[lxxiv] Sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an:”Dan
orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang
itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia
adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya
itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah
sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta,
dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu
termasuk orang-orang yang benar.
Dan andai kata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan
(andai kata) Allah bukan Penerima Tobat lagi Maha Bijaksana, (niscaya
kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan). Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu
juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan
ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat
balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang
mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu
baginya azab yang besar. “ (QS. an-Nur, 6-11). Lihat Wanita Dalam Pandangn Islam, oleh Syarif Muhammad Abdul Adhim, hal 26-28.
[lxxv] Murtadha Muthahhari, Perempuan dan Hak-Haknya Menurut Pandangan Islam, (Jakarta: Lentera, 2009), hal 127. Judul asli Women and Her Rights in Islam. Terjemah oleh Ilyas Hasan.
[lxxvii] Abu Syuqqah dalam Tahrir al-Marah fi ‘Ashri al-Risaalah
(Kebebasan Wanita) menyebutkan bagaimana Islam sangat menghormati dan
menghargai wanita dengan menjaga kehormatannya. Bagaimana Islam
menghormati Ibu, saudara wanita, istri, anak perempuan, sampai budak
perempuan. sebagai contoh, hadis nabi yang artinya:”tidak seorangpun
dari umatku yang menanggung tiga orang anak perempuan atau tiga orang
saudara perempuan, lalu dia perlakukan mereka secara baik, kecuali
mereka itu akan menjadi tirai pencegah baginya dari api neraka”.(HR.
BAIHAQQI). Dalam
riwayat lain nabi mengatakan:”Barang siapaa yang memelihara dua anak
perempuan dengan baik sampai semua balig, maka pada hari kiamat akau dan
dia ….” Sambil merapatkan jarinya. (HR. MUSLIM). Lihat Abdul Halim Abu
Syuqqah, (Tahriir al-Mar’ah fi ‘Ashri al-Risaalah) Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal 124-125.
[lxxviii] Asghar Ali Engineer, (the Rights of Women in Islam) Hak-Hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), hal 55. Terjemah oleh Farid Wajidi dan Cici Farkha Asseghaf.
[lxxix] Abu Ja’far Ath-Thabary, Jaami’ Al-Bayan fi Ta’wili Al-Qur’an, (Muassasah ar-Risaalah), juz 8, hal 290.
[lxxx] Ibnu Katsir al-Qursyi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (daar ath-thayyibah, 1999), juz 2, hal 292.
[lxxxi] Abu Ja’far Ath-Thabary, Jaami’ Al-Bayan fi Ta’wili Al-Qur’an, (Muassasah ar-Risaalah), juz 8, hal 290. Dan Ibnu Katsir al-Qursyi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (daar ath-thayyibah, 1999), juz 2, hal 292.s
[lxxxii] Karena
al-Qur’an tidak menjelaskan apa kelebihan laki-laki atas perempuan,
para mufassir berbeda-beda menjelaskannya. Ada yng bersifat fisik,
mental, intelektual, peran keagamaan dan yang lainnya. Lihat Yunahar
Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam al-Qur’an,,, hal 242.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال :
جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله من أحق
الناس بحسن صحابتي ؟ قال ( أمك ) . قال ثم من ؟ قال ( ثم أمك ) . قال ثم من
؟ قال ( ثم أمك ) . قال ثم من ؟ قال ( ثم أبوك ) Sahih Bukhari, Kitaab al-Adab, bab Man Ahaqqu an-Naasi bi Husni ash-Shahaabah, juz 5, hal 227, no 5626. Sahih Muslim, fi al-Birr wa as-Shilah wa al-Adab, bab Birru al-Waalidaini, no 2548. Berdasar
pada hadis-hadis tentang keutamaan wanita, tampak jelas bagaimana Islam
memuliakan perempuan. Dalam Syarh Sahih Bukhari, Ibnu Hajar
al-Asqalaniy mengatakan,” hadis tersebut menjelaskan akan keutamaan
seorang ibu, yang mana ibu memiliki peran yang sangat vital. Terlebih
ibu adalah orang yang mengandung, melahirkan dan menyusui, yang tidak
mungkin dapat dilakukan oleh seorang bapak. Dalam al-Qur’an Allah berfirman ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن وفصاله في عامين[lxxxiii],
dan berkaitan dengan ini, al-Qurthuby mengatakan bahwa ibu memiliki hak
yang lebih besar atas anaknya dibandingkan seorang ayah. Dan jumhur
ulama’ juga berpendapat demikian, sesuai dengan makna hadis tersebut.
Walaupun ada yang mengatakan keduanya memiliki hak yang sama. Lihat Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Baariy, Syarh Sahih Bukhari, (Daar al-Ma’rifah), juz 10, hal 401-402.
[lxxxiv] Abdu ar-Rabb Nawab ad-Din aali Nawab, ‘Amalu al-Mar’ati wa Mauqifu al-Islam Minhu, (Riyadh: Daaru al-‘Aashimah, 1989), hal 116.
[lxxxvii] Ummu Fathimah, Keadilan dan Kesetaaraan Gender, dalam al-wa’ie, No. 75 Tahun VII, 1-30 November 2006, hal 12-13.
[lxxxix]Berkenaan
dengan masalah warisan, dalam makalah ini, penulis hanya akan
mengangkat dua orang tokoh pemikir muslim yang menganggap adanya
kesalahan dalam pembagian warisan dalam Islam.
[xc] Nurjannah Isma’il, Perempuan Dalam Pasungan, Bias Laki-Laki Dalam Penafsiran, (Yigyakarta: LkiS, 2003), hal 200.
[xci] Amina
Wadud Muhsin adalah seorang tokoh feminis muslim kelahiran Amerika,
tepatnya 1952. Amina Wadud merupakan guru besar (profesor) pada
Universitas Commonwealth, Richmond, Virginia. Lihat Amina Wadud Muhsin:
Menuju Keadilan Gender, oleh Abdul Mustaqim, dalam Pemikiran Islam
Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal 66. Berkaitan dengan ayat
waris, Amina Wadud tidak sendirian. Banyak lagi feminis muslim yang
tidak setuju dengan penafsiran ayat waris tersebut. Ada pula yang bukan
feminis, seperti mantan menteri agama RI, Munawir Syadzali. Menurutnya,
seyogyanya wanita mendapatkan warisan yang sama dengan laki-laki.
Gagasan tersebut muncul karena kondisi sekarang berbeda dengan waktu
ayat waris tersebut turun. Lihat Nashruddin Baidan, Tafsir bi
al-Ra’yi,,,hal 64.
[xcv] Asghar
Ali Engineer adalah salah seorang pemikir muslim yang mempunyai
perhatian besar terhadap problem-problem sosial dan pembebasan. Pemikir
yang lahir di india pada tanggal 10 maret 1940 ini merupakan sarjana
lulusan teknik. Ia juga merupakan pemimpin kelompok keagamaan Syi’ah
Isma’iliyyah yang berpusat di Bombay. Lihat Asghar Ali Engineer: Menuju
Teologi Pembebasan, oleh M. In’am Esha, dalam Pemikiran Islam
Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal 85-89.
[xcvi] Asghar Ali Engineer, Hak-hak perempuan Dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta : Yayasan Benteng Budaya), hal. 101 – 106
[c]. Muhammad Ali as-Shaubuny, Al-Mawarits fi Asyari'ah al-Islamiyah fi dhaui al-Kitab wa al- Sunnah, (Damaskus: Daar al-Qolam, 1993) hal. 18-19
[ci] Abu Ja’far Ath-Thabary, Jaami’ Al-Bayan fi Ta’wili Al-Qur’an, (Muassasah ar-Risaalah), juz 7, hal 31.
[cii]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Adzim, Juz 1: Tafsir surat An-Nisa', (Beirut: Daar al-Fikr, 2005), hal. 414
[ciii] Fakhruddin Al-Razi, Tafsiir al-Kabiir aw Mafaatih al-Ghaib, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), hal 165-167.
[civ]. Muhammad Ali as-Shaubuny, Al-Mawarits fi Asyari'ah al-Islamiyah fi dhaui al-Kitab wa al-Sunnah, (Damaskus: Daar al-Qolam, 1993) hal. 18-19
[cv] Muhammad Imarah, al-Tahriir al-Islami li al-Mar’ah, dalam al-Islaam wa Huquuqu al-Mar’ah, editor; Ja’far ‘Abdu as-Salam(Kairo: Raabithotu al-Jaami’aat al-Islaamiyyah, 2004), hal 58-60.
[cvi]
Hak waris perempuan dalam Islam: a. Separuh dari bagian laki-laki, b.
Sama dengan bagian laki-laki, c. Lebih besar dari bagian laki-laki, d.
Perempuan memperolah bagian dan laki-laki yang sederajat dengannya tidak
memperoleh sama sekali. Lihat Shalahuddin Sulthan, Imtiyazu al-Mar’at ‘ala al-Rajuli(ternyata wanita lebih istimewa dalam warisan). Terj Khaeron Sirin (Depok: Iman, 2008), hal 33-74.
[cvii]. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, Kata Pengantar dalam Bangunan Wacana Gender, (Ponorogo : CIOS, 2008), hal. xiii
[cviii] Adian Husaini, Kajian Islam Historis dan Aplikasinya dalam Studi Gender, dalam ISLAMIA Vol V No. 1, 2009. Hal 18.
[cix] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hal 104.
[cxiv] Adian Husaini, Kajian Islam Historis dan Aplikasinya dalam Studi Gender, dalam ISLAMIA Vol V No. 1, 2009. Hal 20.
[cxv] Menurut
konsep gender, hanya sifat maskulin yang mampu menjawab tantangan alam,
dan hanya sifat maskulin pula yang dpat bertahan dan berkembang di
ruang public. Inilah yang menyebabkan sifat feminine menjadi tersisih
ketika berkompetisi di ruang public. Bagi kalangan feminis, keadilan
tidak akan tercapai selama sifat maskulin mendominasi ruang public dan
menyisihkan sifat feminin. Lihat Lathifah Musa, Keadilan dan Kesetaraan Gender:Gagasan Absurd, dalam al-wa’ie, No. 75 Tahun VII, 1-30 November 2006.
[cxix] Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan Bersama missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, (Ponorogo: CIOS, 2009), hal 111.
[cxx] ‘Abdu al-Rabb Nawaab al-Din alu Nawaab, ‘Amalu al-Mar ati wa mauqifu al-Islam Minhu, (Riyadh: Daar al-Ma’rifah, 1989), hal 115-117
[cxxi] Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam al-Qur’an,,, hal 273-274
[cxxiv] Ratna Megawangi,,, hal 9-12
[cxxv] Secara awam, worldview atau pandangan hidup
sering diartikan filsafat hidup atau prinsip hidup. Setiap kepercayaan,
bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang mempunyai
worldview masing-masing. Maka dari itu, jika worldview
diasosiasikan kepada sesuatu kebudayaan maka spektrum maknanya dan juga
termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut. Esensi perbedaannya
terletak pada faktor-faktor dominan dalam pandangan hidup masing-masing
yang boleh jadi berasal dari kebudayaan, filsafat, agama, kepercayaan,
tata nilai sosial atau lainnya. Lihat Hamid Fahmi Zarkasyi, Worldview
Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam, thn II NO. 5/APRIL-JUNI 2005.
[cxxvi] Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal 273.
[cxxvii] Sesuai dengan hadis nabi إنما النساء شقائق الرجال
. Hadis ini menjelaskan bahwa antara keduanya memang ada keterkaitan
yang tidak bisa dipisahkan. Dan menegaskan bahwa keduanya adalah partner
sekaligus mitra yang memang sersai, saling melengkapi karena mereka adalah satu kesatuan. Muhammad Baltaji, Makaanatu al-Mar ati fi al-Qur’an wa as-Sunnah ash-Shohihah, (Kairo: Daar al-Salaam, 2000), hal 61.
[cxxviii] Salim Al-Bahnasawi, al-Mar’atu baina al-Islami wa al-Qawaanin al-‘Aalamiyyah, (Kuwait: Daar al-Wafaa’, 2001), hal 103.
[cxxx] Ratna Megawangi, Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang Serta Kaitannya Dengan Pemikiran Keislaman, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hal 220-221.
Sumber: http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=432:konsep-keserasian-gender-dalam-al-quran&catid=32:gender&Itemid=100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar