Oleh: A. Abdulloh Khuseini
(Peserta Program Kaderisasi Ulama Angkatan III ISID Gontor Ponorogo)*
Salah satu agenda yang di usung oleh para feminis adalah pengarusutamaan gender[1] (gender mainstreaming), yaitu suatu strategi[2]
untuk mencapai kesetaraan gender melalui perencanaan dan penerapan
kebijakan yang berperspektif gender pada organisasi dan institusi.[3]
Gender diartikan sebagai suatu konsep untuk mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya dan sudut
non-biologis.
[4] Istilah gender sejatinya tidak lepas dari konspirasi Barat[5] tentang wanita yang di masa lalu begitu rendah. Wanita dianggap makhluk yang hina dan tidak bisa dipercaya, bahkan menjadi korban inkuisisi Kristen di Barat. Akibat dari konsep dasar ini, maka konstruk sosial yang tercipta telah meletakkan peran sosial wanita secara sekundair atau kedua setelah laki-laki, dan kemudian menghasilkan sikap sosial yang diskriminatif terhadap wanita[6]/perempuan[7].
[4] Istilah gender sejatinya tidak lepas dari konspirasi Barat[5] tentang wanita yang di masa lalu begitu rendah. Wanita dianggap makhluk yang hina dan tidak bisa dipercaya, bahkan menjadi korban inkuisisi Kristen di Barat. Akibat dari konsep dasar ini, maka konstruk sosial yang tercipta telah meletakkan peran sosial wanita secara sekundair atau kedua setelah laki-laki, dan kemudian menghasilkan sikap sosial yang diskriminatif terhadap wanita[6]/perempuan[7].
Wacana seputar isu gender dalam Islam mengalami perkembangan signifikan di Indonesia,[8]
hal ini tidak terlepas dari pengaruh karya-karya feminis Muslim di
berbagai belahan dunia Islam, baik melalui wacana maupun tradisi oral (oral tradition)
di kalangan pemimpin Islam. Karya-karya mereka tidak saja menjadi
sumber inspirasi – di kalangan feminis Islam Indonesia – untuk
mendialogkan secara kritis isu-isu gender dengan Islam dalam konteks ke
Indonesiaan. Lebih dari itu, perkembangan wacana tersebut semakin
membulatkan tekad dan komitmen para feminis dalam usahanya mengadvokasi
dan membebaskan perempuan dari domestifikasi, subordinasi, dan
diskriminasi yang selama ini membelenggu ruang gerak perempuan.[9]
Isu kesetaraan gender yang diperjuangkan
oleh para feminis pada akhirnya sampai pada tuntutan kesetaraan dalam
institusi keluarga. Hal ini kemudian melahirkan berbagai macam pandangan
terhadap struksur institusi keluarga, di antaranya; Paradigma marxis
memandang institusi keluarga sebagai “musuh” pertama yang harus
dihilangkan atau diperkecil perannya. Keluarga dianggap sebagai cikal
bakal segala ketimpangan sosial yang ada, terutama berawal dari hak dan
kewajiban yang timpang antara suami-istri.[10]
Dalam pandangan ini, institusi keluarga adalah struktur patriarki yang
merupakan cikal bakal terciptanya masyarakat berkelas-kelas. Kaum
komunis mengatakan bahwa kaum perempuan adalah private property bagi suaminya. Manifesto feminism radikal yang diterbitkan dalam Notes from the Second Sex (1970) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas perempuan.[11]
Pada
umumnya, institusi keluarga di atas menempatkan perempuan dalam posisi
yang lemah. Kondisi yang lemah dan terlemahkan dari kaum perempuan itu
sebenarnya dapat terjadi karena masih kuatnya unsur dominasi dan
hegemoni dalam budaya patriarkhis yang menindas kaum perempuan. Kaum
perempuan menjadi “korban” abadi dalam sistem kehidupan masyarakat yang
mengalami ketimpangan struktural.[12]
Maka
wajar jika kemudian lahir suatu gerakan yang dipromotori oleh kaum
perempuan yang menginginkan kebebasan. Bebas dari kungkungan patriarki,
penjara rumah tangga, dan kemudian menganggap institusi keluarga sebagai
musuh pertama yang harus dihilangkan atau diperkecil perannya. Mereka
beranggapan bahwa peran wanita sebagai ibu rumah tangga adalah peran
yang “merampok hidup perempuan”, “perbudakan perempuan” dan sebagainya.[13]
Konsep
relasi hubungan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga menurut
analisis gender adalah persamaan hak dan kesempatan. Kalau laki-laki
bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga, maka perempuan pun mempunyai
hak yang sama, bisa menjadi pemimpin bagi keluarganya. Begitu pula kalau
perempuan bisa diberi tugas mengurus rumah tangga, maka laki-laki pun
bisa diberi tugas mengurus rumah tangga. Pembagian peran dalam rumah
tangga tidak boleh didasarkan atas perbedaan jenis kelamin, tetapi
karena kapabilitasnya. Perbedaan laki-laki dan perempuan tidak
seharusnya memunculkan perbedaan peran, karena ia akan menimbulkan
ketidakadilan.[14]
Pandangan yang lebih ekstrim tentang struktur keluarga ideal
dikemukakan oleh feminism radikal, mereka berpendapat apabila lembaga
perkawinan tidak dapat dihindari, maka perlu diciptakan teknologi[15]
untuk mengurangi beban biologis wanita. Hal ini diharapkan dapat
mengakhiri pembagian peran berdasarkan gender yang selalu terkait dengan
kehamilan, menyusui, dan pengasuhan anak.[16]
Isu
kesetaraan dan kebebasan di atas kini hendak diterapkan dalam institusi
keluarga Islam, dimana dalam Islam institusi keluarga adalah merupakan
hubungan yang sakral dan bahkan telah di atur dalam al-Qur’an[17] dan al-Hadis[18].
Penyama rataan konsep dengan yang di tawarkan oleh Barat mengenai
institusi keluarga tentu tidak bisa diterima dalam Islam. Di Barat,
seorang wanita yang menjadi ibu adalah merupakan bentuk diskrimasi,
sedang dalam Islam tugas seorang ibu dalam rumah tangga memiliki fungsi
yang sangat urgen, karena ibu adalah merupakan madrasah pertama bagi
putra putrinya.
Dari
paparan di atas, penulis hendak memaparkan bagaimana struktur institusi
keluarga menurut para feminism, bagaimana sejarah dan konsep struktur
keluarga mereka terbentuk serta dampak sosial yang timbul, kesempatan
dan persamaan yang meliputi aktualisasi diri dan dedikasi perempuan yang
diinginkan kaum feminism, dan terakhir akan dijelaskan bagaimana
institusi keluarga dalam Islam.
B. Kritik Feminis Terhadap Pernikahan/Institusi Keluarga
Bagi
para feminis, agama, budaya, dan keluarga seakan menjadi sumber bagi
para feminis untuk menyebarkan ideologi gender dalam mendapat jalannya
melakukan stigmatisasi serta posisi biner perempuan dan laki-laki.
Menurut mereka, Ideologi gender seakan mendapatkan legitimasi dari
agama, kemudian dikuatkan lagi dengan adanya tradisi masyarakat,
kebudayaan, dan dipraktikkan dalam kehidupan keluarga. Situasi semacam
ini - menurut para pegiat gender - dianggap telah berlangsung
berabad-abad dengan posisi relasi yang timpang antara perempuan dan
laki-laki.[19]
Sebagaimana
kita ketahui, bahwa kehidupan masyarakat dunia berawal dari individu,
dan keluarga sebagai komunitas terkecil dalam masyarakat yang akan
membentuk karakter setiap individu yang ada di dalamnya. Akan tetapi
bagi para feminis, kondisi seperti ini dianggap menjadi sebuah ladang
pembibitan yang sangat strategis untuk pelestarian dan pengembangan
ideologi gender. Menurut mereka, dalam kehidupan keluarga, nilai-nilai
ideologi gender ditanamkan dan tertanamkan baik secara deduktif maupun
secara induktif. Proses penanaman bibit yang tanpa pemahaman pada
hakekatnya hanya merupakan proses pemiskinan peradaban. Mereka
beranggapan bahwa kebudayaan manusia berjalan dengan penuh eksploitasi
dan penipuan. Dalam situasi seperti ini, mereka menyimpulkan bahwa pola
relasi yang tumpang tindih telah melahirkan berbagai bentuk
ketidakadilan dan kekerasan yang secara intensif terjadi terus menerus
dalam kehidupan keluarga. Bagi para feminis, kedudukan ayah sebagai
kepala keluarga dianggap telah mengukuhkan ideologi gender itu sendiri.
Selanjutnya mereka mengatakan bahwa, dengan memposisikan laki-laki
sebagai faktor ordinat dan perempuan sebagai subordinat, kekerasan dan
ketidakadilan pada perempuan seolah mendapat legalitas lewat agama dan
budaya yang beridiologi gender tersebut, dengan keluarga sebagai
instrumennya.[20]
Para feminis menganggap bahwa mereka telah berhasil menempatkan politik
seksualitas sebagai isu sentral dalam pemahaman tentang penindasan.
Teori mereka adalah meletakkan politik seksualitas dalam rumah tangga,
khususnya pada pembagian kerja rumah tangga, semisal siapa yang merawat
anak dan memasak.[21]
Argumen
yang dipakai oleh para feminis adalah bahwa patriarki (supremasi
laki-laki) muncul karena adanya pembagian kerja yang didasarkan atas
seks. Mereka menganggap bahwa dengan adanya pembagian tersebut,
perempuan menjadi benar-benar bertanggung jawab atas pekerjaan domestik.
Lebih dari itu, mereka beranggapan bahwa teoretisi laki-laki telah
menganggap remeh penindasan yang dialami perempuan di rumah tangga,
pasar kerja, politik dan budaya[22] sehingga timbul anggapan bahwa kaum laki-laki selalu menempatkan perempuan pada posisi kelas ke dua (the second human being) dalam tatanan kehidupan.[23]
Tuduhan-tuduhan
negatif yang dilontarkan oleh para feminis, kemudian memunculkan
berbagai macam ide dan gagasan untuk menyetarakan kedudukan laki-laki
dan perempuan. Mereka ingin merubah struktur institusi keluarga yang
bersifat vertikal dengan suami sebagai kepala keluarga, menjadi struktur
yang bersifat horizontal, di mana kepemimpinan dalam keluarga bisa di
pegang oleh suami atau istri. Manakala penghasilan istri lebih besar
dari suami, maka istrilah yang berhak menjadi kepala rumah tangga. Hal
ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Randal Collin dalam bukunya Sociological of Marriage and the Family: Gender, Love, and Property dan dikutip oleh Ratna Megawangi dalam bukunya Membiarkan Berbeda mengatakan
bahwa keluarga oleh model structural-fungsional dijadikan institusi
untuk tujuan melanggengkan system patriarkat, kemudian Collin mengatakan
bahwa sebuah keluarga ideal adalah yang berlandaskan companionship, yang hubungannya horizontal (tidak hierarkis).[24]
Menurut Ben Agger dalam bukunya Teori Sosial Kritis mengatakan
bahwa para feminis telah menghasilkan perubahan utama dalam kajian
sosiologi atas keluarga, keluarga tidak lagi ditinjau dalam terminologi
Victorian[25] dan Parsonian[26] sebagai tempat pembagian kerja berdasarkan seks “secara alamiah[27],
melainkan dipandang sebagai tempat pertarungan, di mana pembagian kerja
secara seksual, telah melemahkan dan merugikan perempuan.” Mereka
berpendapat bahwa pembagian kerja secara seksual, merupakan ketimpangan
yang serius antara laki-laki dan perempuan, mempermasalahkan dan
mempolitisir keluarga. [28] Menurut Arif Budiman dalam Pembagian Kerja Secara Seksual yang
dikutip oleh Neng Dara Affiah mengatakan, “Pembagian kerja semacam ini
berasumsi bahwa pekerjaan utama perempuan adalah di rumah. Dunia publik
adalah dunia laki-laki, dan karena itu pencari nafkah utama keluarga
adalah suami.” Dengan pola semacam ini, para feminis berasumsi bahwa
perempuan cenderung dirugikan, karena ia menjadi tergantung pada suami
secara ekonomi.[29]
Feminis menentang pembagian kerja berdasarkan seks karena tidak ada
alasan biologis mengapa perempuan harus mengasuh anak dan melakukan
pekerjaan rumah tangga sementara laki-laki bekerja di luar rumah untuk
mendapat upah, sehingga menjadikan sang istri tergantung kepada niat
baik mereka demi kelangsungan hidup. Di samping itu, pembagian kerja
berdasarkan seks bukan hanya melemahkan perempuan secara politis dan
ekonomis, namun juga mendegradasikan perempuan secara seksual dan
kultural.[30]
Sekarang ini kaum feminis berpendirian bahwa pekerjaan domestik yang
dilakukan perempuan (istri) harus juga diperhitungkan sebagai pekerjaan
produktif secara ekonomi dan tidak dapat begitu saja dianggap sebagai
kewajiban domestik mereka.[31]
Pembagian peran perempuan yang bias jender - menurut para feminis - juga
masih terlihat di dalam sistem hukum nasional kita. Seperti
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan turut
mengukuhkan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dan peran baku (stereotype)
yaitu perempuan sebagai ibu rumah tangga wajib mengatur urusan rumah
tangga, sementara laki-laki sebagai kepala keluarga wajib melindungi
istri dan memberikan keperluan hidup rumah tangga.[32]
Secara konkrit, Asghar Ali Engineer mengisyaratkan kesetaraan laki-laki dan perempuan pada dua hal, pertama; dalam pengertiannya yang umum, ini berarti penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua;
orang harus mengakui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak
yang setara dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Keduanya harus
memiliki hak yang setara untuk mengadakan kontrak perkawinan atau
memutuskannya, keduanya harus memiliki hak untuk memiliki atau mengatur
harta miliknya tanpa campur tangan yang lain, keduanya harus bebas
memilih profesi atau cara hidup, dan keduanya harus setara dalam
tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan.[33]
Berbeda dengan Said Hawwa dalam bukunya Al Islam yang
diterjemahkan oleh Abdul Hayyi al Kattani mengatakan bahwa hubungan
antara laki-laki dan perempuan harus berlandaskan pada keselarasan
potensi yang dimiliki, sehingga tidak akan mengartikulasikan potensi
akhlaknya kecuali sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh
Allah.[34]
a. Sejarah struktur keluarga
Pandangan miring tentang institusi keluarga tidak lepas dari gerakan feminism,[35]
yaitu bentuk perjuangan kaum perempuan Barat dalam menuntut
kebebasannya. Karena pada abad Pertengahan, kaum perempuan tidak
memiliki tempat ditengah masyarakat, maka mereka diabaikan, tidak
memiliki sesuatu pun, dan tidak boleh mengurus apapun. Sejarah Barat
dianggap tidak memihak kaum perempuan. Dalam masyarakat feodalis (di
Eropa hingga abad ke-18), dominasi mitologi filsafat dan teologi gereja
sarat dengan pelecehan feminitas; wanita diposisikan sebagai sesuatu
yang rendah, yaitu dianggap sebagai sumber godaan dan kejahatan.[36]
Kemudian
muncul renaisance, yang berintikan semangat pemberontakan terhadap
dominasi gereja, diikuti dengan Revolusi Perancis dan Revolusi Industri.
Inilah puncak reaksi masyarakat terhadap dominasi kaum feodal yang
cenderung korup dan menindas rakyat, di bawah legitimasi gereja. Adanya
revolusi ini juga menjadi awal proses liberalisasi dan demokratisasi
kehidupan di Barat. Perubahan ini tidak hanya berpengaruh pada
berubahnya sistem feodal menjadi sistem kapitalis sekular, tetapi ikut
menginspirasikan kaum perempuan untuk bangkit memperjuangkan hak-haknya.
Pada
abad ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan feminisme di Amerika Serikat
masih terfokus pada tuntutan untuk mendapatkan hak memilih (the right to vote),
karena saat itu, wanita dianggap warga negara kelas dua yang disamakan
dengan anak dibawah umur, dengan demikian para wanita tidak
diperbolehkan memberikan hak suaranya dalam pemilu. Reaksi protes atas
pelarangan wanita untuk berbicara di muka umum, ditandai dengan
berkumpulnya sejumlah wanita di Seneca Falls, New York, pada tahun 1948,
mereka menuntut hak-hak mereka yang sebelumnya belum pernah didapatkan.
Beberapa tuntutan yang diajukan adalah: mengubah UU Perkawinan,[37]
yang memuat bahwa wanita dan hartanya menjadi kekuasaan suami, termasuk
anak bila mereka bercerai; memberi jalan untuk meningkatkan pendidikan
wanita; menuntut wanita untuk bekerja; dan memberikan hak penuh untuk
berpolitik.[38]
Bahkan kemudian mereka berusaha untuk mendapatkan hak aborsi, kesamaan
upah, dan perlindungan melawan diskriminasi seks dan pelecehan seksual.[39]
Kondisi
ini dipermudah dengan seruan kaum kapitalis sebagai golongan pemilik
kapital yang mendorong kaum perempuan bekerja di luar rumah. Akhirnya,
mereka bersaing dengan laki-laki dan berusaha merebut posisi kaum
laki-laki untuk memperoleh kebebasan mutlak agar terlepas dari segala
macam ikatan dan nilai serta tradisi. Kaum perempuan mulai menuntut
persamaan secara mutlak dengan kaum laki-laki termasuk dalam urusan
kebebasan hubungan seksual tanpa perkawinan.
Oleh
karena itu, para feminis menuntut segala bentuk diskriminasi yang
terjadi dalam rumah tangga, hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 16
Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(CEDAW) No. 21 (Sidang ke-13, tahun 1994) tentang kesetaraan dan
keadilan dalam perkawinan dan hubungan keluarga:
Negara-negara
peserta wajib melakukan langkah-langkah yang tepat untuk menghapus
diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan
dengan perkawinan dan hubungan keluarga atas dasar persamaan antara
laki-laki dan perempuan, dan khususnya akan menjamin:
Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan; hak yang sama untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki
jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya;
hak dan tanggungjawab yang sama selama perkawinan dan pada pemutusan
perkawinan; hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orangtua, terlepas
dari status perkawinan mereka, dalam urusan-urusan yang berhubugnan
dengan anak-anak mereka, dalam semua kasus kepentingan anak-anak lah
yang diutamakan.[40]
Kondisi
semacam ini - menurut para feminis - telah menggugah kesadaran para
perempuan untuk kemudian mengambil hak-hak kemanusiaan yang selama ini
dianggap telah dirampas oleh laki-laki. Perjuangan dalam meraih
kesetaraan gender juga kemudian melahirkan gerakan feminism, yang
berusaha mengkritisi kekuatan-kekuatan simbolis dan ideologis suatu
budaya atau bahkan membongkar sistem sosial, seperti sistem kelas dan
patriarki yang selama ini dianggap telah memperlakukan perempuan secara
tidak adil.[41]
Upaya untuk mengejar ketertinggalan dan mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender (KKG) adalah dengan meningkatkan kualitas hidup dan
memberdayakan perempuan sehingga mampu mandiri dan tidak bergantung
dengan laki-laki.[42]
b. Kritik terhadap keluarga
Sebagaimana
telah diutarakan pada pembahasan sebelumnya, bahwa institusi keluarga
yang di inginkan oleh para feminis adalah sama rata, dimana antara
suami-istri mendapat hak dan kesempatan yang sama dalam segala hal. Para
feminis hendak mendekonstruksi sistem institusi keluarga yang bersifat
vertikal - karena ini dianggap patriarki - menjadi satu bentuk institusi
keluarga yang sifatnya horizontal. Dengan demikian antara suami dan
istri keduanya memiliki peluang dan hak yang sama dalam
segala hal. Menurut Fatima Mernissi, jika hak-hak wanita merupakan
masalah bagi sebagian kaum laki-laki muslim modern, hal itu bukanlah
karena al-Qur’an ataupun Nabi, bukan pula karena tradisi Islam,
melainkan semata-mata karena hak-hak tersebut bertentangan dengan
kepentingan kaum elit laki-laki.[43]
Dari
konsep keluarga yang diinginkan oleh para feminis di atas, kemudian
melahirkan berbagai pandangan tentang institusi keluarga. Bagi feminis
liberal, mereka masih menganggap normal, bahkan alami, bagi manusia
untuk membentuk keluarga yang terdiri dari pasangan dewasa (laki-laki
dan perempuan) dengan memiliki anak, baik secara biologis maupun dengan
cara adopsi. Akan tetapi, mereka beranggapan bahwa manusia perlu
membangun keluarga hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan mereka
sendiri. Di samping itu, mereka juga menganggap keluarga termasuk bentuk
ketidakadilan dalam pembagian kerja berdasarkan seks[44]
yang dapat merugikan perempuan. Mereka berkeyakinan bahwa laki-laki
dapat diyakinkan untuk memikul beban lebih banyak dalam merawat anak dan
kerja domestik dalam satu pembagian peran di dalam perkawinan, sehingga
perempuan dapat menaikkan posisi mereka dalam keluarga dan masyarakat
melalui kombinasi inisiatif dan prestasi individual (misalnya,
pendidikan tinggi), diskusi rasional dengan laki-laki (suami) yang dapat
dikonsepsikan sebagai upaya memperbaiki peran jender mereka, cara
pengambilan keputusan sehubungan dengan pengasuhan anak, yang akan
memungkinkan bagi perempuan untuk mengejar karir, dan mempertahankan
hukum yang memberikan hak kepada aborsi legal dan melindungi perempuan
dari diskriminasi seks.[45] Sarah Grimke mengatakan bahwa wanita menikah terpenjara dalam sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran (suami).[46] Oleh karena itu, ada sebagian feminis liberal yang kemudian memilih untuk melajang[47] sebagai satu alternatif gaya hidup yang sah.
Menurut John Struart Mill[48] sebagaimana dikutip oleh Ratna Megawangi dalam bukunya Membiarkan Berbeda,
untuk dapat mencapai “kebahagiaan” tertinggi, seorang wanita hendaknya
menekan dan menghilangkan segala aspek yang ada kaitannya dengan
pekerjaan domestik. Maka dari itu, untuk mencapai kesetaraan hak antara
laki-laki dan perempuan, perlu adanya perubahan segala undang-undang dan
hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga yang
patriarki.[49]
Setidaknya ada tiga aspek yang ingin dihindari dari hukum perkawinan
yang ada, yaitu anggapan bahwa suami sebagai kepala keluarga, anggapan
bahwa suami bertanggung jawab atas nafkah istri dan anak-anak, dan
anggapan bahwa istri bertanggung jawab atas pengasuhan dan pekerjaan
rumah tangga.[50]
Lain halnya dengan feminism radikal, mereka cenderung membenci laki-laki. Manifesto feminism radikal yang diterbitkan dalam Notes from the Second Sex (1970)
mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk
menindas perempuan, sehingga tugas utama mereka adalah menolak institusi
keluarga. Keluarga dianggap sebagai institusi yang melegitimasi
dominasi laki-laki sehingga perempuan ditindas,[51]
hal ini disebabkan karena citra seksis perempuan yang diobjektifkan
sehingga mereka tertindas. Mereka menyalahkan dilema perempuan dalam
patriarki, yang mereka yakini berasal dari keluarga dan cara di mana
perempuan terjebak dalam peran tanggung jawab dan kewajiban mereka. [52]
Di
antara kelompok feminis yang paling ekstrim dalam memandang institusi
keluarga adalah dari golongan feminis lesbian, mereka beranggapan bahwa
hubungan heteroseksual di dalam sebuah keluarga merupakan lembaga dan
ideology yang merupakan benteng utama bagi kekuatan laki-laki.[53]
Sepanjang perempuan meneruskan hubungannya dengan laki-laki, maka akan
sulit bahkan tidak mungkin untuk berjuang melawan laki-laki. Jika
perempuan menginginkan persamaan dengan laki-laki, maka ia harus
memisahkan diri dari kehidupan laki-laki, atau paling tidak sedikit
pemisahan perasaan cinta terhadap laki-laki, dengan jalan mengembangkan
kesanggupan untuk berdiri sendiri, termasuk dalam kepuasan seks. Maka
dari itu, Elsa Gidlow (1977) menawarkan sebuah teori bahwa menjadi
lesbian adalah terbebas dari dominasi laki-laki. Sedangkan Martha
Shelley (1970) mengatakan bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model
sebagai perempuan mandiri.[54]
di
Indonesia, gerakan pembebasan perempuan yang tergabung dalam tim khusus
pengarusutamaan gender telah menawarkan sebuah gagasan baru tentang
konsep keluarga dengan dalih standar kesetaraan kaum perempuan di mata
hukum. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menawarkan rumusan baru fikh Islam,
di antaranya terdapat pasal baru yaitu: asas perkawinan adalah monogami
(pasal 3 ayat 1), perempuan bisa menjadi saksi sebagaimana laki-laki
(pasal 11), calon istri bisa memberikan mahar (pasal 16), perkawinan
beda agama diperbolehkan (pasal 54), bagian warisan untuk anak laki-laki
dan anak perempuan adalah sama (pasal 8 ayat 3), dan anak di luar nikah
(zina) yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapat hak
waris dari ayahnya (pasal 16 ayat 2).[55]
Munculnya
pemikiran-pemikiran seperti telah disebutkan di atas seolah-olah
membuktikan bahwa isu-isu gender dan feminism akan terus muncul silih
berganti, baik dalam wacana baru, diskursus, sudut pandang, dan
fenomena-fenomena lain yang intinya adalah memperjuangkan hak-hak
perempuan dalam bingkai feminisme.
Perkara
lain yang masih menjadi isu hangat di kalangan para feminis adalah
konsep kepemimpinan dalam institusi keluarga. Mereka menggugat
kepemimpinan seorang laki-laki (suami) terhadap perempuan (isteri) dalam
rumah tangga yang selama ini sudah mapan di kalangan kaum muslimin.
Mereka beranggapan bahwa penempatan suami sebagai kepala rumah tangga
tidak sesuai dan bertentangan dengan ide feminism yang menginginkan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Rumah tangga yang
memposisikan suami sebagai pemimpin atas istri merupakan salah satu
bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan yang berimplikasi terhadap
kesewenang-wenangan laki-laki untuk berbuat semaunya terhadap perempuan.
Maka dari itu, mereka menghendaki status istri setara dengan status
suami.[56]
Sementara
itu, perempuan muslim terjebak dalam konflik antara kekaguman sejati
dan ketaatan terhadap Islam dan kecemasan mereka akan penolakan keras
Islam terhadap status mereka sebagai makhluk hidup utuh yang sama dengan
pria.[57]
Islam dipandang sebagai agen perubahan masyarakat Arab ketika itu,
untuk bergerak ke arah patriarki, hal ini karena dalam al-Qur`an
menegaskan dan mensahkan struktur patriarchal melalui sekumpulan
ketentuan yang menempatkan pria pada kedudukan kepala keluarga dan
pemimpin masyarakat.[58]
Menurut
Asghar Ali Engineer, keunggulan laki-laki terhadap perempuan bukanlah
keunggulan atas jenis kelamin, melainkan keunggulan fungsional, karena
laki-laki (suami) mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk
perempuan (istri). Fungsi sosial yang diemban oleh laki-laki itu sama
dengan fungsi sosial yang diemban oleh perempuan, yaitu melaksanakan
tugas-tugas domestik rumah tangga. Yang menjadi problem adalah mengapa
al-Qur’an menyatakan adanya keunggulan laki-laki atas perempuan karena
nafkah yang mereka berikan? Menurutnya ada dua hal yang menyebabkannya:
karena kesadaran sosial perempuan pada masa itu sangat rendah dan
pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan, dan karena
laki-laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul disebabkan kekuasaan
dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk
kepentingan istri.[59]
Di
pihak lain, Amina Wadud Muhsin secara eksplisit mengakui kepemimpinan
laki-laki atas perempuan. Akan tetapi harus memenuhi dua syarat, yaitu:
jika laki-laki sanggup membuktikan kelebihannya dan kedua jika laki-laki
mendukung perempuan dengan menggunakan harta bendanya. Kelebihan yang
dimaksud adalah karena laki-laki mendapat harta warisan dua kali lipat
dibanding perempuan, dan karena itu berkewajiban memberi nafkah kepada
perempuan. Jadi, menurutnya terdapat hubungan timbal balik antara hak
istimewa yang diterima laki-laki dengan tanggung jawab yang dipikulnya.
Jadi, mana kala kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka laki-laki
tidak lagi menjadi pemimpin bagi perempuan.[60]
c. Dampak sosial
Kondisi institusi keluarga di Barat sungguh memprihatinkan.[61] Banyak di antara mereka yang menikah bukan untuk membina suatu keluarga, tetapi hanya
sekedar untuk meraih kesenangan dalam kehidupan perkawinan dari pada
berpikir tentang tanggung jawab. Di Barat, keluarga justru berkembang
menjadi sebuah perusahaan ekonomi biasa dan perhatian keluarga yang
utama adalah kelangsungan hidup dan penyaluran hak-hak properti, bukan
penjagaan atau kebersamaan.[62]
Fokus perhatian orang tua tidak lagi tertuju ke rumah, walaupun dengan
berbagai macam alasan yang berbeda. Elainer Leader (salah seorang
pendiri hotline krisis remaja di Medical Centre Cedars-Sinai)
mengatakan: “Semua orang seperti sedang terburu-buru sehingga seperti
tidak mempunyai waktu untuk mendengar suara hati anak-anak kita.” (All people like being in a hurry so as not have time to hear the inner voice of our children).
Jika
dahulu, seorang Ibu senantiasa berada di rumah untuk tetap dapat
memperhatikan anak-anak, tapi sekarang anak-anak tidak lagi ada yang
memberinya perhatian yang cukup, karena kedua orang tuanya bekerja di
luar rumah[63] (dengan dalih kesetaraan). Dalam
budaya Barat, orang tua dan anak-anak telah menjadi beban satu sama
lain. Hubungan antara mereka telah rusak, sehingga memiliki ikatan dan
hak kekerabatan. anak-anak dibesarkan di tempat penitipan anak…
( in western culture parents and children have become burdens on one
another. the relation between them has been broken down and so have the
bonds and rights of kinship. the children are brought up in nurseries…)[64] dalam
budaya barat institusi keluarga telah hancur, mengakibatkan pembekuan
perasaan kasih sayang, cinta, dan simpati. Di sana, setiap orang merasa
bahwa tidak ada seorang pun yang menjadi miliknya, dan bahwa ia adalah
seorang diri di sebuah dunia asing. (in western culture the
institution of the family has been disintegrated, resulting in the
freezing of feelings of affections, love and sympathy. there, every
person feels that nobody is his hers, and that he is alone in an alien
world).[65]
Institusi
keluarga bukan lagi tempat yang di pandang nyaman, akan tetapi ia
merupakan sebuah penjara bagi kaum perempuan. Kekerasan yang terjadi
dalam Rumah Tangga sangat serius, problem sosial yang tersebar luas di
Amerika: meratanya fakta-fakta kekerasan Rumah Tangga (domestic violence is a serious, widespread social problem in Amerika: the facts prevalence of domestic violence). Sebuah survey yang dilakukan oleh A. Browne tahun 1998 dalam “Responding to the Needs of Low Income and Homeles Women Who are Survivors of Family Violence” dan di kutip oleh Elisabeth Diana Dewi dalam Al-Insan [Jurnal Kajian Islam] No. 3, Vol. 2, 2006
mengungkapkan bahwa 92% wanita yang meninggalkan rumah disebabkan
karena mengalami penyiksaan fisik dan seksual yang hebat dalam kehidupan
mereka.[66] Menurut The National Violence Against Women Survey,
dalam rentang waktu November 1995 hingga Mei 1996, hampir 25% wanita
Amerika dilaporkan telah diperkosa atau mengalami penyiksaan fisik oleh
suami atau mantan suaminya, teman kumpul kebo (cohabiting partner) maupun pacarnya.[67]
Feminism
sering dituding sebagai gerakan yang menghancurkan institusi keluarga,
karena ide-ide yang mereka tawarkan membuat kaum perempuan menjadi
egois, tidak peduli dengan perkembangan anak-anak, gerakan anti masa
depan, dan yang lebih ekstrim adalah mendorong tingkat aborsi bagi ibu
hamil.[68]
Kalau
kita perhatikan, keterlibatan perempuan dalam menangani pekerjaan
laki-laki yang bebas tanpa batas dan kode etik, dapat menimbulkan
ketidak harmonisan antara suami-istri yang selama ini telah terbina[69],
disamping itu juga dapat menimbulkan malapetaka. Hal ini dapat ditinjau
dari beberapa aspek; pertama adalah berbahaya bagi perempuan itu
sendiri, hal ini dikarenakan perempuan telah kehilangan keperempuanan
dan karakteristik/jatidirinya. Ia juga tidak bisa menikmati kehidupan
rumah tangga beserta anak-anak; Disamping itu juga berbahaya bagi suami,
dengan istri berkarir di luar rumah, suami tidak lagi mendapatkan
kehidupan yang harmonis dan bahagia dari istri. Suami akan merasa
kehilangan kepemimpinannya atas dirinya, karena istri merasa bahwa
dengan karirnya itu ia tidak lagi membutuhkan suami, bahkan manakala
gaji seorang istri lebih banyak dari suaminya, ia akan merasa berhak
untuk menguasai suami; ketiga adalah bahaya bagi anak-anak, karena
mereka tidak lagi merasakan kehangatan kasih sayang ibu; berikutnya
adalah berbahaya bagi akhlak, hal ini terjadi manakala perempuan telah
kehilangan rasa malu sebagai perempuan; dan kelima adalah bahaya bagi
pekerjaan itu sendiri, karena jika perempuan itu bekerja, maka ia akan
sering mengajukan cuti untuk tidak bekerja, hal ini disebabkan karena
perempuan memiliki banyak halangan yang bersifat alami, dan tidak dapat
dihindari. Kondisi semacam ini akan mengganggu disiplin bekerja dan
menghambat produktifitas yang baik.[70]
Ketika
perempuan mulai merangkak masuk untuk berperan di ranah publik,
ternyata peran keibuan tidak dapat dilepaskan dan digantikan begitu
saja, kenyataan menunjukkan bahwa pada saat perempuan bergerak di sektor
publik, maka tugas perempuan justru semakin bertambah berat, hal ini
dikarenakan tugas-tugas domestik tidak dapat digantikan oleh orang lain.[71]
Di satu sisi dia menjadi tulang punggung keluarga yang dibebani dengan
pencarian nafkah keluarga, bukan sekedar partisipasi membantu suami.[72]
Pada
akhirnya konsep struktrur keluarga yang ditawarkan oleh para feminis
justru akan banyak menimbulkan dampak negatif yang berkepanjangan. Di
antara dampak sosial yang timbul adalah, pertama; meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga.[73] Kekerasan
yang terjadi bisa berupa penganiayaan fisik, psikis maupun seks yang
bertujuan menunjukkan kekuatan dan mengendalikan orang lain. Selain itu
juga terjadi peningkata angka perceraian.[74]
Hal ini dikarenakan adanya perasaan asing di antara pasangan
suami-istri, di samping itu, mereka juga kehilangan keintiman seksual (sexual attraction) antara pasangan suami istri tersebut. Ketiga;
anak-anak kehilangan tempat berlindung. Hal ini menyebabkan
perkembangan jiwa mereka tidak sehat karena hilangnya kepedulian dan
kasih sayang dalam lingkungan keluarga.[75]
Islam
menghendaki pola interaksi antara laki-laki dan perempuan tetap pada
koridor dan batasan yang telah ditetapkan syariat, sehingga tidak
terjadi ketidakadilan di antara mereka. Maksudnya, seluruh tindakan,
perbuatan, sikap, dan perilaku didasarkan atas kodrat dan ketentuannya
masing-masing.[76]
Menurut Salim al-Bahnasawi, sejatinya emansipasi harus sesuai dengan
garis syariat. Jelasnya, “Silakan wanita bekerja, berpolitik, menggapai
pendidikan setinggi mungkin, namun tugas rumah tangga dan keluarga harus
diprioritaskan.”[77]
C. Institusi Keluarga Dalam Islam
Keluarga
merupakan kumpulan dari individu-individu. Dalam pendekatan Islam,
keluarga adalah basis utama yang menjadi pondasi bangunan komunitas dan
masyarakat Islam. Ia juga merupakan penggabungan fitrah antara kedua
jenis kelamin[78].
Bahkan keluarga merupakan sistem alamiah dan berbasis fitrah yang
bersumber dari pangkal pembentukan manusia, juga pangkal pembentukan
segala sesuatu dalam semesta kosmos, dan berjalan menurut cara Islam
dalam mentautkan sistem yang dibangunnya untuk manusia dan sistem yang
dibangun Allah untuk seluruh semesta. Keluarga merupakan sistem rabbani bagi
manusia yang mencakup segala karakteristik dasar fitrah manusia,
kebutuhan, dan unsur-unsurnya. Lebih dari itu, ia juga merupakan tempat
pengasuhan alami yang melindungi anak yang baru tumbuh dan merawatnya,
serta mengembangkan fisik, akal, dan spiritualitasnya. Hal ini
dikarenakan dalam naungan keluarga, perasaan cinta, empati, dan
solidaritas berpadu dan menyatu.[79]
Keluarga adalah organisasi yang memiliki kekhususan-kekhususan, ia
ditegakkan di atas dasar cinta kasih, kemudian hubungan internalnya
terjalin dengan suatu cara yang tidak terdapat dalam organisasi manapun.[80]
Keluarga atau rumah tangga adalah merupakan kelompok sosial yang kecil dari masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.[81] Jika setiap rumah tangga muslim bisa menjadi contoh rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, maka masyarakat yang ada di sekitarnya juga akan menjadi masyarakat yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Masyarakat tenteram, penuh cinta dan kasih sayang di antara satu dengan yang lain.[82]
Berangkat
dari pentingnya keluarga dalam Islam, Islam pun membangun pondasi rumah
tangga muslim, mengokohkannya, lalu menunjukkan cara memilih yang
terbaik, juga menjelaskan pendekatan yang terbaik dalam berhubungan,
sambil merumuskan hak dan kewajiban. Islam mewajibkan kedua belah pihak
(suami-istri) untuk merawat dan menjaga buah-buah perkawinan ini hingga
matang dan meranum tanpa disia-siakan maupun ditelantarkan. Islam juga
mengangkat problem solving beragam masalah yang acap kali merintangi kehidupan rumah tangga dengan terapi yang sangat detail.[83]
Tidak
ada sistem yang mengurusi teknis mengenai masalah keluarga baik
perawatan maupun perhatiannya sebagaimana Islam. Hal ini dikarenakan ada
hubungan yang erat antara keluarga dengan masyarakat luas. Jika
keluarga baik, masyarakat secara keseluruhan akan ikut baik, namun jika
keluarga rusak, masyarakat juga ikut rusak. Bahkan keluarga adalah
miniatur umat yang menjadi sekolah pertama bagi manusia dalam
mempelajari etika sosial, sehingga tidak ada umat tanpa keluarga.[84]
Konsep keluarga ideal yang ada dalam al-Qur’an sepenuhnya mengacu pada (QS al-Rûm [30]: 21), yaitu keluarga yang sakinah (tenteram), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Sebuah keluarga bisa dikatakan sebagai keluarga yang qur’ani mana kala keluarga tersebut mampu mendirikan dasar rumah tangga di atas ketiga pondasi tersebut. Keluarga ideal yang qur’ani adalah
keluarga yang idak hanya berguna bagi keluarga itu sendiri, tapi juga
harus berguna bagi kehidupan di lingkungan sosialnya. Dengan kata lain,
keluarga qur’ani adalah keluarga yang shaleh individual, hal
ini ditandai dengan ketakwaan personal anggota keluarga. Disamping itu
juga shaleh sosial yang dilambangkan dengan kepeduliannya ber-amar ma’ruf nahi munkar, dan terakhir adalah shaleh vertikal, yakni ketaatan dan kepatuhannya terhadap Allah dan Rasul-Nya.[85]
a. Unrus-unsur Pernikahan Dalam Islam
Perkawinan adalah fithrah kemanusiaan,[86] maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah
ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan
mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.[87]
Firman Allah Ta'ala. "Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama (Allah) ; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui".[88]
Dalam kehidupan rumah tangga, terdapat tiga unsur yang terkandung dalam al-Qur’an,[89] dan perlu diperhatikan baik oleh suami maupun istri. Ketiga unsur itu adalah, pertama; ketenteraman jiwa suami istri. Hal ini juga berarti bertujuan untuk saling menjaga antara suami-istri dalam rumah tangga. Kedua;
rasa cinta yang lahir melalui pergaulan dan tolong menolong. Unsur ini
menjadi milik bersama pasangan suami-istri dan keluarga mereka. Ketiga; kasih sayang yang dilengkapi dengan putra-putri dalam keluarga.[90]
b. Tujuan Perkawinan dalam Islam
Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam perkawinan[91], diantaranya adalah: pertama;
untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi, dalam rumah tangga
dan dalam konteks hubungan suami-istri, seseorang baik pria maupun
wanita, bisa menemukan katalisator alamiah bagi hubungan seksualnya,
dengan cara yang mampu melindunginya dari kehancuran tubuh dan dera
penyesalan. Islam telah memberikan keleluasaan bagi manusia untuk
menjalankan aktivitas seksual mereka dalam batas-batas yang legal dan
tidak mengebirinya.[92]
Di samping itu, pernikahan juga bertujuan untuk menenangkan jiwa,
karena di tengah kelapangan iklim keluarga, masing-masing pasangan
suami-istri bisa menemukan rasa kasih, cinta, sayang, dan simpati yang
tidak akan mereka rasakan di tempat lain. Ketenangan jiwa dan kasih
sayang yang dirasakan manusia terhadap pasangannya merupakan salah satu
tuntutan psikologis yang tidak pernah lepas dari setiap manusia, dan
tidak akan ditemukan selain dalam institusi keluarga.[93]
Ketiga;
untuk memenuhi tuntutan keturunan, dibawah naungan keluarga dan di
tengah hamparan kesakralannya seseorang bisa mewujudkan salah satu
tuntutan mendesak dalam kehidupannya, yaitu memiliki keturunan dan
generasi penerus. Anak adalah anugerah Allah yang diberikan kepada
manusia untuk memenuhi keinginan dan seruannya.[94]
Setelah pasangan suami-istri memiliki anak keturunan, maka tujuan dari
perkawinan selanjutnya adalah mendidik anak, karena ia membutuhkan
pengasuhan dalam jangka waktu yang lama. Keluarga dalam hal ini adalah
satu-satunya lingkungan yang mampu mendidik anak-anak menjadi seorang
muslim yang saleh. Karena ia merupakan lahan istimewa untuk menanamkan
perasaan cinta kepada Allah dan Rasul. Kelima; mewujudkan
kohesi sosial. Salah satu tujuan dari Islam adalah membangun masyarakat
yang kuat dan rekat, maka dari itu, keluarga memiliki peran besar dalam
mewujudkan tujuan tersebut karena secara teknis keluarga membentuk dan
mengembangkan hubungan sosial baru melalui garis nasab dan pernikahan.[95] Keenam;
untuk membentengi akhlak yang luhur. Sasaran utama dari
disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah
menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam
memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif
untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi
masyarakat dari kekacauan.[96]
c. Hak dan Kewajiban Suami-Istri dalam Rumah Tangga Menurut Islam
Dalam
ikatan perkawinan, suami dan istri diikat dengan komitmen untuk saling
memenuhi berbagai hak dan kewajiban yang telah ditetapkan untuk mereka.
Maka setiap hak yang didapatkan harus juga diimbangi dengan kewajiban
yang harus dipenuhi. Landasan hak dan kewajiban antara suami istri
terangkum dalam firman Allah swt.: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.”[97]
Dalam Islam, istri memiliki berbagai hak (materiil dan non-materiil) yang harus dipenuhi suami. Di antara hak-hak istri adalah: Pertama; Hak mas kawin. Dalam perkawinan, mas kawin menempati posisi sebuah pemberian dan hadiah[98]
yang harus diberikan oleh suami kepada istri untuk menunjukkan
kesakralan dan kesucian ikatan perkawinan, juga sebagai tanda
penghormatan suami terhadap istri.[99] Berikutnya adalah Hak nafkah. Seorang suami memiliki kewajiban memberikan nafkah secara penuh kepada istrinya.[100] Kewajiban membelanjai keperluan hidup istri dimulai semenjak diadakannya aqad perkawinan,[101] tentu kewajiban suami dalam memberi nafkah kepada istri sesuai dengan kemampuannya.[102] Ketiga; Pergaulan yang baik. Kewajiban belaku baik terhadap istri meliputi fisik maupun perilaku.[103]
Dalam Islam, suami dituntut untuk memperlakukan dan mempergauli
istrinya dengan baik dan melarang pergaulan buruk yang menyusahkan isri.[104] Keempat; Memberikan istri kebebasan penuh untuk mengelola harta miliknya.[105]
Selain
mengatur hak-hak bagi istri, Islam juga telah mengatur hak-hak yang
harus dipenuhi oleh istri atas suaminya. Di antara hak-hak suami adalah:
Pertama; Ketaatan istri dalam berbagai perkara yang berkaitan
dengan kehidupan keluarga dan hubungan suami istri. Akan tetapi tentu
ketaatan istri terhadap suami hanya terbatas pada masalah kebaikan,
kemaslahatan, dan perkara yang berada dalam batasan agama. Kedua; Berlaku amanah. Yakni menjaga kekayaan suaminya, dan menjaga dirinya apabila suaminya tidak ada.[106]
Di samping itu, istri juga harus memperlakukan suami dengan baik dan
tidak melakukan perbuatan aniaya kepada suami, seperti; ucapan yang
pedas dan tidak etis, serta berbagai tindakan lain yang menampakkan
ketidakhormatan istri terhadap suami. Keempa; Hak memberikan pelajaran (menta’dib) kepada istri, [107] terutama kepada istri yang dikhawatirkan berbuat nusyuz.[108]
D. Kesimpulan
Dari
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa institusi keluarga bagi para
feminis tidak lebih dari sekedar tempat untuk melepas lelah dari
kesibukan yang dilakukan di luar rumah. Karena tidak ada lagi komunikasi
yang harmonis antara anggota keluarga. Hal ini dapat dilihat dari
fakta-fakta yang ada, misalnya para istri yang sudah tidak lagi berkenan
melakukan pekerjaan domestik, sehingga anak-anak tidak lagi mendapat
tempat untuk berlindung. Keluarga bukan lagi tempat pendidikan pertama
kali yang di alami oleh anak-anak, karena kesibukan orang tua mereka.
Situasi
tersebut sangat berbeda dengan keluarga Islam yang masih terjalin
komunikasi yang harmonis antara suami dan istri. Keluarga masih
dipandang sebagai tempat pendidikan bagi anak-anak dibawah bimbingan
Ibu. Hal ini karena konsep keluarga dalam Islam masih menjadikan
al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Sebagai pedoman dan sumber inspirasi
utama. Tidak ada manhaj (konsep) hidup yang lebih sempurna selain yang telah digariskan oleh al-Qur’an dan Sunnah.
[1] Para
feminis membedakan antara sex dan gender, dalam bahasa Inggris, sex
diartikan sebagai jenis kelamin yang menunjukkan adanya pensifatan dan
pembagian dua jenis kelamin manusia secara biologis, yaitu laki-laki dan
perempuan. Para feminis sepakat bahwa pada dataran ini, ada garis yang
bersifat nature, di mana laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik
tertentu yang melekat pada masing-masingnya secara permanen, kodrati,
dan tidak bisa dipertukarkan satu dengan lainnya. Sedang gender
sebagaimana disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep cultural yang berupaya membuat perbedaan (destinction)
dalam hal peran, posisi, perilaku, mentalitas dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat; Lihat: Siti
Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta, Gema Insani, 2004, h. 19-20; lihat juga Achie Sudiarti Luhulima,
Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita, (Jakarta; Yayasan Obor, 2007), h. 3; lihat Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta; Fajar Pustaka, 2007), h. 177-180; lihat M. Nashirudin, Poros-Poros Ilahiyah Perempuan Dalam Lipatan Pemikiran Muslim, (Surabaya; Jaring Pena, 2009), h. 13-14; lihat Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta; LKiS, 2009), h. xi
[2] Di
Indonesia, upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender
dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam UU no.
25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional dan dipertegas dalam
Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG)
dalam pembangunan nasional. Lihat: Atiek Zahrulianingdyah,
“Pemberdayaan Komunitas Perempuan Marginal di Lingkungan Kampus: Tawaran
Sebagai Suatu Model”, dalam Women In Sector Public [Perempuan Di Sektor Publik], (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), Editor: Siti Hariti Sastriyani, h. 107
[3] Susilaningsih, Kesetaraan
GENDER di Perguruan Tinggi Islam “Baseline and Institutional Analysis
for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga”, (Yogyakarta; UIN Sunan Kalijaga&McGill, 2004), h. 1
[4] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta; PARAMADINA, Cet. Ke-2, 2001), h. 35
[5] Istilah Barat
tidak di lihat secara demografi melainkan ia adalah merupakan sebuah
peradaban, dimana yang menjadi sokoguru peradabannya adalah
Yunani-Romawi dan Judeo-Kristiani (baca: Amatullah Shafiyyah, Kiprah Politik Muslimah Konsep dan Implementasinya, h.7-11).
Peradaban Barat merupakan campuran dari peradaban Yunani kuno yang di
kawinkan dengan peradaban Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen
kebudayaan bangsa Eropah terutamanya Jerman, Inggeris, dan Perancis.
Prinsip-prinsip asas dalam Filsafat, seni, pendidikan dan pengetahuan
diambil dari Yunani, prinsip-prinsip mengenai hukum dan ketatanegaraan
diambil dari Romawi. Sementara agama Kristen yang berasal dari Asia
Barat disesuaikan dengan budaya Barat.
[6] Hamid Fahmy Zarkasyi, Pengantar Direktur CIOS dalam Bangunan Wacana Gender, (Ponorogo; Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007) h. vii-viii
[7] Dalam
tulisan ini penulis menggunakan kata wanita dan perempuan secara
bergantian, akan tetapi makna dari kedua kata itu adalah sama.
[8] Perkembangan
wacana tersebut ditandai dengan melimpahnya publikasi yang mengangkat
wacana gender dan Islam, sebagai suatu “kerangka ideology” pengarus
utamaan gender berspektif Islam, melainkan juga fakta bahwa ia sudah
merambah luas ke dalam suatu mainstream gerakan yang kemudian mengundang orang dengan mudah menyebutnya sebagai gerakan feminism Islam. (Lihat: Jamhari, Citra Perempuan dalam Islam Pandangan ORMAS Keagamaan, Jakarta, Gramedia, 2003, h. 1)
[9] Jamhari, Citra Perempuan…, h. 1-4
[10] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, (Bandung; Mizan, 1999), h. 11
[11] Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, (Jakarta; Gema Insani, 2004), h. 35
[12] Bani Syarif Maula, Musawa (Jurnal Studi Gender dan Islam), Vol. 3, No. 1, Maret 2004, h. 28
[13] Ratna Megawangi, Membiarkan …, h. 53
[14] Bani Syarif, Musawa…, h. 42
[15] Bentuk
teknologi yang di inginkan adalah semisal alat kontrasepsi, dan bahkan
artificial devices atau alat-alat tiruan seperti tiruan plasenta dan
bayi tabung, sehingga perempuan/wanita tidak perlu lagi mengalami proses
kehamilan, lihat Sekar Megawangi dalam Membiarkan…, h. 179. Lihat juga Al-Insan-Jurnal Kajian Islam No. 3, Vol. 2, 2006, h. 12
[16] Ratna Megawangi, Membiarkan …, h. 178-179
[17] وَمِنْ
ءَايَتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِى ذَلِكَ
لأَيَتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. (QS Ar Rûm [30]: 21)
[18] عن
علقمة قال بينا أنا أمشي مع عبد الله رضي الله عنه فقال: كنا مع النبي صلى
الله عليه و سلم فقال ( من استطاع الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن
للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء )
Lihat Hadis Shohih Bukhori, Bab Puasa, Juz 1, No. 1806, h. 673
[19] A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender; Buku Kedua [Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan keluarga], (Magelang; IndonesiaTera, 2004), h. viii
[20] A. Nunuk P. Murniati, Getar…, h. xv-xvi
[21] Ben Agger, Teori Sosial KritisKritik, Penerapan, dan Implikasinya, (Yogyakarta; Kreasi Wacana, 2008), Cet. 8, h.200
[22] Ben Agger, Teori…, h. 201
[23] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. vii; lihat juga: Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2007), Cet. 2, h. 1
[24] Ratna Megawangi, Membiarkan…, h. 85
[25] Families
were very important ti Victorians. They were usually large, in 1870 the
average family had five or six children. The father was the head of the
household. He was often strict and was obeyed by all without question.
The children were taught to respect their father and always spoke
politely to him. The mother would often spend her time planning dinner
parties, visiting her dressmaker or calling on friends, she did not do
jobs like washing clothes or cooking and cleaning. (Keluarga dipandang sangat penting bagi Victorian.
Mereka biasanya hidup dalam jumlah keluarga besar, pada tahun 1870
rata-rata keluarga memiliki lima atau enam anak. Figur ayah adalah
sebagai kepala rumah tangga. Dia sangat disiplin dan dipatuhi oleh semua
anggota keluarga. Anak-anak selalu diajarkan untuk menghormati ayah
mereka dan selalu berbicara dengan sopan kepadanya. Sang ibu sering
menghabiskan waktunya untuk merencanakan sebuah pesta makan malam,
mengunjungi penjahitnya atau menelepon teman-temannya, dia tidak bekerja
seperti mencuci pakaian, memasak dan kebersihan). Para Feminis
menentang ide keluarga Victorian, yang tetap menjadi model kontemporer
keluarga inti, perempuan harus mengasuh laki-laki dan anak-anak sebagai
kompensasi atas upah keluarga (upah yang dibayarkan kepada suami oleh
majikan untuk menyokong bukan hanya dirinya sendiri namun juga istri dan
anak-anak mereka. Lihat; http://www.nettlesworth.durham.sch.uk/time/victorian/vfam.html, tgl 07-04-2010 pkl 05.45 p.m.; lihat juga: Ben Agger, Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, (Yogyakarta; Kreasi Wacana, 2008), Cet. 5, h. 208
[26] Parson
meletakkan suatu asal-muasal sistematis bagi teori sosial, dilandaskan
pada suatu interpretasi terhadap pemikiran Eropa abad ke-19 dan awal
abad ke-20. Ia menggunakan suatu pendekatan teori sosial yang khusus
dengan menggabungkan satu versi mapan fungsionalisme dan satu konsepsi
naturalistis dalam sosiologi. Ia mengakui adanya pluralitas dalam suatu
struktur institusi keluarga, hal ini menjadi satu-satunya pijakan utama (almunthalaq)
dari adanya struktur masyarakat yang berakhir dengan pluralitas dalam
fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah system.
Dalam suatu organisasi/lembaga pasti ada yang menjadi seorang pemimpin.
Perbedaan fungsi ini tidak untuk memenuhi kebutuhan individu yang
bersangkutan, tetapi untuk mencapai tujuan organisasi sebagai kesatuan.
Tentunya struktur dan fungsi ini tidak lepas dari pengaruh norma dan
nilai-nilai (common values) yang melandasi system masyarakat itu. Lihat; Ratna Megawangi dalam Membiarkan…, h. 57. Dalam meletakkan teorinya, Parson berpegang pada prinsip common values, baginya common values adalah
prinsip ataupun kaedah-kaedah yang diterima secara consensus
(kesepakatan secara bulat) yang digunakan sebagai pijakan dalam
melegitimasi segala tindak perbuatan (action). Menurut Parson,
keluarga diibaratkan sebuah hewan berdarah panas yang dapat memelihara
temperature tubuhnya agar tetap konstan walaupun kondisi lingkungan
berubah. Menurutnya keluarga selalu beradaptasi secara mulus menghadapi
perubahan lingkungan. Kondisi ini disebut “keseimbangan dinamis”. Lihat;
Antoni Giddens, Teori Strukturasi Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, (Yogyakarta, Pustaka, 2010), h. viii, lihat juga: http://hmmmesir.20m.com/02mengkritisi.htm, tgl 07-04-2010 pkl 10.00 p.m. lihat juga, Ratna Megawangi, Membiarkan…, h. 65-66
[27] Pembagian
seks secara alamiah berarti menempatkan laki-laki sebagai pencari
nafkah di luar rumah dan perempuan dengan senang hati melahirkan anak
dan melakukan pekerjaan domestik sebagai imbalan atas cinta.
[28] Ben Agger, Teori…, h. 353-356
[29] Neng Dara Affiah, Muslimah Feminis Penjelajahan Multi Identitas, (Jakarta; Nalar, 2009), h. 80
[30] Ben Agger, Teori…, h. 208-209
[31] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta; Bentang Budaya, 1994), h. 61
[32] Khofifah Indar Parawansa, Mengukir Paradigma Menembus Tradisi Pemikiran Tentang Keserasian Jender, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), h. 228
[33] Asghar Ali Engineer, Hak-hak…, h. 57
[34] Said Hawwa, Al Islam, terj. Abdul Hayyi al Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 382
[35] Perjuangan
kalangan Islam Liberal dalam mewujudkan hak-hak perempuan ini, sering
disebut dengan gerakan “Islam Feminis”. Secara garis besar [feminism
Islam adalah]…”Kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap
perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta
tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan
tersebut…[dengan mengambil teks-teks sakral sebagi dasar pijakannya].
Menurut definisi tersebut, dengan demikian seseorang tidak cukup hanya
mengenali adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, dominasi
laki-laki dan sistem patriarki, untuk bisa disebut sebagai feminis, ia
harus pula melakukan sesuatu untuk menentangnya. Dengan kata lain,
pemahaman harus disertai oleh tindakan untuk mengubah kondisi yang
merendahkan perempuan. Patriarkhi merupakan, salah satu masalah utama
yang dihadapi kalangan feminis Islam, dipandang sebagai akar
misoginis…Tujuan perjuangan feminis…adalah mencapai kesetaraan, harkat,
serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan
tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga… Tujuannya adalah
membangun suatu tatanan masyarakat yang adil, baik bagi perempuan maupun
bagi laki-laki, bebas dari penghisapan, bebas dari pengkotakan
kelas-kelas, kasta, maupun prasangka jenis kelamin… Yang dituntut oleh
kalangan feminis Muslim, adalah kesamaan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan sebagai warga Negara di wilayah publik, serta peran
komplementer di wilayah domestik (rumah tangga). Lihat: Siti Ruhaini
Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 51
[36] M. Nashirudin, Poros-Poros Ilahiyah Perempuan Dalam Lipatan Pemikiran Muslim, (Surabaya; Jaringpena, 2009), h. 14-17
[37] Di
Indonesia, kedudukan perempuan dalam Hukum Islam Indonesia dan
perkembangannya dikemukakan oleh Musdah Mulia. Ada tiga hal yang perlu
dicatat dalam upaya-upaya pembaruan hukum-hukum keluarga Islam. Pertama,
upaya pembaruan hukum keluarga selalu mendapat tantangan dari kelompok
Islam tradisional dan radikal yang selalu mempertahankan status quo. Kedua,
pembaruan hukum Islam di berbagai Negara Islam selalu berujung pada
kelahiran undang-undang baru yang materinya berbeda dengan ketentuan
hukum sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab fiqh klasik. Ketiga,
semangat pembaruan hukum keluarga didorong oleh motivasi untuk
membangun masyarakat sipil yang berkualitas dan beradab, sekaligus
memperbaiki status dan kedudukan perempuan serta melindungi anak-anak.
Lihat: Sulistyowati Irianto, Peremuan&Hukum Menuju Hukum Yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor, 2006), h. xiii-xiv
[38] http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/2023?var=1, Sabtu, 10 April 2010 pk. 9.23 AM
[39] Ben Agger, Teori…, h. 204
[40] Achie Sudiarti Luhulima, Bahan
Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, (Jakarta; Yayasan Obor, 2007), h. 285-286, lihat juga; Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta, Yayasan Obor, 2007), h. 62-69
[41] Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005), h. 23
[42] Atiek Zahrulianingdyah, “Pemberdayaan Komunitas Perempuan Marginal di Lingkungan Kampus: Tawaran Sebagai Suatu Model,” dalam Women In Public Sector [Perempuan di Sektor Publik], (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), Editor: Siti Hariti Sastriyani, h. 107
[43] Fatima Mernissi, Wanita Di Dalam Islam, diterjemahkan dari Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry, (Bandung: Pustaka, 1994), h. xxi
[44] Misalnya,
perempuan melakukan lebih banyak pekerjaan pengasuhan anak, kerja
rumahan dan kerja yang melibatkan emosi. Solusi yang mereka tawarkan
adalah melalui negosiasi perempuan dengan suami mereka, yang seharusnya
didorong untuk ambil bagian dalam pengasuhan anak, kerja domestik, dan
pengembangan emosi. Lihat: Ben Agger, Teori…, h. 216
[45] Ben Agger, Teori…, h. 215-217
[46] Ratna Megawangi, Membiarkan…, h. 119
[47] Untuk
mendapatkan anak mereka memanfaatkan sebuah bank sperma yang
menyediakan sperma-sperma unggulan. Dengan adanya bank sperma tersebut,
para wanita menolak untuk menikah, sehingga dapat dengan bebas
mendapatkan bantuan dari bank sperma tersebut. Lihat: Al-Insan, No. 3,
Vol. 2, 2006, h. 12
[48] Ia adalah salah satu pemikir feminis teoritis awal. Karyanya adalah The Subjection of Women
(1869). Dalam bukunya ia mengkritik pekerjaan perempuan di sektor
domestik, sebagai pekerjaan irasional, emosional, dan tiranis. Lihat:
Ratna Megawangi, Membiarkan…, h. 119
[49] Misalnya,
mengubah undang-undang yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga.
Bahkan untuk menghindari hukum perkawinan yang dianggap “merugikan”
wanita, muncullah yang disebut marriage contract, yaitu kontrak perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua pasangan yang bersangkutan melalui pengacara yang dipilih.
[50] Ratna Megawangi, Membiarkan…, h. 119-121
[51] Siti Muslikhati, Feminisme…, h. 35
[52] Ben Agger, Teori…, h. 221-222
[53] Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), h. 103; lihat juga: Siti Muslikhati, Feminisme…, h. 35
[54] Siti Muslikhati, Feminisme…, h. 35-36
[55] Rusdiono Mukri, “ Jangan Tinggalkan Kodrat!”, dalam Majalah Gontor, Edisi 11 Tahun VII, April 2010/Jumadil Ula 1431, h.17
[56] Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 176
[57] Ghada Karm, “Perempuan, Islam, dan Patriarkalisme,” dalam Menyingkap Tabir Perempuan Islam Perspektif Kaum Feminis, (Bandung: Nuansa, 2007), Editor: Mai Yamani, h. 121
[58] Ghada Karm, Perempuan…, h. 120
[59] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), h. 62; lihat juga: Nurjannah Ismail, Perempuan…, h. 190
[60] Amina Wadud Muhsin, Wanita Di Dalam Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 93-94; lihat juga: Nurjannah Ismail, Perempuan…, h. 192
[61] Elisabeth Diana Dewi, “Profil Keluarga di Barat”, dalam AL-INSAN “Jurnal Kajian Islam” No. 3, Vol. 2, 2006, h. 9, mengutip dari sebuah majalah di Amerika, Better Homes and Gardens
menggulirkan satu pertanyaan kepada pembacanya: “Apakah Anda piker
kehidupan berkeluarga di Amerika Serikat tengah menghadapi banyak
permasalahan?” sebanyak 7,6% koresponden mengiyakan pertanyaan tersebut,
dan 85% dari pembacanya menyatakan bahwa harapan mereka untuk merasakan
hidup yang bahagia dalam sebuah keluarga belum tercapai. Majalah Newsweek, telah
mempublikasikan suatu kesimpulan dari hasil survey itu, bahwa sekitar
separuh dari semua lembaga pernikahan di Amerika berakhir di meja
perceraian. Walaupun kemudian ada yang rujuk kembali dan lainnya
mengakhirinya dengan perceraian.
[62] http://www.mail-archive.com/
aroen99society@yahoogroups.com/msg01441.html, dikutip pada hari Senin, 29 Maret 2010, pkl. 09.59 am
[63] Elisabeth Diana Dewi, AL-INSAN…, h. 11
[64] Mohammad Taqi Amini, Recontruction of Culture and Islam,(New Delhi; Kitab Bhavan, 1988), h. 175
[65] Mohammad Taqi Amini, Recontruction …, h. 172
[66] Browne, A. 1998. “Responding to the Needs of Low Income and Homeless Women Who are Survivors of Family Violence.” Journal of American Medical Women’s Association. 53 (2): 57-64 dalam www.endabuse.org, 2 Januari 2006
[67] The
Centers for Disease Control and Prevention and The National Institute
of Justice, Extent, Nature, and Consequences of Intimate Partner
Violence, July 2000.
[68] Ratna Megawangi, Membiarkan…, h. 21
[69] Harjoni, Perempuan Yang Bekerja Dalam Perspektif Islam dalam Women In Public Sector [Perempuan Di Sektor Publik], (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), Editor: Siti Hariti Sastriyani, h. 234
[70] Yusuf Al-Qardhawi, Perempuan Dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: Pustaka Fatima, 2006), h. 192-195
[71] Sang Ayu Putu Sriasih, “Perempuan Bali Dalam Kehidupan Berkesenian,” dalam Women In Public Sector [Perempuan Di Sektor Publik], (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), Editor: Siti Hariti Sastriyani, h. 253
[72] Dadang S. Anshori, “Dari Feminis Hingga Feminin Potret Perempuan di Dunia Maskulin”, dalam Membincangkan Feminisme Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1997), Cet. 1, h. 4
[73] Dari
beberapa literatur medis, kebanyakan memfokuskan pengaruh kekerasan
rumah tangga terhadap korban utama. Diperkirakan 3,2 juta anak-anak
Amerika menyaksikan kekerasan rumah tangga setiap tahunnya. Lihat: Al-Insan [Jurnal Kajian Islam], No. 3, Vol. 2, 2006, h. 12
[74] Sebuah majalah di Amerika, Better Homes and Gardens
menggulirkan satu pertanyaan kepada pembacanya: “Apakah Anda piker
kehidupan berkeluarga di Amerika Serikat tengah menghadapi banyak
permasalahan?” hasilnya 7,6% koresponden mengiyakan pertanyaan tersebut
dan 85% menyatakan bahwa harapan mereka untuk meraih kebahagiaan dari
hasil pernikahannya mereka belum tercapai. Lain halnya dengan majalah
Amerika “Newsweek” yang telah mempublikasikan satu kesimpulan
dari hasil survey tersebut, bahwa sekitar separuh dari semua lembaga
pernikahan di Amerika berakhir di meja perceraian. Lihat: Al-Insan [Jurnal Kajian Islam], No. 3, Vol. 2, 2006, h. 9
[75] Elisabeth Diana, “Profil Keluarga di Barat,” dalam Al-Insan [Jurnal…], No. 3, Vol. 2, 2006, h. 9-12
[76] Lihat Syamsul Hadi Abdan, “Emansipasi yang Proporsional”, dalam Majalah GONTOR, Edisi 11 Tahun VII, April 2010/Jumadil Ula 1431, h. 19
[77] Salim Al-Bahnasawi, Al-Mar’ah Bain al-Islam wa Qawanin al-‘Alamiyah, (Kuait; Dâru al-Wafâ’,1994), h. 83-88
[78] وَمِنْ
ءَايَتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِى ذَلِكَ
لأَيَتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. (QS Ar Rum [30]: 21); lihat juga:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآ ئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُمْ
Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri
kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka.(QS al-Baqarah [2]: 187); lihat juga:
نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Istri-istrimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah
tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendak. (QS al-Baqarah [2]: 223)
[79] Mahmud Muhammad Al-Jauhari, Membangun Keluarga Qur’ani Panduan Untuk Wanita Muslimah, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 3-7
[80] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 153
[81] Khairuddin, Sosiologi Keluarga, (Yogyakarta: Liberty, 1997), Cet. 1, h. 3
[82] Agus Mustofa, Poligami Yuuk!?, (Surabaya: PADMA Press), h. 197
[83] Hasan Al-Banna, “Refleksi,” dalam Membangun Keluarga Qur’ani Panduan Untuk Wanita Muslimah, (Jakarta: Amzah, 2005), h. xiii
[84] Mahmud Muhammad Al-Jauhari, Membangun…, h. 3
[85] Ali Imron, Musawa, Vol. 3, No. 2, September 2004, h. 132; lihat juga: Agus Mustofa, Poligami Yuk!?, (Surabaya, PADMA), h. 167-184
[86] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 34; lihat juga (QS an-Nahl [16]: 72)
[87] http://www.almanhaj.or.id/content/173/slash/2, Konsep Islam Tentang Perkawinan, dikutip pada hari, Kamis, 11 Februari 2010, jam 03.20 pm
[88] فَأَقِمْ
َوْجَهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ (الروم [30]: 30)
[89] وَمِنْ
ءَايَتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِى ذَلِكَ
لأَيَتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. (QS Ar Rum [30]: 21)
[90] Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 20-22
[91] Mahmud Muhammad Al-Jauhari, Membangun…, h. 16-29
[92] قُلْ
مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللهِ الَّتِى أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَتِ
مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا فِى الْحَيَوةِ
الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَمَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ اْلأَيَتِ
لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ
Katakanlah:
“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu
bagi orang-orang yang mengetahui.(QS al-A’râf [7]: 32); lihat juga:
ثُمَّ
قَفَيْنَا عَلَى ءَاثَرِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيْسَ ابْنِ
مَرْيَمَ وَءَاتَيْنَهُ اْلإِنْجِيْلَ وَجَعَلْنَا فِى قُلُوْبِ الَّذِيْنَ
اتَّبَعُوْهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا مَا
كَتَبْنَهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَآءَ رِضْوَنِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا
حَقَّ رِعَايَتِهَا
Kemudian
Kami iringkan di belakang mereka rasul-rasul Kami dan Kami iringkan
(pula) Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami
jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih
sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak
mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak
memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. (QS al-Hadîd [57]: 27)
[94] وَزَكَرِيَّآ
إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لاَ تَذَرْنِى فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ
اْلوَرِثِيْنَ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَ
وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَرِعُوْنَ فِى
الْخَيْرَتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوْا لَنَا
خَشِعِيْنَ
Dan
(ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku
janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri (tidak mempunyai
keturunan yang mewarisi) dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. * Maka
Kami memperkenankan do’anya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan
Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan
harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (QS al-Anbiyâ’ [21]: 89-90); lihat juga:
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ وَهَبَ لِى عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَعِيْلَ وَإِسْحَقَ إِنَّ رَبِّى لَسَمِيْعُ الدُّعَآءِ
Segala
puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku)
Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar
(memperkenankan) do’a. (QS Ibrahîm [14]: 39); lihat juga:
وَاللهُ
جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ
أَزْوَجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَتِ أَفَبِا
لْبَطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَ
Allah
menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan
memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman
kepada yang bathil dan mengingkari ni’mat Allah?” (QS an-Nahl [16]: 72)
[95] وَهُوَ الَّذِى خَلَقَ مِنَ الْمَآءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيْرًا
Dan
Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia
itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal
dari perkawinan) dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa. (QS al-Furqân [25]: 54)
[96] http://www.almanhaj.or.id/content/173/slash/2 di kutip tanggal 1 April 2010 pkl. 02.30 pm.
[97] Fithriah Wardie Murdani, “Kewajiban dan Hak Suami Istri Dalam Keluarga Islam,” dalam Al-Insan, No. 3, Vol. 2, 2006, h. 16; lihat juga: (QS al-Baqarah [2]: 228)
[98] وَءَا تُوْا النِّسَآءَ صَدُقَتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَّرِيْئًا
Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 4); lihat juga: Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqhul-Islaami Wa Adillatuhu Juz 7, (Darul-Fikr, 1989), h. 252; lihat juga:
Shohih al-Bukhori, Dâr
Ibnu Katsîr, Kitâbu an-Nikâh, Bâbu ‘Aradha al-Mar’ati Nafsahâ ‘Alâ
ar-Rajuli as-Shâlih, al-Juz 5, al-Sofhatu 1978, an-Namratu 4829
[99] Fithriyah Wardie Murdani, Kewajiban… dalam Al-Insan, No. 3, Vol. 2, 2006, h. 18
[100] Seorang
istri, walaupun ia kaya, tidak berkewajiban membelanjai keluarga atau
dirinya dengan hartanya sendiri – banyak maupun sedikit – kecuali dengan
jiwa yang ikhlas dan ridha, bukan karena dia memiliki tuntutan agama
untuk ikut andil dalam memenuhi nafkah keluarganya. Dengan demikian, dia
memiliki kebebasan penuh untuk menolak ikut andil menanggung beban
tanggung jawab nafkah keluarganya.
[101] Bahay Al Khauly, Islam dan Persoalan Wanita Modern, (Solo: Ramadhani, 1988), h. 79
[102] أَسْكِنُوْهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَآرُّوْهُنَّ
لِتُضَيِّقُوْاعَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُوْلَتِ حَمْلٍ
فَأَنْفِقُوْاعَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ
لَكُمْ فَأَتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ وَأْتَمِرُوْابَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍ
وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى * لِيُنْفِقْ ذُوْسَعَةٍ
مِّنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ
ءَاتَهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَآءَاتَهَا سَيَجْعَلُ
اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Tempatkanlah
mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu
dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka
upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan
baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya. * Hendaklah orang yang mampu memberi
nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan
sesudah kesempitan. (QS at-Thalaq [65]: 6-7), lihat juga; Bahay Al Khauly, Islam dan…, h. 80-81
[103] يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا النِّسَآءَ
كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ
مَآءَاتَيْتُمُوْهُنَّ إِلَّآ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَأِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ
تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS an-Nisâ [4]: 19); lihat juga: (QS at-Thalâq [65]: 6)
[104] Bahay Al Khauly, Islam…, h. 82, lihat juga; Fithriah Wardie Murdani, Kewajiban dan… dalam Al-Insan, No. 3, Vol. 2, 2006, h. 22
[105] Fithriyah Wardie Murdani, Kewajiban… dalam Al-Insan, No. 3, Vol. 2, 2006, h. 24
[106] Bahay Al Khauly, Islam…, h. 86-87
[107] Fithriah Wardie Murdani, “Kewajiban…,” dalam Al-Insan [Jurnal…], No. 3, Vol. 2, 2006, h. 25-27
[108] An-nusyuuz
berarti ”tidak taatnya suami atau isteri kepada pasangannya secara
tidak sah atau tidak cukup alasan”. Ini berarti, apabila terjadi
pembangkangan dalam hal yang memang tidak wajib dipatuhi, maka sikap itu
tidak dapat dikategorikan sebagai nusyuz. Misalnya, isteri tidak
mematuhi suami yang menyuruhnya berbuat maksiat, atau suami tidak
mematuhi isteri yang menuntut sesuatu di luar kewajiban dan/atau
melampaui batas kemampuannya. Menyikapi Nusyuz Istri. Ada empat tahap
jalan keluar yang diajarkan Islam untuk mengatasi nusyuz isteri.
وَالَّتِى
تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا
عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
”Dan
perempuan-perempuan (para isteri) yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasihatilah mereka, dan jauhilah mereka di tempat-tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar.” (QS an-Nisâ [4]: 34)
*menurut data tahun 2010
sumber: http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=533:kritik-terhadap-institusi-keluarga-prespektif-feminisme&catid=32:gender&Itemid=100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar