Oleh Kholili Hasib
Pendahuluan
Belakangan
ini sedang diperdebatkan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG)
di DPR-RI. RUU KKG ini disinyalir membawa paham feminisme. Secara
mendasar, RUU tersebut bertentangan dengan syari’ah Islam. Feminisme
yang lahir dari peradaban Barat sekular menuntut peran perempuan sama (equal) dengan laki-laki di semua aspek kehidupan. Akibatnya, bukan keadilan yang ditampilkan, akan tetapi penyimpangan terhadap fitrah wanita, merusak tatanan hukum Islam dan pembongkaran studi keislaman.
Isu-isu yang ditampilkan merusak wajah Islam, di antaranya; Dekonstruksi konsep kepemimpinan (qawwam)
laki-laki dalam rumah tangga, konsep imam shalat laki-laki, penggunaan
teori gender dalam menafsirkan al-Qur’an dan merombak kurikulum
pendidikan keagamaan.
Makalah ini akan menjelaskan dua hal, pertama, asal-usul faham feminisme dan, kedua, dampaknya dalam studi keislaman.
Asal-Usul Feminisme
Feminisme
adalah paham atau keyakinan bahwa perempuan benar-benar bagian dari
alam manusia, bukan dari yang lain yang menuntut kesetaraan dengan
laki-laki dalam setiap aspek kehidupan, tanpa melihat kodrat dan
fitrahnya. Kesetaraan ini biasanya disebut juga dengan istilah
kesetaraan gender (gender equality). Gender arti aslinya adalah
‘kelamin’. Tapi maknanya meluas menjadi ciri perilaku, budaya dan
psikologis yang dihubungkan dengan jenis kelamin. Pamela Sue Anderson
mengatakan bahwa gender itu perilaku salah satu jenis kelamin yang
merupakan konstruk budaya (nurture) bukan yang alami (nature)[1].
Di sini Pamela meletakkan gender sebagai hasil budaya tidak ada
kaitannya dengan fitrah dan kodrat laki-laki dan perempuan. Oleh karena
pengertian ini, mereka meyakini bahwa homoseks, lesbi dan lain
sebagainya merupakan produk budaya bukan kelainan seks. Laki-laki
memimpin rumah tangga juga diyakini konstruk budaya bukan yang lainnya.
Paham
feminisme bermula dari aktivisme perempuan Barat yang merasa tertindas
oleh ideologi Gereja. Tidak bisa dipungkiri, ajaran gereja pada abad
ke-17 dan 18 tidak memberi tempat yang adil terhadap perempuan bahkan
berlaku kejam. Budaya misogynic (merendahkan perempuan) oleh
Kristen bersumber dari kitab suci Kristen. Tersebut di Bible di
antaranya; “Perempuan lebih dulu berdosa, karena perempuanlah yang
terbujuk oleh ular untuk makan buah terlarang” (Kitab Kejadian [3]:1-6).
Dalam pandangan gereja, perempuan direndahkan sebagai makhluk yang
pertama kali membawa dosa. Selain itu, perempuan merupakan makhluk yang
dikutuk Tuhan. Kitab Kejadian [3]:6 mengatakan: “Wujud kutukan Tuhan
terhadap perempuan adalah kesengsaraan saat mengandung, kesakitan ketika
melahirkan dan akan selalu ditindas laki-laki karena mewarisi dosa”.
Thomas Aquinas, teolog Kristen menyebut perempuan sebagai laki-laki yang
kurang upaya (defective male). Saint Paulus menilai bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua[2].
Korban
Inquisisi pada saat Gereja mendominasi raja-raja Eropa kebanyakan dari
perempuan. Inquisisi adalah lembaga yang didirikan oleh Gereja untuk
mengeksekusi orang-orang Kristen yang membangkang (herecy).
Raja James I, dari Kerajaan Inggris memvonis banyak wanita sebagai nenek
sihir. Mereka dibunuh dengan cara dibakar. Perempuan diyakni membawa
bibit keburukan yang diwarisi oleh Eva (Hawa)[3].
Keyakinan
seperti itu tentu saja mempengaruhi cara pandang manusia Barat terhadap
perempuan. Pada abad pertengahan, perempuan eropa tidak memiliki hak
kekayaan, hak belajar dan turut serta dalam partisipasi politik. Bahkan
di Jerman suami boleh menjual istrinya. Wanita benar-benar dinista
bagaikan barang. Seorang ibu dilarang mendidik anaknya, kecuali ada izin
dari suami[4]. Pandangan-pandangan yang menista wanita ini memicu reaksi para cendekiawan dan ilmuan Barat.
Pertama,
mereka berusaha menafsir ulang ayat-ayat Bible yang merendahkan wanita
tersebut. Bahkan kaum perlawanan membuat Bibel tandingan yang diupayakan
lebih memihak hak wanita Kristen. Mereka membuat revisi kitab suci yang
bernama The Women’s Bible, ditulis dengan tujuan menandingi ayat-ayat yang dipandang merendahkan wanita[5].
Untuk keperluan penafsiran ulang, teolog Kristen menggunakan metode
hermeneutika. Lebih dari itu, berkembang istilah-istilah penafsiran
hermeneutika, yaitu tafsir feminis dan emansipatoris. Dengan metode baru
ini, ayat-ayat Bibel yang nampak misoginik terhadap perempuan dimaknai
dengan arti baru yang menutupi pandangan negatif terhadap perempuan.
Dapat
disimpulkan, pandangan misoginik Gereja terhadap perempuan membuahkan
model-model penafsiran terhadap Bibel. Penafsiran itu bersifat apologis
dan menolak membaca teks-teks Bibel secara harfiah. Apalagi era ini
hampir bersamaan dengan era enlightenment (pencerahan Eropa)
–dimana gerakan para cendekiawan sangat massif melawan otoritas
keagamaan. Ini sebagai bentuk perlawanan terhadap tradisi patriarkhi
kuno yang telah berabad-abad lamanya berdiri secara mapan di dalam
Gereja.
Gerakan pembebasan pada enlightenmen
menjadi momentum penting bagi kaum pembela perempuan. Abad ke-17 bisa
dikatakan gerakan pembebasan bernama feminisme itu mendapat dukungan
secara luas. Muncul tokoh-tokoh wanita yang menentang otoritas agama dan
tradisi kuno patriarkhi. Marry Wollstonecraft disebut-sebut sebagai
wanita Barat yang paling getol melawan misoginisme. Ia kemudian diikuti
oleh wanita liberal lainnya, seperti Helene Brion dari Prancis, Clara
Zetkin dari Jerman, Anna Kuliscioff dari Italia[6].
Meski gerakan ini mendapatkan dukungan luas dari para aktivis perempuan
dari Negara-negara Eropa, namun gerakan feminisme yang menjadikan enlightenmen sebagai ‘kendaraan’, tidak terlalu menyatu dengan gerakan para filsuf.
Para
filsuf dan ilmuan Barat dengan gerakan liberalisasi agamanya,
memfokuskan gerakan kepada isu-isu sosial non-perempuan. Bahkan, status
perempuan sebagai makhluk yang benar-benar bebas belum mendapatkan
kepuasan pada Revolusi Prancis. Padahal Revolusi Prancis disebut sebagai
momentum penting bagi gerakan liberalisasi politik dan keagamaan di
Eropa. Marry Wollstonecraft yang melopori menuntut masih biasnya para
pendukung enlightenmen terhadap perempuan. Ia berhasil. Karyanya yang berjudul A Vindication of the Rights of Women
diterbitkan di Inggris merupakan karya kaum feminis wanita pertama yang
diakui. Dalam bukunya ia mengusulkan laki-laki dan perempuan diberi
kesempatan yang sama dalam bidang politik, pendidikan dan pekerjaan[7].
Pada abad ke-17, dimana pada abad itu gerakan liberalisasi pemikiran
marak di Barat, tapi wanitanya masih dianggap sebagai jelmaan setan
untuk menggoda manusia (laki-laki). Wanita diyakini makhluk yang lemah
iman. Term Feminis, sesunggunya bernilai merendahkan wanita. Feminis
berasal dari kata Fe dan mina. Fe artinya fides atau faith artinya
iman/kepercayaan. Sedangan mina dari kata minus artinya kekurangan.
Artinya term itu menunjukkan wanita adalah makhluk yang kurang iman[8]. Barat memang telah berabad-abad lamanya menindas wanita, sehingga era liberalisasi agama pada zaman enlightenmen-pun masih belum bersih dari tradisi patriarkhi. Ini artinya, misoginisme begitu melekat lama dalam peradaban Barat.
Kedua,
melakukan gerakan sosial. Pada 19-20 Juli 1848 di New York diadakan
konvensi hak-hak perempuan yang diadakan oleh aktivis gender Elizabeth
Candy Stanton. Pertemuan dihadiri oleh para wanita pendukung feminisme
dan para aktivis penolak tradisi patriarkhi Gereja. Konvensi ini
menghasilkan deklarasi yang bernama Declaration of Sentiments.
Isinya usulan reformasi yang luas dan efektif untuk membela hak-hak
perempuan dalam setiap aspek kehidupan. Pada 1854 Stanton pidato di
Dewan Legislatif New York. Hasil pidatonya menghasilkan undang-undang
perceraian dan kesetaraan gaji.
Setelah itu didirikan lembaga-lembaga yang diupayakan membela perempuan Barat. Seperti National Wowan Suffrage Association pada 1869. Pada 1878 dideklarasikan hak-hak perempuan bernama Declaration of Rights for Woman.
Deklarasi ini menandai puncak kebangkitan kaum perempuan Barat melawan
otoritas agama. Yang paling terkenal Stanton menerbitkan karya yang
menghebohkan dunia Gereja, yaitu The Woman’s Bible 2. Karya ini menyindir teolog Kristena klasik[9].
Dalam karya itu Stanton ingin menunjukkan bahwa jika Bible selama ini
‘dikuasai’ laki-laki, maka kenapa kita tidak bisa membuat Bibel yang
‘khas rasa wanita’. Karya inilah yang memicu ideologi kebencian kaum
feminisme terhadap laki-laki.
Ideologi tersebut menimbulkan pemberontakan yang ekstrim. Mereka memiliki frame pemikiran
sama; wanita harus bebas dari laki-laki, sebebas-bebasnya. Misalnya,
kepuasan biologis tidak harus dari laki-laki tapi dari sesama perempuan
(lesbianisme), mencemooh institusi pernikahan, dan tidak mau menyusui.
Bahkan mantan capres AS, Pet Robertson, memprovokasi wanita agar
meninggalkan suami, membunuh anak-anaknya, dan menjadi lesbian[10].
Gerakan emanispasi yang ekstrim di Barat seperti ditulis oleh
Syamsuddin Arif, telah merusak sendi-sendi kehidupan. Akibat feminisme,
mereka mengalami krisis demografi. Data statistik PBB memperkirakan pada
tahun 2030 daratan Eropa akan kehilangan 41 juta penduduk. Ini
diakibatkan enggannya wanita Barat melahirkan dan mengugurkan kandungan.
Jerman diprediksi pada tahun 2060 akan didominasi oleh penduduk
generasi tua jompo[11].
Para wanitanya enggan hamil karena dianggap kehamilan menjadi
penghalang aktifitas karir. Mereka juga banyak yang tidak menikah resmi.
Hubungan biologis dilakukan tanpa ikatan pernikahan. Sebab mereka telah
memiliki cara pandang yang negatif tentang pernikahan yang dianggap
mengekang perempuan.Yang terjadi dalam masyarakat Barat adalah semacam
ideologi balas dendam terhadap lelaki yang telah lama membenci wanita.
Lelaki adalah biang penistaan itu. Segala hal yang berbau kelaki-lakian
dibenci. Ini artinya, paham feminisme atau kesetaraan
gender dipicu oleh respon traumatik terhadap kondisi sosial, politik,
dan budaya orang Barat terhadap wanita.
Ideologi Marxis
Ideologi
kebencian ini menurut Ratna Megawangi bersumber dari paham marxis.
Agenda kaum feminis adalah mewujudkan kesetaraan gender secara
kualitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty)
dalam setiap aspek, baik di luar rumah maupun di dalam rumah. Dalam
perspektif Marxis, laki-laki itu dianggap sebagai pihak musuh. Bahkan
institusi keluarga tidak diperlukan. Institusi keluarga merupakan
institusi yang merendahkan pihak wanita. Menurut perspektif Marxis, yang
pertama-tama harus diperkecil perannya dalam masyarakat komunis adalah
keluarga. Mereka ingin menegakkan masyarakat yang tidak berkelas tidak
ada perbedaan laki-laki dan perempuan. Keluarga dinilai sebagai sumber
ketidakadilan sosial, terutama yang berkaitan dengan relasi antara suami
dan istri. Term-term yang digunakan khas paham marxisme,
seperti mewujudkan kesetaraan gender, anti otoritas, membela perempuan
sebagai kuam yang tertindas, dan pemberdayaan kaum lemah[12].
Ideologi ini sejalan dengan aliran postmodern. Doktrin utama postmodern adalah equality (kesamaan) dalam berbagai hal. Jika dikaitkan dengan paham agama-agama, doktrin equalitiy
menghasilkan paham pluralisme. Dan jika dibaca dalam konteks isu
gender, doktrin ini menghasilkan paham feminisme. Dua paham ini
sama-sama menawarkan doktrin persamaan antarmanusia, meniadakan kelas.
Dalam filsafat postmo konsep kelas didekonstruksi (dibongkar). Atau
meniadakan kaum yang disebut others (pihak lain). Karena konsep others menampilkan kondisi pihak yang inferior, dan tertindas. Mereka menolak pemikiran yang disebut phalogosentris (ide-ide yang dikuasai oleh logos absolut dimana logos dipersepsikan pihak laki-laki)[13]. Dalam postmodern logos itu dibongkar karena dinilai menampilkan otoritas yang absolut.
Di
kalangan feminis muslim, ideologi marxis itu diwariskan. Bahkan sampai
melewati batas-batas kodrat dan fitrah kemanusiaan. Feminis Indonesia,
Siti Musdah Mulia dalam buku Gender Dalam Perspektif Islam,terpengaruh
ideologi kebencian itu. Ia mengusulkan perlunya penafsiran ulang
ayat-ayat al-Qur’an karena penafsiran yang ada dituding sebagai
konspirasi ulama’ –yang berjenis kelamin laki-laki– untuk menempatkan
wanita sebagai pihak subordinat. Lesbian dan homoseks dihalalkan asalkan
dilakukan tanpa merusak kemanusiaan. Kepuasaan biologis
kenapa harus dengan lelaki, jika dengan sesama perempuan bisa diperoleh?
Apalagi lelaki itu cenderung merendahkan wanita. Begitu kira-kira
logika kaum feminis, yang justru merusak kodrat manusia itu sendiri[14].
Implikasi dalam Studi Islam
Paham
kesetaraan gender yang diusung kaum feminis muslim Indonesia tidak saja
meruntuhkan konsep fitrah dan kodrat wanita, akan tetapi juga
mendekonstruksi konsep-konsep dasar dalam studi keislaman. Pada tahun
2004 Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Yogyakarta menerbitkan buku berjudul Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah.
Buku ini ditulis dengan tujuan menjadikan kurikulum di sekolah-sekolah
memakai perspektif gender dalam bebarapa pelajaran terutama pelajaran
agama. Ditulis dalam buku itu bahwa perempuan dalam budaya Islam telah
mengalami penindasan. Term yang dipakai dalam buku tersebut juga term
marxis. Yakni ditulis, kaum wanita tertindas oleh sebuah rezim
laki-laki, sebuah rezim yang memproduksi pandangan-pandangan dan praktik
patriarkhis. Rezim itu oleh buku tersebut bertahan karena dilindungi
ayat-ayat suci.
Buku
tersebut memakai kata ‘rezim’ yang khas dipakai oleh kelompok marxis
dalam memperjuangkan rakyat melawan pemerintah. Selain itu, buku
tersebut menuduh bahwa dalam tradisi Islam terdapat tradisi patriarkhi.
Mereka menabur nilai-nilai kebencian, seakan-akan lelaki itu makhluk
penindas perempuan, mirip dengan apa yang diperjuangkan feminisme Barat
abad ke-18. Dalam pandangan buku itu, konsep kepemimpinan laki-laki
dalam rumah tangga ditolak. Menggugat mengapa wanita tidak menjadi imam
shalat bagi laki-laki dan mengapa shalat Jum’at hanya untuk laki-laki
tapi tidak wajib bagi perempuan.
Bahkan
buku ini cukup ekstrim menolak kodrat wanita. Seperti ditulis dalam
buku itu: “Seorang ibu hanya wajib melaksanakan hal-hal yang sifatnya
kodrati seperti mengandung dan melahirkan. Sedangkan hal-hal yang
bersifat di luar kodrati itu dapat dilakukan oleh seorang bapak. Seperti
mengasuh, menyusui (dapat diganti dengan botol), membimbing, merawat
dan membesarkan, memberi makan, dan minum dan menjaga keselamatan
keluarga[15].
Pandangan
ini jelas merusak konsep kodrat wanita. Menyusui ditolak sebagai kodrat
wanita. Mereka hanya mengaku mengandung dan melahirkan sebagai fitrah
wanita. Padahal Allah menciptakan wanita dengan diberi air susu agar
supaya memang wanita itu bertugas menyusui anaknya. Bahkan menyusui itu
sangat baik dan mempengaruhi hubungan psikologis anak dan ibu. Anak yang
disusui oleh ibunya dengan ASI memiliki kaitan batin dengan ibunya.
Strategi pembelajaran perspektif Gender diatur dalam buku Pengarusutamaan Gender dalam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Buku ditulis oleh Andayani dan kawan-kawan diterbitkan oleh PSW UIN
Sunan Kalijaga. Buku ini terbit atas sponsor dan biaya Mc.Gill
Universitiy. Buku inilah yang menjadi panduan penyusunan silabus
pengajaran beberapa mata kuliah di UIN. Dalam mata kuliah Ulumul Qur’an I
di jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin misalnya, dalam deskripsi
mata kuliah ditulis: “Pendekatan dalam kuliah sedapat mungkin berspektif
gender dengan mengemukakan berbagai contoh yang mendukung kesetaraan
gender”. Masih dalam deskripsi tersebut, bahwa mata kuliah ini juga
mengajarkan teori evolusi syari’ah[16].
Dalam mata kuliah tersebut mahasiswa diajarkan bagaimana menafsirkan
al-Qur’an dalam kerangka paham feminism. Sehingga model tafsir yang
diproduk adalah ‘tafsir feminis’. Semangat ini mirip dengan apa yang
telah dilakukan oleh Stanton dengan karyanya Women’s Bible. Anggapan ini tidak
berlebihan sebab PSW UIN juga memakai metode hermeneutika dalam
menafsirkan al-Qur’an, sama halnya dengan feminism Barat yang
menggunakan metode tersebut untuk memaknai Bibel.
Teori
hermeneutika digunakan untuk menempatkan al-Qur’an dalam kerangka paham
feminisme. Teori ini berakibat fatal, tidak saja mendekonstruksi
hukum-hukum Islam, akan tetapi berimplikasi menempatkan al-Qur’an
sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi). Sebuah buku hasil disertasi berjudul Argumentasi Kesetaraan Jender: Pespektif al-Qur’an
menjelaskan langkah metodologis dalam menempatkan al-Qur’an ke dalam
kerangka faham kesetaraan gender. Di antaranya ditulis; “mendudukkan
al-Qur’an setara dengan teks naskah-naskah lainnya yang tidak memiliki
makna kesucian, melakukan kritik terhadap metode tafsir dan ulumul
Qur’an yang telah digali sejak zaman sahabat dalam berinteraksi dengan
al-Qur’an. Buku itu mengkritik penggunaan bahasa, diman Tuhan
menggunakan kata ganti laki-laki (mudzakkar). Seperti kata ganti (huwa). Tulisan tersebut mengindikasikan seakan-akan Tuhan itu bias gender[17].
Tuduhan
ini tidak rasional dan membingungkan. Sebab, tidak ada sama sekali
petunjuk bahwa kata ganti laki-laki dalam bahasa Arab al-Qur’an itu
digunakan untuk menindas perempuan. Pertanyaan yang mereka ajukan adalah
kenapa kata ganti Tuhan selalu laki-laki tidak perempuan, ini
menunjukkan hegemoni laki-laki. Kata ganti laki-laki dan perempuan dalam
bahasa Arab untuk semua benda-benda. Jika cara pandanganya seperti kaum
feminis, maka kita dibuat bingung. Sebab misalnya papan tulis yang
bahasa arabnya sabburotun (kata benda bentuk feminim) apakah papan tulis itu kedudukannya lebih rendah dari pena yang bahasa arabnya qalamun (kata benda bentuk maskulin). Dalam bahasa Arab tidak ada pembedaan hal seperti itu.
Cara
pandang yang seperti itu dipraktikkan dalam menulis penelitian di
perguruan tinggi Islam. Seperti terdapat tesis yang dibukukan dengan
judul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender.
Buku ini menguraikan perlunya memandang al-Qur’an secara terpisah,
antara kedudukannya yang sakral-absolut di satu sisi dan yang
profan-fleksibel/relatif di sisi lain. Menurut buku itu al-Qur’an yang
sakral hanyalah pesan Tuhan yang ada di sisi-Nya atau di lauh mahfudz
dan itupun masih belum jelas. Oleh sebab itu menurutnya tidak salah
manusia bermain-main dengan al-Qur’an yang sekarang dengan teksnya
tertulis itu. Di bab ke-IV buku itu, dikupas perspektif gender dalam
menafsirkan al-Qur’an. Jika perspektif itu diajarkan, maka pembelajar
akan mendapatkan keyakinan yang dekonstruktif yaitu, syari’ah Islam itu
sudah tidak cocok lagi, al-Qur’an tidak sakral, dan tafsir al-Qur’an
klasik tidak bisa digunakan karena bias tradisi patriarkhi.
Problem Keadilan
Kesetaraan
yang diusung feminis bukan keadilan yang sesungguhnya. Problemnya,
kesetaraan dalam hal apa saja. Tidak ada penjelasan. Jika disebut dalam
RUU KG kesetaraan dalam semua aspek kehidupan, maka yang terjadi adalah
ketimpangan dan kerusakan tatanan sosial. Mungkinkah olah
raga sepak bola tidak memandang jenis kelamin? Laki-laki dan wanita
bebas membentuk tim. Tidak mungkin juga olahraga tinju dan pencak silat
tidak dibedakan laki-laki dan perempuan. Tenis dan bulu tangkis saja
dibedakan regu pria dan wanita. Bahkan toilet pun dipisah. Kenapa
dibedakan? Karena secara kodrat, fitrah, kekuatan badan dan biologis
memang berbeda. Ini harus diakui.
Padahal
keadilan itu tidak haru sama persis, sama-sama warna, sama berat, sama
tempat dan sama wajah. Adil itu menempatkan sesuatu sesuai porsi,
kodrat, dan potensi. Jika ada perbedaan disebabkan potensi itu, maka hal
itu tidak dapat ditafsirkan sebagai perbedaan kedudukan dan derajat.
Di
sisi Allah pria dan wanita itu sama. Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 35
cukup memberi penjelasan. Baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat
ampunan dan pahala yang sama besar jika mereka ta’at, sabar, bersedekah
dan senantiasa mengingat Allah. Di ayat itu tidak ada pembedaan sama
sekali lelaki yang bersedekah pahalanya lebih besar daripada perempuan
bersedekah. Amal sholeh dan keimanan dalam Islam tidak ditentukan jenis kelamin (QS Ali-Imran: 195).
Laki-laki
menjadi imam shalat bagi wanita, tidak dapat ditafsirkan bahwa imam itu
pahalanya lebih besar daripada makmum yang wanita. Ini sekedar
pembagian tugas berjamaah. Posisi laki-laki di depan dan jamaah wanita
di belakang. Ini juga bukan pembedaan kedudukan di sisi Allah. Ini
sekedar strategi managerial dalam mengatur kekhusyukan. Wanita itu,
semua kalangan mengakui, jika ‘dipublish’ akan menarik perhatian pria.
Begitu
pula kepemimpinan dalam rumah tangga. Kedudukan dan derajat suami
sebagai pemimpin rumah tangga tidak dapat dinilai bahwa suami lebih
tinggi derajatnya dibanding istri. Ini juga hanya pembagian tugas.
Masing-masing memiliki tugas. Persoalan yang terjadi dalam pikiran kaum
feminis adalah cara pandang. Mereka mengira, derajat dan kedudukan itu
semata-mata diukur secara material dan empirik. Mereka menganggap
jabatan pemimpin itu tanda kemuliaan. Seperti halnya mengira harta yang
banyak itu membahagiakan, padahal belum tentu. Dalam Islam, jabatan
kepempimpinan dan harta itu amanah, tugas dan perintah yang harus
dijalankan dengan baik.
Efek
negatif yang bisa ditimbulkan dari paham kesetaraan gender adalah
ideologi relatifisme. Relativisme ini meniadakan syariah dalam mengatur
hubungan antarmanusia. Akibatnya, mereka menghalalkan
praktik homoseksual, sebab dianggap itu sebagai hak asasi manusia dan
orientasi seksual itu sebuah pilihan yang tidak boleh dilawan, oleh
syariah sekalipun. Dalam pandangan kaum feminis, menjadi lesbianis
seorang perempuan memiliki kontrol yang sama dan tidak ada dominasi
dalam hubungan seksual.
Adapun
isu kesetaraan gender selama ini lahir karena pemberontakan wanita
Barat terhadap doktrin gereja. Isu kesetaraan gender membuat perempuat
Barat mengingkari kodrat mereka seperti perempuan. Dimana hal itu tidak
pernah dialami dalam tradisi Islam. Sehingga sepatutnya pengalaman itu
tidak dipraktikkan dalam hukum Islam. Apalagi paham feminism merupakan bagian dari liberalisasi dan sekularisasi agama yang berdasarkan pada paham relativisme.
Penutup
Walhasil,
gerakan perempuan justru menjauhkan dari fitrah dan kodratnya. Yang
tepat itu bukan kesetaraan tapi keserasian. Pria dan wanita secara
fitrah dan kodrat berbeda, tidak setara secara biologis. Perbedaan itu
tidak menghalangi yang satu melebihi yang lain. Namun, saling
melengkapi, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Sehingga
lebih indah jika kita sebut keserasian. Konsep keserasian tidak
menyamaratakan tapi saling mengisi kelebihan dan kekurangan. Jadi,
kenapa harus menjadi feminis untuk mencari keadilan wanita jika dalam
konsep Islam telah jelas diterangkan? Apalagi sampai merombak syari’ah
dan ayat-ayat al-Qur’an. Konsep equality bukan solusi, akan
tetapi kita dapat menafsirkan itu sebagai proyek hegemonik penguasaan
Barat terhadap dunia global, bukan semata-mata mencarikan wanita
keadilan dan kemulyaan. []
DAFTAR PUSTAKA
Abul A’la al-Maududi, Al-Hijab,(Bandung: Gema Risalah Press, 1995)
Adian Husaini,Wajah Peradaban Barat,(Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
Andayani dkk, Pengarusutamaan Gender dalam Kurikulum IAIN,(Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2004)
Gadis Arivia, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berpsektif Feminis, Disertasi (Depok: Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2002)
Henry Shalahuddin, Menimbang Paham Kesetaraan Gender: Konsep dan Latar Belakang Sejarah, makalah dipresentasikan pada acara Training of Trainer pada 15/02/2012 di INSIST Jakarta
Jurnal Islamia Vol. III No. 5 thn 2010
Nazaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an,(Jakarta: Paramadina, 2001)
Pamela Sue Anderson, A Feminist Philosophy of Religion: The Rationality and Mysths of Religious Belief, (Oxford: Blackwell Publishers UK, tanpa tahun)
Penafsiran al-Kitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan terj. Indra Sanjaya, (Yogyakarta: Kanisius)
Philip J Adler,World Civilization,(Belmont: Wasworth, 200)
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?(Bandung: Mizan, 1999), hal. 11
Siti Mudah Mulia, Gender Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kementrian Pemberdaayaan Perempauan, 2007)
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gema Insani Press, 2008)
Tim PSW UIN Sunan Kalijaga, Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah,(Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga,2004), hal. 42-43
[1] Pamela Sue Anderson,A Feminist Philosophy of Religion: The Rationality and Mysths of Religious Belief, (Oxford: Blackwell Publishers UK), hal. 6
[2] Gadis Arivia,Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berpsektif Feminis, Disertasi (Depok: Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2002), hal. 95
[3] Abul A’la al-Maududi, Al-Hijab,(Bandung: Gema Risalah Press, 1995), hal. 52
[4] Henry Shalahuddin,Menimbang Paham Kesetaraan Gender:Konsep dan Latar Belakang Sejarah,makalah dipresentasikan pada acara Training of Trainer pada 15/02/2012 di INSIST Jakarta
[5] Penafsiran al-Kitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan terj. Indra Sanjaya, (Yogyakarta: Kanisius), hal. 86-90
[6] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hal. 106
[7] Henry Shalahuddin,Menimbang Paham Kesetaraan Gender:Konsep dan Latar Belakang Sejarah, … hal. 9
[8] Philip J Adler,World Civilization,(Belmont: Wasworth, 200), hal. 289 dalam Adian Husaini,Kesetaraan Gender:Konsep dan Dampaknya terhadap Islam, Jurnal Islamia Vol. III No. 5 thn 2010
[9] Ibid,…hal. 10
[10] Syamsuddin Arif,Orientalis dan Diabolisme Pemikiran….hal.
[11] Ibid,..hal. 108
[12] Ratna Megawangi,Membiarkan Berbeda?(Bandung: Mizan, 1999), hal. 11
[13] Jurnal Islamia Vol. III No. 5 tahun 2010, hal. 33
[14] Siti Mudah Mulia, Gender Dalam Perspektif Islam,(Jakarta: Kementrian Pemberdaayaan Perempauan, 2007). Lihat juga penjelasan tentang laporan majalah the Economist yang berjudul Let them wed yang
mengimbau agar kaum gay dan lesi diberi hak untuk melakukan perkawinan.
Alasannya sederhana, mengapa orang yang mau melakukan tindakan yang
tidak merugikan orang lain sedikipun dilarang? Baca, Adian Husaini,Wajah Peradaban Barat,(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 10
[15] Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah,(Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga,2004), hal. 42-43
[16] Andayani dkk, Pengarusutamaan Gender dalam Kurikulum IAIN,(Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2004)
[17] Nazaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 266
sumber: http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1106%3Apaham-feminisme-dan-dampaknya-terhadap-dekonstruksi-studi-islam&catid=1%3Afikih-dan-syariah&Itemid=101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar