oleh : Dinar Dewi
Kania*
Dalam Naskah Akademik tentang
Kesetaraan Gender (NA RUU KG) disebutkan bahwa Rancangan Undang Undang
Kesetaraan Gender (RUU KG) perlu disusun karena adanya ketimpangan yang terjadi
dalam masyarakat Indonesia dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari
hasil-hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan.
Hal tersebut disebabkan kuatnya budaya patriarki sehingga terjadi subordinasi, ketidakberdayaan perempuan dan anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sekilas tampak RUU KG ini menawarkan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi kaum perempuan Indonesia dan dapat melindungi mereka dari tindak kekerasan, deskriminasi serta hal-hal lainnya yang dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Namun apabila kita mau mengkaji lebih dalam, banyak hal yang perlu dikritisi dari RUU KG tersebut, salah satunya konsep “kesetaraan gender” yang dijadikan alat analisis atau metodologi dalam perumusan norma-norma hukum RUU tersebut.
Hal tersebut disebabkan kuatnya budaya patriarki sehingga terjadi subordinasi, ketidakberdayaan perempuan dan anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sekilas tampak RUU KG ini menawarkan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi kaum perempuan Indonesia dan dapat melindungi mereka dari tindak kekerasan, deskriminasi serta hal-hal lainnya yang dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Namun apabila kita mau mengkaji lebih dalam, banyak hal yang perlu dikritisi dari RUU KG tersebut, salah satunya konsep “kesetaraan gender” yang dijadikan alat analisis atau metodologi dalam perumusan norma-norma hukum RUU tersebut.
Dilihat
dari latar belakang historis, konsep kesetaraan gender lahir dari pemberontakan perempuan Barat akibat
penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak jaman Yunani,
Romawi, abad pertengahan, dan bahkan pada abad pencerahan sekalipun, Barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior,
manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa. Hal tersebut kemudian memunculkan gerakan perempuan Barat yang menuntut hak dan kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan
politik yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan feminis.
Kelahiran feminisme dibagi
menjadi tiga gelombang. Feminisme gelombang pertama dimulai dari publikasi Mary
Wollstonecraft berjudul Vindication
of the Rights of Women pada tahun 1792,
yang menganggap kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan
disebabkan oleh ketergantungan ekonomi daripada laki-laki dan peminggiran
perempuan dari ruang publik (Rowbotham : 1992).
Setelah itu muncul feminisme gelombang kedua dengan doktrinnya yang memandang perbedaan
gender sengaja diciptakan untuk
memperkuat penindasan terhadap perempuan. Pada gelombang kedua inilah dimulai
gugatan perempuan terhadap institusi pernikahan, keibuan (motherhood),
hubungan lawan jenis (hetersexual relationship) dan secara radikal
mereka berusaha merubah setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik. Terakhir adalah feminisme gelombang ketiga yang
lebih menekankan kepada keragaman (diversity), sebagai contoh ketertindasan kaum perempuan
heteroseksual dianggap berbeda dengan ketertindasan yang dialami kaum lesbi dan
sebagainya. (Arivia, 2002).
Jika pada awal kemunculannya kaum feminis mengusung isu “hak” dan
“kesetaraan”, namun feminisme akhir 1960 an, menggunakan istilah “penindasan”
dan “kebebasan”. Konsep gender sendiri mulai
digunakan oleh feminis Barat pada tahun 1970 yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan
di tiap budaya masyarakat adalah berbeda-beda dan tidak sama. Lalu wacana gender
ini kemudian diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London awal tahun 1977
dan sejak itulah konsep gender equality (kesetaraan gender) menjadi
mainstream gerakan mereka. Konsep gender berbeda dengan sex. Gender
dipengaruhi oleh kondisi sosial, agama
dan hukum yang berlaku di masyarakat serta faktor-faktor lainnya, sedangkan sex merunjuk pada antomi
biologis seorang manusia. (Rowbothan :
1992).
Dari latar belakang historis munculnya konsep kesetaraan gender, kita
dapat menilai bahwa konsep ini
secara substansial sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam.
Alasannya,
pertama; feminisme dibesarkan dan tumbuh subur bersamaan dengan liberalisme dan sekularisme yang telah mencabut nilai-nilai spiritual dalam
peradaban Barat. Sebagaimana kaum feminis Barat, kelompok feminis Islam juga menuding
bahwa salah satu faktor yang paling mengemuka dalam timbulnya ketidakadilan gender adalah interpretasi ajaran agama yang sangat
didominasi bias gender dan bias nilai-nilai patriakal. Mereka menganggap perlu dilakukan pembacaan ulang dan dekonstruksi atas penafsiran lama yang dinilai
memiliki kecendrungan memanipulasi dan memanfaatkan ajaran Islam untuk melegitimasi kekuasaan patriarki. Oleh karena itu, apabila konsep kesetaraan gender ini diterima,
maka para feminis yang notabene anti
otoritas, akan merasa berhak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tanpa
mengikuti metodologi ulama-ulama terdahulu sehingga akan terjadi dekonstruksi
syariat secara masif guna meloloskan kepentingan kelompok-kelompok liberal. Kesetaraan gender memang produk feminisme, dan
feminisme adalah anak dari liberalisme yang memusuhi agama sebagaimana agama
kristen yang tersapu oleh gelombang liberalisme di Barat. Itulah fakta yang harus
kita waspadai.
Kedua,
definisi gender sendiri masih mengundang kontroversi. Lips dalam A New Psychology of Women (2003) menjelaskan bahwa gender
bukan hanya feminin dan maskulin sebagaimana yang diketahui masyarakat
luas, tapi ada gender ketiga yang
bersifat cair dan berubah-rubah dan telah dikenal oleh masyarakat pada berbagai
macam budaya yang berbeda, yaitu kaum homoseksual dan tranvestite (seseorang
yang senang menggunakan pakaian gender lainnya). Dengan demikian, konsep
kesetaraan gender sangat berpotensi menyuburkan praktek homoseksual sebagaimana
yang terjadi dalam masyarakat Barat. Perkawinan lesbi dianggap sebagai antitesis
dari patriarki yang menyerang dokrin dasarnya. Pasangan lesbian diklaim lebih mengalami perasaan bebas dari ikatan
dan hambatan-hambatan peran gender sehingga
mampu menciptakan hubungan baru dan mengurangi kekuatan yang tidak
berimbang yang kadang ditemukan dalam hubungan tradisional heteroseksual.
(Chrisler, 2000).
Ketiga,
konsep kesetaraan gender akan menghancurkan tatanan keluarga karena para feminis berusaha menggugat
institusi pernikahan, keibuan (motherhood),
hubungan lawan jenis (heterosexual
relationship) dan melakukan perubahan radikal dalam berbagai aspek
kehidupan, baik ditingkat individu maupun bernegara. Worldview Islam
memandang institusi keluarga sebagai
arena jihad untuk mencapai ridho Allah swt
sehingga peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga diatur sedemikian
rupa, sesuai dengan fitrahnya masing-masing. Faktor keikhlasan dan ketundukan pada syariat memang
menjadi landasan utama dalam membangun sebuah keluarga yang Islami. Hal
tersebut sudah tentu tidak sejalan dengan
ideologi feminis yang mengukur keadilan dan kesetaraan bagi perempuan hanya dari
faktor ekonomi dan kemanusiaan (HAM)
semata, tanpa mengaitkan dan
menghubungannya dengan nilai-nilai agama.
Kita tidak sedang menolak semua konsep yang datang dari Barat.
Namun konsep-konsep tersebut jika hendak
digunakan haruslah terlebih dahulu melalui proses Islamisasi agar sesuai
dengan pandangan hidup Islam yang bersumber dari wahyu. Namun sepertinya
yang terjadi saat ini justru kebalikannya. Wahyu dipaksa tunduk pada konsep dan metodologi yang dikembangkan
Barat sehingga konsep kesetaraan gender yang
bertentangan dengan ajaran Islam malah diajukan sebagai RUU untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan
bernegara di sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
*penulis adalah peneliti INSISTS dan AIEMS serta salah satu founder grup FB Muslim Tolak KKG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar