Oleh : Henri Shalahuddin, M.A
Gerakan
feminisme dan kesetaraan gender yang merambah ke dalam studi Islam
tidak hanya terbatas pada masalah fiqh dan hadith saja, tetapi ia juga
masuk dalam studi al-Qur'an, sebuah jantung ilmu-ilmu keislaman.
Feminisme yang terlanjur dianggap sebagai solusi terhadap problem
perempuan di dunia Islam, tidak berarti apa-apa jika hanya membatasi
kajiannya di luar jantung studi Islam.
Inilah konsekwensi dari pemujaan
ideologi Barat secara berlebihan yang dikiranya akan membawa pada
kemajuan. Bahkan, karena silaunya terhadap Barat, ÙÉhÉ Husein, seorang
pakar sastera Arab asal Mesir (1889-1976), dalam bukunya Mustaqbal al-ThaqÉfah fi MiÎr,
menyatakan: "Kita harus meniru (gaya hidup) orang-orang Eropa agar
dapat sejajar dengan mereka dalam peradaban; (tidak perduli) apakah itu
baik atau buruk, manis atau pahit, dan yang disukai atau yang dibenci
dari mereka". (1982:54).
Bagi
kalangan feminis-liberal, usaha menundukkan al-Qur'an dalam paham
kesetaraan jender ala Barat, biasanya tidak menolak ayat-ayat al-Qur'an
secara langsung. Tetapi dilakukan dengan memberikan penafsiran ayat-ayat
melalui metode kritik sejarah. Metode kritik sejarah (historical criticism)
adalah kritik sastera yang mengacu pada bukti sejarah atau berdasarkan
konteks di mana sebuah karya ditulis, termasuk fakta-fakta tentang
kehidupan pengarang/penulis serta kondisi-kondisi sejarah dan sosial
saat itu.[i]
Ide
mendudukkan al-Qur'an dalam persepsi jender tidak dilontarkan secara
sederhana dan serampangan, tapi ide ini dikaji melalui riset khusus
dalam jenjang kesarjanaan tertinggi di perguruan tinggi Islam negeri
yang dibimbing oleh para profesor dari lintas agama dan negara, serta
menghabiskan waktu 6 tahun, dan –kononnya- dengan kajian kepustakaan di
27 negara, yang bahan-bahan pustakanya tidak hanya berbahasa Arab dan
Inggris, tapi juga Ibrani, seperti yang dilakukan oleh Nasaruddin Umar.[ii]
Dalam
kasus Nasaruddin Umar, misalnya seperti yang dijelaskan dalam disertasi
S3-nya yang telah dipublikasikan dengan tema "Argumentasi Kesetaraan
Jender: Perspektif al-Qur'an", ketika hendak memaparkan adanya bias
jender dalam pemahaman teks, Nasaruddin melakukan beberapa langkah
metodologis, seperti berikut:
a. Mendudukkan teks al-Qur'an setara dengan teks naskah-naskah lainnya yang tidak memiliki makna kesucian, Nasaruddin menulis:
"Dalam menganalisa sebuah teks, baik teks al-Qur'an maupun teks naskah-naskah lainnya, ada beberapa pertanyaan filologis yang perlu diperhatikan, antara lain: Dari mana teks itu diperoleh? Bagaimana
autentitas dan orisinalitas teks itu? Teks aslinya dari bahasa apa?
Siapa yang menterjemahkannya? Terjemahan dari bahasa asli atau bahasa
lain? Jarak waktu penerjemah dengan teks-teks terjemahan? Atas sponsor
siapa teks dan penerjemahan itu? Setiap bahasa mempunyai latar belakang
budaya; bagaimana latar belakang budaya teks itu?"[iii]
b. Melakukan
kritik terhadap metode-metode khazanah tafsir dan 'Ulum al-Qur'an yang
telah digali sejak zaman Sahabat dalam berinteraksi dengan al-Qur'an.
Tentang kritiknya ini, Nasaruddin menganalisa beberapa faktor yang
–menurutnya- turut memberi peran bias jender dalam pemahaman teks
al-Qur'an, seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca dan Qira'Ét; pengertian kosa kata; penetapan rujukan kata ganti; penetapan batas pengecualian; penetapan arti huruf 'aÏf; bias dalam struktur bahasa Arab; bias dalam kamus bahasa Arab; bias dalam metode tafsir; pengaruh riwayat isra'iliyyat, dan bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqh. Tentunya
dengan terbatasnya ruang di sini, penulis hanya akan menjelaskan atau
mengomentari sebagian faktor-faktor tersebut. Sebagai contoh, tentang
adanya Bias dalam Struktur Bahasa Arab yang digunakan Nasaruddin untuk
mengungkap bias jender dalam pemahaman teks, ia menulis:
"Bahasa Arab yang "dipinjam" Tuhan dalam menyampaikan ide-Nya sejak awal mengalami bias jender, baik dalam kosa kata (mufradat) maupun dalam strukturnya".[iv]
Kemudian
dia memaparkan contoh bahwa dalam tradisi bahasa Arab, jika yang
menjadi sasaran pembicaraan laki-laki atau perempuan digunakan bentuk
maskulin, misalnya kewajiban mendirikan shalat cukup dikatakan aqÊmË l-ÎalÉh, tidak perlu lagi dikatakan aqimna l-ÎalÉh,
karena ada kaedah mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan jika
berkumpul di suatu tempat cukup dengan menggunakan bentuk maskulin dan
secara otomatis perempuan termasuk di dalamnya, kecuali ada hal lain
mengecualikannya.[v]
Sehingga tidak berlebihan jika pernyataan tersebut dipahami bahwa Tuhan
salah memilih bahasa Arab yang bias jender itu, untuk dijadikan sebagai
media firman-Nya.
c. Paham relativisme[vi].
Hal ini bisa dilihat dari pandangannya setelah menyatakan bahwa
seolah-olah Tuhan dia vonis bersalah karena menjadikan bahasa Arab
sebagai media Firman-Nya, kemudian Nasaruddin menolak disimpulkan bahwa
Tuhan lebih memihak laki-laki. Nampak seperti kebingungan, di satu sisi
mengklaim bahwa bahasa Arab yang digunakan sebagai media firman-Nya
adalah bias jender, namun di sisi lain menyatakan Tuhan tidak memihak
laki-laki. Tulisnya:
"Bias
jender dalam teks, tidak berarti Tuhan memihak dan mengidealkan
laki-laki, atau Tuhan itu laki-laki karena selalu menggunakan kata ganti
mudhakkar, -misalnya Qul HuwallÉhu AÍad, kata huwa adalah kata ganti maskulin, tidak pernah menggunakan kata ganti feminin (hiya)-, tetapi demikianlah struktur bahasa Arab, yang digunakan sebagai bahasa al-Qur'an".[vii]
d. Metode kritik sejarah, yaitu dengan mengkaji latar belakang budaya yang dimiliki suatu bahasa[viii] dan membedakan antara unsur normatif dan kontekstual.[ix] Tentang metode ini, dia menulis di bab pendahuluan:
"Hal
ini (kajian mendalam terhadap kondisi objektif di kawasan jazirah Arab)
dinilai penting karena al-Qur'an pertama kali dialamatkan di kawasan
ini. Seperti diketahui, kawasan ini bukanlah suatu kawasan yang hampa
budaya, melainkan sudah sarat dengan berbagai nilai".[x]
Selanjutnya, dalam kesimpulan kajiannya, dia menyatakan: "Dalam
kenyataan sejarah, kondisi obyektif sosial-budaya tempat kitab suci itu
diturunkan menjadi referensi penting di dalam memahami teks tersebut".
Di samping itu, dia menjelaskan: "Memahami kondisi obyektif Jazirah Arab
tidak dapat ditinggalkan bagi siapa saja yang ingin memahami lebih
mendalam ayat-ayat al-Qur'an, karena tidak sedikit ayat-ayat al-Qur'an
diturunkan untuk menanggapi atau mendukung budaya lokal masyarakat
Arab".[xi]
e. Penggunaan teori khuÎËÎ al-sabab
yang minor dan ganjil di kalangan ulama tafsir sebagai justifikasi
untuk menguatkan metode kritik sejarah. Dalam memahami ayat, teori khuÎËÎ al-sabab
mengharuskan penafsir untuk mengutamakan sebab khusus (peristiwa,
kejadian dan pertanyaan) yang melatarbelakangi turunnya ayat. Sehingga
dengan pendekatan ini, ayat-ayat yang dia pandang merugikan perempuan,
tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan saat ini, walaupun redaksi ayat
tersebut bersifat umum. Dalam meniscayakan penggunaan teori khuÎËÎ al-sabab,
Nasaruddin menulis: "Hampir semua ayat jender turun dalam suatu sebab
khusus, tetapi hampir semua ayat-ayat tersebut menggunakan bentuk (ÎÊghah) lafadh umum".[xii] Kemudian dia simpulkan bahwa jumhur ulama yang menggunakan lafadh umum lebih tekstual dan minoritas ulama yang menggunakan khuÎËÎ al-sabab lebih kontekstual.[xiii]
f. Dialektika antara tekstual dan kontekstual. Kata
tekstual (literal, harfiyah) selalu digambarkan sebagai hal yang
negatif, kolot, radikal, konservatif, fundamentalis, dsb. Sebaliknya
kontekstual selalu digambarkan sebagai hal yang moderat, terbuka dan
representatif untuk ruang kekinian.
Metode
kritik sejarah yang diadopsi tokoh-tokoh liberal semisal Nasaruddin
untuk memperkuat teori jendernya mengharuskan pembaca al-Qur'an untuk
menganalisa budaya yang melatarbelakangi bahasa Arab sebagai media
wahyu. Dengan metode ini, akan disimpulkan bahwa budaya Timur Tengah
yang memposisikan laki-laki lebih dominan daripada perempuan, telah
menghegemoni pemahaman ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur'an. Dengan kata lain, karena al-Qur'an menggunakan bahasa Arab, maka ia juga terpengaruh oleh budaya Arab pra-Islam.
Metode yang digunakan Nasaruddin ini dalam tradisi Kristen, biasa dikenal dengan metode kritik sejarah atau kritik Bibel (Biblical criticism).
Kritik Bibel adalah disiplin ilmu yang mengkaji pertanyaan-pertanyaan
teks, komposisi dan sejarah seputar Perjanjian Lama dan Baru. Kritik
Bibel memberikan dasar untuk penafsiran yang penuh arti atas Bibel.[xiv] Dengan demikian dapat dipahami bahwa tanpa metode ini, pemahaman terhadap teks-teks Bibel menjadi tidak atau kurang bermakna.
Pengaruh Woman's Bible?
Kajian
bias bahasa yang dilakukan oleh Nasaruddin ini bukan hal baru, bahkan
memiliki banyak kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh aktivis feminis
Barat yang tidak puas dengan teks Bibelnya. Dalam segi bahasa, mereka
menuntut penggunaan bahasa gender-inclusive, seperti mengganti kata mankind dengan humanity, mengusulkan penggunaan kata chairwoman untuk mengimbangi kata chairman,
dsb. Dalam agama, mereka menuntut tafsir feminis terhadap kitab suci.
Sedangkan dalam strata sosial, mereka menuntut hak reproduksi atau
meninggalkannya, melegalkan undang-undang aborsi, kesamaan gaji, hak meninggalkan pengasuhan anak, sterilisasi kandungan, dsb.
Dalam
masyarakat Barat telah terjadi perdebatan sengit yang menuntut
penafsiran ulang terhadap Alkitab yang dipandang turut memberi andil
sebagai penyebab utama dalam merendahkan martabat wanita. Pada tahun
1837, Sarah Grimke menyatakan bahwa penafsiran biblis secara sengaja
dibiaskan terhadap kaum perempuan guna mempertahankan posisi
subordinatif (sekunder) mereka. Hal ini didukung dengan publikasi Woman's Bible
pada tahun 1895. Pada tahun 1960 perjuangan hak-hak kaum perempuan
difokuskan pada masalah status dan peran perempuan dalam tradisi agama
Kristiani dan Yahudi serta bagian yang dimainkan oleh Alkitab dalam
mempertahankan status quo yang tidak adil.
Phyllis
Trible dalam artikelnya "Eve and Miriam: From the Margins to the
Center" menjelaskan bahwa Bibel terlahir dan terpelihara dalam suasana
patriarkhi, ia dipenuhi dengan tamsil, perumpamaan dan bahasa laki-laki.
(The Bible was born and bred in a land of patriarchy; it abounds in male imagery and language).
Sedangkan Pamela J. Milne dalam artikelnya "No Promised Land: Rejecting
the Authoriy of the Bible" bahwa dalam kultur Barat Bibel dijadikan
justifikasi dasar pemikiran untuk menindas perempuan. (In Western culture, the Bible has provided the single most important sustaining rationale for the oppression of women).[xv]
Penelitian terhadap peran negatif Alkitab ini, juga dilakukan oleh Michael Keene.[xvi]
Keene memusatkan penelitiannya pada 5 bidang: a). Kebutuhan untuk
mengetahui lebih jauh mengenai status dan peran perempuan dalam budaya
biblis. b). Pencarian
gambaran yang lebih lengkap dan seimbang tentang pengajaran aktual
tentang Alkitab atas isu-isu yang berkaitan dengan gender. c). Tumbuhnya
penafsiran alternatif atas teks-teks biblis yang menindas perempuan,
seperti teks Alkitab yang mengharuskan perempuan tutup mulut di gereja
(1Korintus 14:34-35). Ayat ini kemudian ditafsirkan sebagai tanggapan
terhadap masalah lokal khusus dan bukan sebagai sarana penundukan
perempuan pada umumnya. d). Mengembangkan gambaran tentang Tuhan yang
lebih lengkap dalam Alkitab dengan menerapkan gambar-gambar feminin,
misalnya gambar tentang seorang perempuan dan ibu ke dalam konsep
ketuhanan. e). Membuat terjemahan yang segar tentang Alkitab yang
mencoba mengurangi sejumlah bahasa eksklusif gender di dalam teks.[xvii]
Buku "Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan", yang edisi aslinya berjudul The Interpretation of the Bible in the Church, the Pontifical Biblical Commision,
menjelaskan bahwa asal-usul sejarah penafsiran kitab suci ala feminis
dapat dijumpai di Amerika Serikat di akhir abad 19. Dalam konteks
perjuangan sosio-budaya bagi hak-hak perempuan, dewan editor komisi yang
bertanggung jawab atas revisi (tahrif) Alkitab menghasilkan The Woman's Bible dalam dua jilid. Gerakan feminisme di lingkungan Kristen ini kemudian berkembang pesat, khususnya di Amerika Utara.[xviii]
Dalam perkembangannya, gerakan feminis ini memiliki 3 bentuk pandangan terhadap Alkitab, Pertama; yaitu
bentuk radikal yang menolak seluruh wibawa Alkitab, karena Alkitab
dihasilkan oleh kaum laki-laki untuk meneguhkan dominasinya terhadap
kaum wanita. Kedua, berbentuk
neo-ortodoks yang menerima Alkitab sebatas sebagai wahyu (profetis) dan
fungsinya sebagai pelayanan, paling tidak, sejauh Alkitab berpihak pada
kaum tertindas dan wanita. Ketiga, berbentuk
kritis yang berusaha mengungkap kesetaraan posisi dan peran murid-murid
perempuan dalam kehidupan Yesus dan jemaat-jemaat Paulinis. Kesetaraan
status wanita banyak tersembunyi dalam teks Perjanjian Baru dan semakin
kabur dengan budaya patriarki.
Lebih lanjut, Letty M. Russel dalam bukunya Feminist Interpretation of The Bible
yang telah diindonesiakan dengan tema "Perempuan & Tafsir Kitab
Suci", menjelaskan lebih rinci 3 metode tafsir feminis terhadap Alkitab.
Ketiga metode ini adalah: a) Mencari teks yang memihak perempuan untuk
menentang teks-teks terkenal yang digunakan untuk menindas perempuan. b)
Menyelidiki Kitab Suci secara umum untuk menemukan perspektif teologis
yang mengkritik patriarki. c) Menyelidiki teks tentang perempuan untuk
belajar dari sejarah dan kisah perempuan kuno dan modern yang hidup
dalam kebudayaan patriarkal.[xix]
Ringkasnya, gerakan feminisme di Barat yang muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap teks-teks biblis,[xx]
--seperti yang diungkapkan oleh Nicola Slee, teolog feminis dan penulis
asal Inggris--, agar menolak untuk terus-menerus membaca teks-teks
kitab suci dan tradisi patriarkal kuno, yakni cara-cara yang sudah
mapan.[xxi] Kemudian mereka berusaha menemukan penafsiran segar dengan menggunakan metode hermeneutika.
Landasan Bibel
|
Perlakuan Barat
|
Reformasi Feminisme
|
Kutukan Tuhan terhadap perempuan: "Susah
payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan
engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu
dan ia akan berkuasa atasmu."
Kejadian 3:16
|
Perempuan adalah sumber dosa. (Tertullian (150M), Bapak Gereja I.
Wanita adalah setan, kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik. (St John Chrysostom [345-407M], Bapak Gereja Yunani)
Perempuan adalah laki-laki yang cacat (Thomas Aquinas)
|
Hak
yang tidak terbatas melakukan aborsi, menghapus undang-undang yang
membatasi aborsi dan kebebasan melakukan lesbian sehingga tidak
tergantung pada laki-laki.
|
Sama
seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan
harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka
tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri,
seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. Jika mereka ingin
mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di
rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam
pertemuan Jemaat (I Korintus 14:34-35)
|
J.J. Rousseau menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang tolol dan sembrono (silly and frivolous creatures) dan dilahirkan untuk melengkapi laki-laki.
|
Kaum
perempuan di Inggris dan Amerika Serikat baru mendapatkan hak-haknya
yang memadai, terutama dalam berpolitik setelah tahun 1832. Sebelum
tahun ini, mereka sama sekali tidak mempunyai hak suara dan hak pilih.
|
Larangan mengajar:
Aku
tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya
memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri (I Timotius 2:12)
|
Pendidikan
yang cocok untuk perempuan adalah ajaran agama yang sederhana tentang
emosi. Sebab pendidikan intelektual bagi perempuan bukanlah hal pokok
dan harus dibatasi pada pembelajaran tentang masalah-masalah praktis
saja.
|
Mary Wollstonecraft menulis A Vindication of the Rights of Woman,
yang menantang anggapan keberadaan perempuan hanya untuk menyenangkan
pria. Dia mengusulkan perempuan dan laki-laki diberi peluang sama
dalam pendidikan, pekerjaan dan politik.
|
Larangan bercerai:
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."Matius 19:6
Seorang
janda atau perempuan yang telah diceraikan atau yang dirusak
kesuciannya atau perempuan sundal, janganlah diambil, melainkan harus
seorang perawan dari antara orang-orang sebangsanya. Imamat 21:14
|
Perempuan di Barat pada abad pertengahan tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apapun
|
Perempuan baru memperoleh hak untuk bisa bercerai di tahun 1792
|
Beberapa Contoh Hasil Tafsir Feminis
a) Batasan aurat:
Dalam menafsirkan kata aurat pada QS. 24:31. "Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…",
Dr. MuÍammad ShaÍrËr (tokoh liberal asal Syiria) mengartikan bahwa
aurat itu adalah "apa yang membuat seseorang malu bila
diperlihatkannya". Kemudian dia menjelaskan bahwa "aurat itu tidak
berkaitan dengan halal-haram, baik dari dekat maupun dari jauh". Dalam
merelatifkan batasan aurat, ShaÍrËr memberikan contoh: "Apabila ada
seorang yang botak (aÎla') yang tidak suka orang lain melihat
kepalanya yang botak itu, maka dia memakai rambut palsu. Sebab dia
menganggap bahwa botak di kepalanya adalah aurat". Makna aurat kemudian
dirancukan oleh ShaÍrËr dengan mengutip Hadith Nabi: "Barang siapa
menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya".
Lalu dia berkomentar: "Menutupi aurat mukmin di sini (dalam hadith itu)
bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat". Berangkat
dari sini, ShaÍrËr menyimpulkan bahwa: "Aurat datang dari rasa malu,
yakni ketidaksukaan seseorang dalam menampakkan sesuatu baik dari
tubuhnya maupun perilakunya. Dan rasa malu ini relatif - tidak mutlak, sesuai dengan adat istiadat. Maka dada (al-juyËb)[xxii] adalah tetap sedangkan aurat berubah-ubah menurut zaman dan tempat".[xxiii]
Di samping itu, ShaÍrËr juga menafsirkan QS. Al-Ahzab:59 Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Menurutnya: "Ayat ini didahului dengan lafadz 'Hai Nabi' (yÉ ayyuha l-nabÊ), yang berarti bahwa di satu sisi, ayat ini adalah ayat pengajaran (Éyat al-ta'lÊm) dan bukan ayat pemberlakuan syariat (Éyat al-tashrÊ').
Di sisi lain, ayat yang turun di Madinah ini harus dipahami dengan pemahaman temporal (fahman marÍaliyyan),
karena terkait dengan tujuan keamanan dari gangguan orang-orang iseng,
yaitu ketika para wanita tengah bepergian untuk suatu keperluan. Namun,
syarat-syarat ini (yaitu alasan keamanan) sekarang telah hilang
semuanya". Oleh sebab itu, mengingat ayat di atas adalah ayat al-ta'lÊm
yang bersifat anjuran, maka menurut ShaÍrËr, hendaknya bagi wanita
mukminah, -dianjurkan bukan diwajibkan-, untuk menutup bagian-bagian
tubuhnya yang bila terlihat menyebabkannya dapat gangguan (al-adhÉ). Ada dua jenis gangguan: alam (ÏabÊ'i) dan sosial (ijtimÉ'Ê).
Gangguan alam adalah yang berkenaan dengan cuaca seperti suhu panas dan
dingin. Maka wanita mukminah hendaknya berpakaian menurut standar
cuaca, sehingga ia terhindar dari gangguan alam. Sedangkan gangguan
sosial (al-adhÉ al-ijtimÉ'Ê) adalah berkaitan dengan kondisi
dan adat istiadat suatu masyarakat. Oleh karena itu, pakaian mukminah
untuk keluar harus disesuaikan dengan lingkungan masyarakat, sehingga
tidak mengundang cemoohan dan gangguan mereka.[xxiv]
Pada akhirnya ShaÍrËr menyimpulkan bahwa batasan pakaian wanita dibagi dua: batasan maksimal yang ditetapkan Rasulullah SAW (al-Íadd al-a'lÉ)
yang meliputi seluruh anggota tubuh selain wajah dan dua telapak
tangan. Batasan minimal yaitu batasan yang ditetapkan oleh Allah SWT (al-Íadd al-adnÉ) yang hanya menutup juyËb. Menurut ShaÍrËr juyËb
tidak hanya dada saja, tapi meliputi belahan dada, bagian tubuh di
bawah ketiak, kemaluan dan pantat. Sedangkan semua anggota tubuh selain juyËb, diperkenankan terlihat sesuai dengan kultur masyarakat setempat, termasuk pusar (surrah). Penutup kepala untuk laki-laki dan perempuan hanyalah kultur masyarakat, tidak terkait dengan iman dan Islam.[xxv]
ShaÍrËr menilai banyak ulama Fiqih (fuqahÉ')
yang salah paham saat mendudukkan Hadith Rasulullah SAW bahwa semua
anggota tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya sebagai penjelas QS. Al-Ahzab:59 dan QS. Al-Nur:31, inilah
contoh kesalahan ulama Fiqih dalam metode berfikir.
b) Hukum Waris
Tentang
pembagian harta waris, Abu Zayd berpendapat bahwa sebelum kedatangan
Islam di jazirah Arab pada abad ke 7M, wanita tidak mendapatkan harta
waris sedikitpun, karena sistem peraturan masyarakat menganut sistem
patriarkal. Anak laki-laki tertua mewarisi semua harta peninggalan.
Kemudian Islam merubah aturan ini, seperti yang termaktub dalam
al-Qur’an:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan… (QS. Al-NisÉ’: 11).
Menurut
Abu Zayd, ayat di atas menekankan terjadinya perubahan dalam hukum
masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta warisan. Substansi arahannya adalah prinsip keadilan (justice). Namun sebenarnya, bila dicermati secara mendalam, ayat di atas justru menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum laki-laki (limiting the rights of men). Sebab pada ayat di atas (QS. Al-NisÉ’: 11), penyebutannya jelas mendahulukan kata li l-dhakari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li l-unthayayni mithlu ÍaÐÐi l-dhakari
(bagian dua orang anak perempuan sama dengan bagian seorang anak
lelaki). Penyebutan laki-laki yang mengawali perempuan tersebut, berarti
bahwa al-Qur’an menyibukkan dirinya dengan pembatasan bagian harta
waris untuk laki-laki. Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum laki-laki
mewarisi semua harta peninggalan, tanpa batas.[xxvi] Maka Abu Zayd menyimpulkan,
sebenarnya al-Qur’an –secara perlahan dan pasti-- cenderung mengarah
pada kesamaan antara wanita dan laki-laki, khususnya pada kesamaan
bagian harta peninggalan.[xxvii] Inilah yang dia sebut sebagai “yang tidak terkatakan” (al-maskËt ‘anhu).
Kesimpulan Abu Zayd ini tentunya adalah sebuah konsekwensi logis dari pendekatan yang dianutnya, yaitu konteks historis (historical context).
Di mana dia selalu menghubungkan semua aspek hukum yang disebutkan
dalam al-Qur’an berkenaan dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab
pada abad 7M.
Tentunya teori “al-maskËt ‘anhu”
ini sangat tidak ilmiah. Sebab teori ini menggambarkan seolah-olah Abu
Zayd lebih mengerti “maksud Tuhan” yang tidak difirmankan-Nya. Di sisi
lain teori “al-maskËt ‘anhu” tidak lain dari kelanjutan teori kesinambungan (gradual method, al-manhaj al-tadrÊjÊ) versi al-ÙÉhir al-×addÉd,[xxviii] pemikir sekuler Tunisia awal abad 20M (sekitar 1929an), yang meninggal dalam usia muda. Dalam bukunya, “al-Mar’ah fÊ KhiÏÉbi l-Azmah” (=Wanita dalam Wacana Krisis), Abu Zayd banyak menukil pemikiran al-ÙÉhir dan menguatkannya.[xxix] Di samping itu, manhaj tadrÊji juga sering digunakan untuk mengharamkan poligami dengan asumsi dalih analogi (qiyÉs) metode larangan perbudakan.
Contoh Pendekatan Manhaj TadrÊji dalam Kasus Poligami
1. Pembatasan Jumlah poligami
|
وحَدَّثَنِي
يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ بَلَغَنِي أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ مِنْ
ثَقِيفٍ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ حِينَ أَسْلَمَ
الثَّقَفِيُّ أَمْسِكْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ (موطأ
مالك، جامع الطلاق، 1071)
|
2. Pembolehan poligami tapi disertai syarat bersikap adil
|
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً. النساء: 3
|
3. Manusia mustahil bisa berlaku adil di antara isteri-isterinya
|
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ . النساء 129
|
4. kesimpulan à Poligami diharamkan meskipun tidak termaktub al-Qur'an & HadÊth
|
[i] Encyclopaedia Britannica, 1994-2001, Deluxe Edition CD-ROM. Teks aslinya berbunyi: literary
criticism in the light of historical evidence or based on the context
in which a work was written, including facts about the author's life and
the historical and social circumstances of the time
[ii] Tekad, No. 24/Tahun I, April 1999, dalam kofer belakang Argumen.
[iii] Argumen, hal. 265-266, cetak miring dari penulis
[iv] ibid, hal. 277
[v] ibid, hal. 278
[vi]
Paham relativisme adalah doktrin yang menjelaskan bahwa ilmu
pengetahuan, kebenaran dan moralitas selalu tergantung pada budaya,
masyarakat atau konteks sejarah; dan kesemuanya itu tidak bersifat
mutlak. Kemudian,
apa yang dianggap benar atau salah, baik atau buruk tidak lagi bersifat
mutlak, tapi senantiasa berubah dan relatif tergantung pada individu,
lingkungan atau kondisi sosial. Pandangan
ini sudah ada sejak masa Protagoras, tokoh Sopis Yunani abad 5 SM. Saat
ini pandangan ini digunakan sebagai pendekatan ilmiah dalam ilmu
sosiologi dan antropologi. Lihat: The New Oxford Dictionary of English dan Encyclopaedia Britannica,
1994-2001, Deluxe Edition CD-ROM. Contoh lain dari paham relativisme
yang digunakan Nasaruddin, misalnya dalam sebuah wawancara dengan
aktivis JIL yang dimuat dalam situs islamlib dengan tema: Semua Kitab Suci Bias Gender!
26-4-04, dia mengatakan: "Ironisnya, yang saya temukan, bukan hanya di
dalam Al-Qur’an yang tidak memberikan tempat yang layak terhadap
perempuan, tapi juga Bible dan kitab-kitab suci agama lainnya...". Namun
saat ditanya lebih lanjut tentang posisi perempuan dalam
al-Qur'an, Nasaruddin menjawab: "Sejauh yang saya pelajari, al-Qur’an
memberikan kebebasan luar biasa terhadap perempuan. Makanya dalam
beberapa penelitian tentang kitab suci ditegaskan, tidak ada sistem
nilai yang memberi pengakuan luar biasa terhadap perempuan selain sistim
nilai yang dikandung al-Qur'an".
[vii] ibid, hal. 278
[viii] ibid, hal. 278
[ix]
ibid, hal. 286. Nasaruddin Umar juga menyatakan bahwa di antara
metode-metode yang terkait dengan penelitiannya ini adalah analisisi
sejarah. Metode ini dia maksudkan untuk memahami kondisi obyektif bangsa
Arab menjelang dan ketika al-Qur'an diturunkan. Lihat Argumen, hal. 30-31
[x] Argumen, hal. 8
[xi]
ibid, hal. 307. Sayangnya Nasaruddin tidak memerinci lebih jauh
contoh-contoh klaimnya ini, khususnya ayat-ayat yang turun untuk
mendukung budaya lokal masyarakat Arab.
[xii] Argumen, hal. 306, transliterasi disesuaikan oleh penulis
[xiii]
ibid, hal. 307. Contoh lain dalam menguatkan teori ini, Nasaruddin
menjelasankan: "Sebetulnya semua ayat-ayat hukum tentang perempuan,
sejauh yang saya kenal punya sebab nuzul. Artinya semua punya historical background. Dalam hal ini berlaku pertanyaan: mana yang harus dijadikan pegangan, apakah sebuah teks atau historical background-nya? Ada yang mengatakan al-‘ibrah bi ‘umËmi al-lafÐ lÉ bi khuÎËÎ al-sabab, yang dipegang adalah universalitas teks, bukan partikularitas sebab. Tapi ada juga pendapat lain. Al-Syatibi mengatakan, al-‘ibrah bi maqÉÎid al-sharÊ’ah, yang
harus dijadikan pegangan adalah apa yang menjadi tujuan dari syari’ah".
Dengan demikian pendapat al-Syatibi itu bisa dipelintir lagi bahwa yang
penting adalah substansi hukum, bukan jenis formalitas hukum yang
termaktub dalam ayat. Lihat: Semua Kitab Suci Bias Gender! 26-4-04, www.islamlib.com
[xiv] Encyclopaedia Britannica, 1994-2001, Deluxe Edition CD-ROM. Teks aslinya berbunyi:
discipline that studies textual, compositional, and historical
questions surrounding the Old and New Testaments. Biblical criticism
lays the groundwork for meaningful interpretation of the Bible
[xv] Phyllis Trible, et. al, Feminist Approaches to the Bible, Biblical Archaelogy Society, Washington, DC., 1995, hal. 7 dan 47
[xvi]
Ia lulus doktor dari London University dengan predikat pujian dalam
Studi Teologi dan Agama. Buku-bukunya yang telah terbit di antaranya: The Development of Christianity, Seekers After Truth dan Examining Four Religions.
[xvii] Michael Keene, Alkitab: Sejarah, Proses Terbentuk dan Pengaruhnya, (penterj. Y. Dwi Koratno), Kanisius, Yogyakarta: 2006, hal. 146-147. Selanjutnya disingkat Alkitab
[xviii] Letty M. Russel, Perempuan & Tafsir Kitab Suci, (Feminist Interpretation of The Bible), terj. Adji A. Sutama dan M. Oloan Tampubolon, Kanisius & BPK Gunung Mulia, Yogyakarta:2003, hal. 86-90
[xix] ibid, hal. 52
[xx]
Dalam Alkitab terdapat banyak sekali ayat-ayat yang secara tekstual
cenderung menindas perempuan. Di antaranya: berjubelnya penyebutan kata bersundal
dalam Alkitab; larangan bagi perempuan untuk mengajar dan memerintah
laki-laki (I Timotius 2:12); perempuan dipersalahkan karena dialah yang
terlebih dulu terbujuk makan buah terlarang (I Timotius 2:13-14); anak
keturunan perempuan menerima kutukan Tuhan atas rayuan Hawa kepada Adam
(Kejadian 3:16, Firman-Nya kepada perempuan itu:
"Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan
kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada
suamimu dan ia akan berkuasa atasmu); tidak ada hak bagi perempuan berbicara dalam gereja (I Korintus 14:34-35); dijadikan simbol kejahatan (Wahyu 17:5-6 "Dan pada dahinya tertulis suatu nama, suatu rahasia: "Babel besar, ibu dari wanita-wanita pelacur dan dari kekejian bumi. Dan aku melihat perempuan itu mabuk oleh darah orang-orang kudus dan darah saksi-saksi Yesus");
derajat perempuan di bawah laki-laki, oleh karena itu harus tunduk
kepada suaminya seperti kepada Tuhan (Efesus 5:22-23); objek seks
laki-laki dari jenis manusia dan makhluk lain (Kejadian 6:2 "maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka"); pencitraan buruk terhadap perempuan untuk menjadi pelacur supaya dicintai Nabi (Hosea 3:1 Berfirmanlah TUHAN kepadaku [Nabi Hosea]: "Pergilah lagi, cintailah perempuan yang suka bersundal dan berzinah, seperti TUHAN juga mencintai orang Israel, sekalipun mereka berpaling kepada allah-allah lain dan menyukai kue kismis".); dll
[xxi] Alkitab, hal. 46
[xxii] Shahrur memaknai kata ini yang terdapat dalam QS. 24:31: وليضربن بخمرهن على جيوبهن
[xxiii] Dr. MuÍammad ShaÍrËr, NaÍwa UÎËlin JadÊdatin li l-Fiqh al-IslÉmÊ: Fiqh al-Mar'ah (al-WaÎiyah – al-irth – al-QawÉmah – al-Ta'addudiyah – al-LibÉs), al-AhÉlÊ, Damaskus, cet I, 2000, hal. 370
[xxiv] ibid, hal. 372-373
[xxv] ibid, hal. 376-378
[xxvi] Sampai batas di sini, sebenarnya Abu Zayd melakukan plagiat terhadap tafsir al-KashshÉf karya
Zamakhshari tanpa menulis rujukannya. Namun bedanya, Zamakhshari
berhenti sampai di sini dan tidak mengatakan sebagai langkah awal menuju
pada penyamaan bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan,
apalagi mengatakan teori al-maskËt 'anhu. Zamakhshari sekedar berijtihad menguak hikmah di balik perbedaan hak waris.
[xxvii] Voice, hal. 178
[xxviii] lihat al- ÙÉhir al-×addÉd, 1992, Imra’atunÉ fi l-SharÊ’ah wa l-Mujtama’, al-DÉr al-TËnisiyyah li l-nashr, khususnya bab Imra’atunÉ fi l-SharÊ’ah (wanita kita dalam syari’ah).
[xxix] al-Mar’ah, hal. 52-58
Sumber: http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=411:paham-kesetaraan-gender-dalam-studi-islam-2&catid=32:gender&Itemid=100
Dari tulisan Mendudukkan al-Qur'an dalam Kerangka Jender
Sumber: http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=411:paham-kesetaraan-gender-dalam-studi-islam-2&catid=32:gender&Itemid=100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar