Oleh :
Sejak perempuan melakukan tugas
naturalnya yang harus hamil, melahirkan dan menyusui, pola hidup mengembara
akhirnya harus terhenti. Lalu memaksa manusia belajar menetap dan
"menguasai" alam sebagai tempat tinggalnya. Peradaban atau hadharah
berakar kata dari hadhara yang berarti hadir, tidak ghaib, menetap,
eksis dan tidak menghilang.
Islam datang untuk membebaskan perempuan
dari belenggu ketidakadilan, eksploitasi, marjinalisasi dan diskriminasi. "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki
maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam
surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun" (QS. 4:124). Maka tingkat
keberimanan seorang hamba tidak diukur dari kelelakiannya maupun kewanitaannya.
Sebaliknya, mereka harus akur dan saling tolong menolong menegakkan yang ma'ruf
dan mencegah yang munkar. Kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan ilmu dan adab,
serta segala bentuk kemungkaran sosial lainnya menjadi tanggung jawab bersama,
laki-laki dan perempuan. Kewajiban memerangi ketimpangan sosial dan
meningkatkan SDM dalam Islam tidak difokuskan pada jenis kelamin tertentu.
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya" (QS. 9:71).
Kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan merupakan dasar ajaran Islam. Sebab pada prinsipnya, segala perintah
dan larangan Allah (taklif) ditujukan kepada laki-laki dan perempuan.
Taklif ini bersifat umum dan mutlak, sampai ada nash khusus lainnya
yang mengecualikannya secara jelas. Imam Ibn Rusyd yang hidup di Cordova
(595H/1198M) pun dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menjelaskan:
"Laki-laki dan perempuan itu setara, karena pada awalnya hukum keduanya
adalah satu, sampai ditetapkannya pengecualian syar'i yang menjelaskan hal
itu". Ibn Hajr al-'Asqalani (852H) juga menjelaskan dalam kitab Fathul
Bari bahwa wanita itu adalah saudara kandung (setara) laki-laki dalam
hukum, kecuali jika ada pengkhususan.
Maka tidak ada satu pun ulama di
sepanjang zaman yang mengatakan bahwa perintah melaksanakan shalat, puasa,
zakat, haji, sedekah, menuntut ilmu dan mencegah kemungkaran hanya ditujukan
untuk laki-laki. Namun, hal ini tidak berarti bahwa dalam Islam itu tidak ada
perintah, larangan, hak dan kewajiban yang dikhususkan bagi laki-laki atau
perempuan saja. Sebab, seperti yang sudah jamak diketahui bahwa dalam syariah
terdapat beberapa pengecualian, misalnya dalam masalah persaksian (syahadah),
batasan aurat, bagian waris, dst. Adanya pengecualian tersebut tidak berarti Islam
merendahkan martabat perempuan atau memarjinalkannya. Sebab kedudukan jenis
kelamin (karakter biologis) dan gender (sifat, peran, posisi dan tanggung
jawab) antara laki-laki dan perempuan tidak dipandang secara dikhotomis
(terpisah dan dipertentangkan antara satu dan lainnya). Sebaliknya, Islam
memandangnya secara integral dan komprehensif. Hal ini dibuktikan dengan adanya
konsep keluarga, takaful (saling menopang) dan ta'awun
(cooperation). Konsep-konsep dalam Islam ini berbeda dari cara pandang individualistik-emosional
yang menuntut kesetaraan secara empirik dan kwantitatif.
Maka terkait dengan masalah pengecualian
hukum, hak dan kewajiban, seorang Muslim tidak diperkenankan
"berijtihad" untuk merombaknya dengan dalih doktrin feminisme maupun
kesetaraan gender. Atau mengakali hukum Tuhan melalui metode kritik sejarah, manhaj
tadriji (metode tahapan), teori al-maskut 'anhu (yang tak
terkatakan), dst. Metode-metode tersebut mengandaikan bahwa adanya pengecualian
hukum, hak dan kewajiban dalam Islam (seperti masalah persaksian, waris,
batasan aurat, dst), lebih disebabkan faktor sejarah dan kondisi sosial
masyarakat Arab yang patriarkal saat turunnya wahyu. Sehingga –dalam
dugaannya-, turunnya QS. 4:11 yang mengesankan adanya perbedaan waris, lebih
disebabkan ketidaksiapan masyarakat Arab yang patriarkal kala itu untuk
menerima "kesetaraan gender". Maka di kalangan feminis, QS. 4:11
ditafsirkan sebagai tahapan awal untuk menuju kesetaraan mutlak, dimana bagian
waris laki-laki dibatasi dan perempuan mendapatkan hak warisnya. Karena tidak
ada lagi ayat maupun hadits yang menjelaskan kesamaan kwantitas hak waris ini,
maka dimunculkanlah teori al-maskut 'anhu. Dengan teori ini, mereka
menduga bahwa nantinya, Tuhan sebenarnya ingin menyamakan bagian waris. Namun karena
kondisi sosial masyakat Arab saat itu yang didominasi laki-laki, maka
"ayat" waris berbasis gender, akhirnya belum terwahyukan hingga Nabi
Muhammad wafat.
Trik mengakali ayat-ayat al-Qur'an yang qath'i
(final) dan sharih (explicit) seperti ini hanya dikembangkan oleh
mereka yang terpengaruh akal-akal ateistik Posmodernis Barat dan berdampak
serius terhadap konsep wahyu dalam Islam. Pertama, Kehendak Tuhan
ditundukkan pada realitas sejarah dan konsensus publik. Dimana Tuhan
seolah-olah dianggap "tidak sempat" memfirmankan keinginan-Nya untuk
menyamakan bagian waris anak laki-laki dan perempuan, karena realitas sosial
yang patriarkal saat itu belum mengizinkan turunnya wahyu berbasis gender. Kedua,
memisahkan wahyu dari asal-usul ketuhanan. Sehingga al-Qur'an dipandang sebatas
pengalaman lokal dan temporal yang dihasilkan Nabi beserta sahabatnya dalam
merespon problem bangsa Arab kala itu. Maka metode memahami al-Qur'an pun harus
mengikut realitas sosial yang berkembang. Ketiga, kontekstualisasi
ayat-ayat qath'i yang bersandar pada sejarah akan berdampak hilangnya
sisi mu'jizat kebahasaan (i'jaz lughawi) al-Qur'an. Akhirnya, setiap
pemaknaan terhadap lafaz al-Qur'an dijauhkan dari makna kebahasaannya, bahkan
selalu permisif untuk disusupi berbagai makna praduga dan aneka purba sangka.
Dalam skala nasional, konsep kesetaraan
gender secara empirik-kwantitatif dijadikan sebagai indikator pembangunan
manusia (Human Development Index, HDI). Perkembangan selanjutnya,
konsep kesetaraan gender harus diikutsertakan dalam mengevaluasi keberhasilan
pembangunan nasional. Sejurus kemudian bermunculan berbagai tuntutan porsi
perempuan di bidang politik, ekonomi, tenaga kerja, struktur pemerintahan, dsb.
Pola pikir feminis seringkali hanya mempertimbangkan kepentingan kalangan
elitis perempuan. Kerja mereka Cuma mengompori kaum wanita untuk dijadikan batu
pijakan dalam memenuhi ambisinya. Dalam mengevaluasi keberhasilan dunia politik
misalnya, akal feminis biasanya akan memfokuskan kwantitas keterwakilan
perempuan di kursi DPR minimal 30%. Lagi-lagi jenis kelamin dulu yang dilihat,
bukan kapasitas dan kapabilitasnya.
Ketika menyikapi carut marutnya
penanganan bencana alam, seperti kurang sigapnya pemenuhan kebutuhan anak dan
perempuan, lagi-lagi akal feminis akan menuduh bahwa ini semua gara-gara
pemerintah tidak mengakui perempuan sebagai kepala rumah tangga. Demikian
halnya saat menyikapi tingginya angka kemiskinan dan buta huruf, akal feminis
pun hanya melongok prosentase perempuan yang miskin buta huruf. Bangsa ini lalu
diprovokasi seolah-olah telah terjadi pemiskinan dan pembodohan terhadap kaum
perempuan. Seperti sebuah slogan yang diusung dalam sebuah acara perkumpulan
perempuan pada 14-18 Desember 2009 lalu, "Perempuan Indonesia: Menghapus
Pemiskinan dan Kekerasan".
Selanjutnya, giliran agama dan
"fundamentalisme" yang dituding sebagai biang diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan terhadap wanita. Bahkan dalam rangka memperjuangkan
HAM kaum waria dan lesbian, mereka tidak segan-segan menuding siapa saja yang
tidak setuju dengan perilaku homoseksual dikategorikan sebagai kelompok fundamentalis
yang homophobia. Pemerintah juga dinilai tidak bijak, bahkan sangat
diskriminatif, karena tidak menjamin keamanan, kesehatan dan peningkatan SDM
para pelaku homoseksual.
Fenomena kekerasan dan ketidakadilan
terhadap perempuan diakui memang terjadi di sebagian oknum umat beragama.
Tentunya, ini lebih dipicu oleh rendahnya taraf kesejahteraan hidup dan
pendidikan dan berdampak luas ke semua sektor kehidupan. Pelaku ketidakadilan
tidak saja laki-laki, tapi juga perempuan. Anehnya, feminisme hanya memerangi
ketidakadilan yang dialami perempuan, tapi mengabaikannya jika korbannya adalah
laki-laki. Sebab pada dasarnya, feminisme bukanlah ideologi yang memperjuangkan
kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karena di era masyarakat yang modern ini,
laki-laki dan perempuan sudah mendapatkan hak dan peluang yang setara. Maka
perjuangan wanita untuk berkarier misalnya, hendaknya tidak terkesan jahil
aplikatif yang terfokus pada tuntutan porsi kwantitas. Tapi harus mengarah
pada hal-hal yang lebih substantif, seperti jaminan keselamatan, cuti haid,
penambahan masa cuti melahirkan, penyediaan ruang khusus bagi wanita yang
menyusui, tidak membebani dengan jam kerja yang ketat dan lain-lain yang
menjamin terbinanya rumah tangga dan tumbuhnya generasi yang sehat. Wallahu
a'lam wa ahkam.
sumber: www.insistnet.com
sumber: www.insistnet.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar