Senin, 09 April 2012

Kritik atas Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan

Oleh Luqman Hakim[1]
                  
Akhir-akhir ini, wacana kesetaraan gender di Indonesia telah menjadi program sosial yang disosialisakan melalui ranah politik dan akademik. Dalam ranah politik, sosialisasi kesetaraan gender telah dilakukan melalui lembaga pemerintahan seperti tim Pengarusutamaan Jender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, dan juga melalui LSM-LSM yang kian menjamur. Adapun dalam ranah akademik, telah didirikan institusi-institusi Pusat Studi Wanita (PSW) di berbagai perguruan tinggi yang pada tahun 2005 telah mencapai 132 di berbagai Universitas di Indonesia[2]. Buku-buku berbahasa Indonesia yang membahas tentang kesetaraan gender juga semakin banyak diterbitkan[3].


          Pada awalnya wacana kesetaraan gender beredar di negara-negara Barat dikarenakan perempuan di sana diperlakukan diskriminatif[4]. Lalu pada beberapa dekade terakhir (sekitar tahun 1970-an) wacana kesetaraan gender ikut melanda  dunia muslim[5]. Sejak saat itu, isu kesetaraan gender menjadi ramai diperbincangkan di berbagai negara muslim, termasuk Indonesia[6].
          Adapun dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender, salah satu landasan teoritis yang dibangun untuk mewujudkan kesetaraan gender oleh kaum feminis  adalah melalui teologi, yaitu teologi pembebasan[7]. Teologi pembebasan yang diterapkan pada perempuan yang dianggap kelas tertindas disebut teologi feminis (feminist theology), yang kemudian berkembang dalam berbagai agama seperti Kristen, Yahudi, dan Islam[8]. Jadi, salah satu landasan teori yang dibangun oleh kaum feminis untuk mewujudkan kesetaraan gender adalah teologi feminisme, yang merupakan mazhab dari teologi pembebasan.
          Salah satu tokoh feminis yang disebut-sebut sebagai pelopor teologi feminisme dalam Islam dan sering menjadi rujukan kaum feminisme di Indonesia adalah Riffat Hassan[9]. Ia pernah menyatakan bahwa penyebab perempuan dipandang inferior dalam  berbagai hal berakar dari teologi yang selama ini hanya ditafsirkan oleh laki-laki[10]. Dari sini, ia kemudian mengkonstruksikan teologi feminisme (baca: teologi kesetaraan gender) dalam konteks Islam yang menurutnya tidak hanya perempuan yang akan dibebaskan dari struktur dan hukum yang tidak adil, tapi juga laki-laki[11].
          Dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji konstruksi teologi yang dilakukan oleh Riffat Hassan untuk mewujudkan kesetaraan gender, implikasi yang ditimbulkan darinya, serta bagaimana hubungan keserasian perempuan dan laki-laki dalam Islam.

B.   Konstruksi Epistemologi Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan

Secara eksplisit, Riffat Hassan tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang disebut dengan teologi, namun ia menyatakan bahwa saat ini sangat penting sekali untuk mengembangkan teologi feminisme dalam konteks keislaman, sebagaimana di Barat telah dikembangkan teologi feminis dalam konteks Kristen dan Yahudi[12]. Di sini Riffat Hassan terlihat memahami dan mengadopsi teologi feminisme yang ada di Barat.
Adapun teologi feminisme yang berkembang di Barat[13] merupakan bagian dari teologi pembebasan[14] yang lahir dalam agama kristen[15]. Kalau dalam teologi pembebasan kelas yang tertindas adalah kaum miskin dan kaum tertindas lainnya, maka dalam teologi feminisme yang berkembang di Barat kelas tertindas yang dimaksud adalah perempuan[16]. Atau dengan kata lain, kalau dalam teologi pembebasan bermaksud membebaskan kaum miskin dan kaum tertindas lainnya dari ketidakadilan, maka dalam teologi feminisme bermaksud membebaskan perempuan dari ketertindasan dan ketidakadilan.
Teologi pembebasan (yang berarti juga teologi feminisme) berupaya mengejewantahkan kepercayaan dalam perbuatan (praxis) atau refleksi kritis terhadap praktek keagamaan[17]. Langkah kerjanya ialah  mengkontekstualisasikan agama dengan realitas sosial[18] sehingga ajaran agama menjadi nomor dua, yang dipentingkan justru bagaimana ia merespons keadaan sosial, yang pada akhirnya kebenaran agama menjadi kontekstual[19]. Adapun dalam Islam, pokok pembahasan teologi (ushuluddin/tauhid) merupakan basis dari agama[20] yang juga tidak  melepas unsur-unsur Islam yang bersifat praxis. Hanya saja, pembahasan terhadap unsur praxis agama tidak bisa melepaskan apa yang menjadi basisnya.[21] Karena itu, konsepsi teologi pembebasan  dan teologi feminisme tidak sesuai dengan konsepsi teologi dalam Islam.
Namun bagi Riffat Hassan, teologi feminisme dalam konteks keislaman perlu dikembangkan, walaupun ia berasal dari Barat[22]. Ia beralasan bahwa tidak hanya perempuan di Barat yang tertindas dan dianggap tidak setara sehingga perempuan dianggap makhluk sekunder dan berada di bawah laki-laki, tapi juga dalam Islam.[23]
Padahal berbeda dengan perempuan di Barat yang memiliki sejarah yang kelam  lantaran perempuan dipandang hina dan diperlakukan secara diskriminatif[24], dalam Islam perempuan justru dimuliakan. Kedatangan Islam telah mengeliminasi adat-istiadat jahiliyah yang merugikan kaum perempuan[25] serta mengangkat  harkat dan martabat mereka. Kalau subordinasi terhadap perempuan di Barat mendapatkan legitimasi  dari Bible[26], dalam al-Quran perempuan justru dimuliakan[27].

Adapun dalam rangka membangun epistemologi teologi kesetaraan gender, Riffat Hassan melalui beberapa langkah, yaitu:

1.    Menggunakan pendekatan normatif-idealis dan historis empiris

Langkah pertama yang dilakukan Riffat Hassan adalah menggunakan pendekatan dua level, yaitu: Pertama, pendekatan normatif-idealis dengan melihat deskripsi normatif al-Quran tentang perempuan. Seperti bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-Quran, tingkah lakunya, relasinya dengan Tuhannya, orang lain maupun dirinya sendiri. Kedua, pendekatan historis-empiris, dengan melihat kondisi empiris perlakuan terhadap perempuan yang dipraktikkan dalam masyarakat.  Dengan demikian, akan tampak bagaimana kondisi antara yang idealis-normatif dengan yang relistis-empiris. Menurut Riffat Hassan, data empiris membuktikan bahwa dalam kasus perempuan ternyata terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara pesan al-Quran dengan kenyataan di lapangan. Hal ini menurutnya merupakan keadaan yang dialami hampir semua perempuan di manapun mereka berada[28].
Di sinilah kemudian Riffat Hassan tampak menggeneralisir permasalahan, seolah-olah semua permpuan muslim yang ada di dunia mengalami hal serupa. Padahal, kalaupun benar apa yang diutarakan Riffat Hassan bahwasanya dalam kenyataan di lapangan perempuan tidak sesuai dengan pesan al-Quran, bisa saja itu hanya kasus lokal di tempat tertentu yang terjadi lantaran sekelompok muslim tidak melaksanakan pesan al-Quran dengan baik.

2.    Melakukan Dekonstruksi Pemikiran Keagamaan yang (Menurutnya) Bias Gender

Pandangan Riffat Hassan di atas kemudian menjadikan dia berasumsi bahwasanya penyebab adanya ketertindasan perempuan di lapangan  berpangkal pada adanya kekeliruan pada asumsi teologis yang berkenaan dengan perempuan[29]. Berangkat dari asumsi ini Riffat Hassan menyatakan bahwa sekalipun terdapat perbaikan-perbaikan secara statistik, seperti hak-hak pendidikan, pekerjaan dan hak-hak sosial politik, perempuan akan tetap dianggap berada di bawah laki-laki jika landasan teologis yang melahirkan kecendrungan-kecendrungan yang bersifat misoginis dalam tradisi Islam tersebut tidak dibongkar[30].
Oleh karena itu, untuk mengembangkan teologi feminis (kesetaraan gender) dalam konteks Islam, yang pertama kali dilakukan Riffat Hassan adalah memeriksa landasan teologis yang berhubungan dengan perempuan. Ia memandang sumber-sumber  Islam seperti  al-Quran, sunnah, kepustakaan hadits dan fiqih hanya ditafsirkan oleh laki-laki, sehingga hasil penafsiran mereka akan cenderung merendahkan perempuan karena ingin mempertahankan status quo mereka[31]. Maka dari itulah, Riffat Hassan kemudian melakukan dekonstruksi[32] terhadap penafsiran yang telah dilakukan ulama. Tidak hanya itu, ia juga mendekonstruksi metodologi para ulama dalam melakukan penafsiran terhadap al-Quran.
Pandangan Riffat Hassan ini tampak berlebihan dan perlu dipertanyakan kebenarannya. Kalau anggapan Riffat Hassan benar bahwa adanya diskriminasi terhadap perempuan di masyarakat selama ini disebabkan sumber-sumber Islam tersebut hanya ditafsirkan oleh laki-laki, mengapa para perempuan muslim sejak zaman Nabi sampai sekarang tidak ada yang “protes” terhadap penafsiran yang dilakukan kaum laki-laki. Penting diketahui bahwa perempuan-perempuan muslim sejak zaman Nabi telah berkecimpung dalam dunia keilmuan, sehingga mereka pantas disebut ulama[33]. Namun, tidak ada dari mereka yang memiliki anggapan yang sama dengan Riffat Hassan, yaitu  adanya diskriminasi terhadap perempuan di masyarakat disebabkan sumber-sumber Islam hanya ditafsirkan oleh laki-laki.  Padahal mereka dikenal sangat kritis terhadap pemahaman agama.
Dalam tradisi keilmuan Islam, kualitas keimanan dan keilmuan seseorang sangat diperhatikan dan diperhitungkan, bukan karena dia itu laki-laki atau perempuan, termasuk dalam penafsiran. Karena itu, terdapat beberapa syarat dan adab  yang ditetapkan bagi siapapun yang ingin menjadi mufasir sehingga membatasi kemungkinan adanya penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut Dr. Muhammad Nabil Ghanaim syarat-syarat tersebut ialah: 1) memiliki pengetahuan yang dalam tentang al-Quran dan Sunnah, 2) mengetahui pendapat para sahabat dan tafsir mereka terhadap al-Quran, 3) memiliki akidah yang lurus dan memegang teguh sunnah, dan 4) menguasai i’rab bahasa Arab.[34]  Adapun adab-adab yang harus dimiliki oleh penafsir menurut  Manna’ Khalil al-Qattan ialah; berniat baik, berakhlak baik, ta’at dan beramal, berlaku jujur dan teliti dalam penukilan,  tawaddu’ dan lemah lembut, berjiwa mulia, vokal, berpenampilan baik, bersikap tenang dan mantap, mendahulukan orang yang lebih utama, serta mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.[35]Oleh karena itu, walaupun mufasir tersebut laki-laki, maka tidak ada halangan untuk mengakui penafsiran mereka selama mereka berpegang pada persyaratan-persyaratan dan adab-adab di atas.

3.    Melakukan Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan yang (Menurutnya) Tidak Bias Gender

Setelah melakukan dekonstruksi terhadap pemikiran keagamaan yang (menurutnya) bias gender, Riffat Hassan kemudian menyatakan diri sebagai teolog feminis[36] dengan jalan menafsirkan ulang sumber-sumber Islam yang menjadi landasan teologi berdasarkan pengalaman perempuan.[37] Hal itu ia lakukan dengan tujuan membantah penafsiran para ulama yang dianggap merugikan perempuan.
Gagasan untuk menafsirkan ulang landasan teologi berkenaan dengan perempuan yang dilakukan Riffat Hassan ini sebenarnya hanyalah mengikuti para feminis di Barat, terutama yang beragama Kristen. Dalam teologi feminisme yang ada di Kristen, untuk menafsirkan kitab suci mereka bisa menggunakan pengalaman-pengalaman kongkret perempuan[38]. Para perempuan di sana tidak puas karena landasan teologi mereka hanya ditafsirkan oleh laki-laki. Misalnya di antara mereka ada yang berkata, “Kita (para perempuan) perlu mengalahkan rasa takut untuk mengembangkan teologi kita sendiri; kita perlu menafsirkan dan mensistematikan pengalaman-pengalaman kita sendiri di dalam masyarakat Kristen di mana kita hidup”.[39] Begitu juga dengan pernyataan Riffat Hassan bahwa penafsiran al-Quran yang selama ini hanya dilakukan oleh laki-laki akan cenderung merendahkan wanita karena ingin mempertahankan status quo mereka, mirip dengan pernyataan salah seorang feminis Barat, Sarah Grimke. Sarah menyatakan bahwa penafsiran kitab Bible secara sengaja dibiaskan terhadap kaum perempuan guna mempertahankan posisi subordinatif (sekunder) mereka (laki-laki).[40] Oleh karena itu, ide Riffat Hassan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh para feminis di Barat. Padahal sebagaimana dijelaskan di atas, persoalan yang ada dalam dunia Islam tidak bisa disamakan dengan persoalan yang ada di Barat, begitu juga dengan solusinya.[41]
Ketika Riffat Hassan berupaya melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat yang hanya ditafsirkan oleh laki-laki sehingga (menurutnya) terjadi bias gender, maka ia kemudian melakukan rekonstruksi dengan menawarkan metodologi penafsiran yang menggunakan pendekatan hermeneutika. Dalam hal ini ia mengikuti metode penafsiran al-Quran yang dikemukakan oleh Fazlurrahman[42], yaitu menggunakan metode historis kritis yang membedakan aspek ideal moral dan legal formal[43]. Namun, dari pembedaan dua aspek tersebut, yang dipilih adalah aspek ideal moral yang berisi spirit dan ide-ide al-Qur’an yang dianggap universal, daripada aspek legal formal yang dianggap parsial. Alasan dipilihnya aspek ideal moral ini, karena aspek inilah yang diharapkan oleh mereka dapat menafsirkan al-Qur’an secara utuh dan holistik.[44]
Teori Fazlurrahman ini dikenal dengan teori gerakan ganda (double movement)[45] yang diambil dari Emilio Betti, seorang penganut hermenutika mazhab objektivis yang ingin menekankan pada nilai-nilai objektif teks -sebagai pemilik kedaulatan sepenuhnya- dan sebisa mungkin menghindari intervensi subjektif. Dalam konteks penafsiran al-Qur’an, penafsiran akan dilakukan oleh al-Qur’an itu sendiri.[46]
Namun kenyataanya aplikasi hermenutika aliran objektif  ini sebenarnya menyisakan ruang yang subjektif. Penafsiran akan selalu terbuka dan selalu memerlukan revisi, menolak hal yang permanen dalam tafsir al-Qur’an, mempertahankan makna normatif dan historis dan kebenaran hanya sebatas kondisional tergantung budaya dan lingkungan historis, serta yang paling mendasar adalah terbukanya ruang bagi munculnya tafsir dugaan dan tafsir keraguan.[47]
  Riffat Hassan juga mengembangkan tiga prinsip metodologis sebagai operasionalisasi metode yang ditawarkannya, terutama ketika ia mencoba melakukan penafsiran tandingan. Ketiga prinsip metodologis tersebut adalah: (1) linguistic accuracy, yaitu memeriksa ketepatan makna kata dari berbagai konsep yang ada dalam al-Quran dengan menggunakan analisis semantik, (2) criterion of philosophical consistency, melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran-penafsiran yang telah ada, dan (3) ethical criterion, menggunakan prinsip etis, yang didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan perceminan dari justice of God atau keadilan Tuhan[48]
Dari rekonstruksi metodologi penafsiran Riffat Hassan ini, ada beberapa kritik yang dapat diajukan, antara lain:
Pertama, dalam memperoleh makna ketepatan teks, Riffat menggunakan analisis semantik berdasarkan konteks historis-sosiologis ketika kata atau konsep tersebut dipakai. Metode ini tetap menyajikan pertanyaan bagi kita bagaimana seseorang dapat memperoleh gambaran utuh mengenai sosial waktu itu, sebab terdapat jarak yang sangat jauh antara sosial pada waktu teks-teks tersebut dilahirkan dengan situasi sosial dewasa ini, ketika teks-teks itu dijadikan rujukan. Implikasi teoritisnya, sangat mungkin akan terjadi bias-bias kesejarahan dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Pertanyaannya, dari mana kita mengetahui gambaran situasi sosial saat itu? Mungkin seseorang akan menggunakan riwayat-riwayat asbabun nuzul, akan tetapi, keberadaannya sedikit dan tidak semua ayat mempunyai asbabun nuzul.
Kedua, Riffat Hassan justru  memiliki kecendrungan bias gender ketika melakukan penafsiran, padahal dia telah menuduh para mufassir yang melakukan bias gender. Hal itu terlihat ketika Riffat Hassan menafsirkan kata “Adam”. Menurutnya, kata tersebut berasal dari adamah bahasa Ibrani yang berarti tanah, ditafsirkan sebagai suatu konsep atau salah satu spesies, bukan nama diri. Kemudian Riffat sampai pada kesimpulan bahwa Adam tidak harus laki-laki, tapi bisa jadi perempuan. Sebab menurutnya, jika Adam itu laki-laki mestinya kata yang tepat untuk menyertai Adam adalah kata zaujatun, bukan zauj, tapi mengapa al-Quran menggunakan kata zauj? Penafsiran Riffat semacam itu di samping secara linguistik (gramatika bahasa Arab) tidak tepat, karena kata Adam dilihat dari sisi redaksinya (lafadz) jelas mudzakkar, lalu mengapa seolah-olah Riffat mengandaikan bahwa Adam bisa jadi perempuan. Demikian pula kata zauj, meskipun lafadznya mudzakkar, karena tidak ada ta’ ta’nits-nya, namun ia tetap bersifat netral, sehingga bisa dipakai untuk laki-laki dan juga bisa perempuan.
Jika ditelisik  dari analisis linguistik, Adam memang berjenis laki-laki, sebab kata ganti (dhamir) yang merujuk pada kata ganti “Adam” semuanya menggunakan dhamir mukhattab mudzakkar, yaitu anta (kamu laki-laki), di antara yang paling tegas adalah ayat yang berbunyi “uskun anta wa zaujaka al-Jannah” dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 35 dan Q.S. al-A’raf [7]: 19. Dalam kedua ayat tersebut, kata uskun sudah cukup mengisyaratkan Adam sebagai mudzakkar (laki-laki), tetapi diperkuat dengan kata anta[49] yang menunjukkan orang pertama tunggal laki-laki, karena di-athaf-kan kepada kata zaujaka. Dengan demikian kata zaujaka dapat dipastikan sebagai perempuan.
Selanjutnya tentang pengertian Adam yang oleh Riffat Hassan ditafsirkan bukan nama diri, melainkan sebagai istilah generik bagi manusia, nampaknya justru jumhur ulama yang lebih kuat, karena mereka juga mendasarkan pengertiannya pada ayat lain yang memperjelas pengertian Adam. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam  Q.S. al-A’raf [7]: 7 kata Adam dikaitkan dengan kalimat seru, yaa bani Adam yang berarti anak turun Adam (manusia). Munasabah ayat berikutnya adalah kata abawaikum yang berarti kedua orang tuamu yang diturunkan dari surga (Adam dan Hawa). Berarti Adam ini manusia sebagai nama diri. Pada Q.S. Ali Imron [3]: 59 menunjukkan perbandingan penciptaan nabi Isa yang tanpa ayah dengan Adam yang tanpa ayah dan tanpa ibu. Jika kata Adam diartikan spesies manusia, bukan nama diri, maka membandingkan penciptaan Nabi Isa dengan manusia secara umum jelas tidak comparible dan tidak logis. Di sinilah terjadi inkosistensi Riffat Hassan dalam menggunakan analisis semantik.
Ketiga, menurut Riffat Hassan, penafsiran akan dinilai benar secara metodologis, jika selaras dengan prinsip-prinsip keadilan. Masalah yang muncul kemudian, apa ukuran keadilan itu? Siapa yang menentukan ukuran keadilan tersebut? Hal ini malah akan menjadikan penafsiran liar. Manusia justru akan menjadi “penguasa” al-Quran, karena akan berpotensi hanya sekedar mengikuti hawa nafsu, atau untuk memperjuangkan kepentingan dunia tertentu, yang hal itu dikategorikan oleh para ahli tafsir sebagai tafsir yang dilarang/dicela[50]. Adil dalam pandangan Riffat Hassan dan para feminis yang lain adalah harus setara 50:50 atau sama rata sama rasa. Padahal, adil dalam Islam adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya[51]. Apa yang diberikan Allah pada laki-laki, tidak harus selalu sama dengan yang diberikan pada perempuan. Pembedaan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan bias gender.
Adapun metodologi yang telah dibangun oleh ulama, akan mempersempit kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam penafsiran. Hal itu dikarenakan, ketika mau menafsirkan al-Quran, seorang mufassir harus mengikuti prosedur khusus yang disebut dengan hirarki penafsiran. Prosedur tersebut ialah: 1) menafsirkan al-Quran dengan al-Qur’an, karena ketika ada ungkapan yang masih umum dalam satu ayat akan ditafsirkan pada ayat lainnya, 2) menafsirkan dengan  hadits, karena fungsinya sebagai penjelas bagi al-Qur’an, 3) kalau tidak terdapat dalam keduanya, maka mencarinya pada pendapat-pendapat para sahabat, karena mereka menyaksikan al-Qur’an dan situasi ketika turunnya, 4) kalau belum terdapat maka mencarinya dari penjelasan tabi’in, karena secara umum mereka menerima penafsiran dari para sahabat, 5) jika tidak terdapat juga maka mencarinya dengan pendekatan kebahasaan, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, dan 6) mencari kandungan makna kalam, dan penjelasan sekilas inti syari’at.[52] Tujuannya  adalah untuk menjaga keindahan dan keagungan wahyu,[53] serta untuk membatasi kemungkinan adanya penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an, dan tidak liar seperti hermeneutika yang membuka penafsiran seluas mungkin bagi siapa saja untuk menginterpretasikan teks.[54]

C.    Implikasi Teologi Kesetaraan Gender Riffat Hassan

1.    Penolakan terhadap Hadits Shahih
Dalam membangun epistemologi teologi kesetaraan gender, Riffat Hassan menjadikan al-Quran sebagai pijakan utama, namun dalam beberapa kasus menolak hadits, jika hadits tersebut menurutnya tidak sejalan dengan semangat al-Quran. Ia memposisikan hadits sebagai sumber yang relatif dan dapat diperdebatkan (debatable). Dengan kata lain, hadits tidak begitu saja digunakan tanpa nyaris kritik. Sebab menurutnya, hadits tidak ada jaminan mengenai orisinalitasnya, termasuk hadits-hadits yang tercantum dalam kitab hadits Imam Bukhari Muslim di mana semua ulama sepakat atas keshahihan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh keduanya[55]. Padahal, sebagaimana dikatakan Imam al-Ghazali, jika menafsirkan al-Quran dengan pendekatan linguistik semata-mata, tanpa menghiraukan keterangan hadits dan riwayat yang shahih, maka hal ini dilarang dan dikecam.[56]
Sebagai contoh Riffat Hassan menolak hadits tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam meskipun riwayat tersebut telah dianggap shahih. Ia mengklaim bahwa hadits tersebut tidak sejalan dengan spirit al-Quran dan karenanya harus ditolak. Ia juga menyatakan bahwa hadits tersebut dha’if karena terdapat rawi (periwayat hadits) yang lemah[57].
Sebenarnya, Riffat Hassan melakukan kecerobohan dalam mengkritik hadits tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam[58] tersebut. Riffat Hassan menyatakan hadits-hadits tersebut dha’if karena ada empat orang perawinya (Maisarah al-Asyja’i, Haramalah ibn Yahya, Zaidah dan Abu Zinad) yang tidak bisa dipercaya. Riffat mendasarkan penilaiannya itu kepada adz-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, di samping tentu saja ia tidak menyetujui matan hadits-hadits tersebut.
Dalam metodologi Takhrij al-Hadits, jika ada nama perawi yang sama, mestinya seorang peneliti harus meneliti secara cermat, perawi yang mana yang dimaksudkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melihat nama murid yang pernah meriwayatkan darinya. Oleh karena itu, secara metodologis penelitian itu dianggap tidak tepat jika hanya melihat nama yang sama, lalu diputuskan begitu saja, bahwa dialah yang dimaksud.[59] Lagipula dalam kritik sanadnya, Riffat Hassan tidak menjelaskan mengapa rawi-rawi itu dianggap tidak tsiqah. Padahal dalam metodologi Jarh wa al-Ta’dil, suatu penilaian mengenai ketidak-tsiqah-an rawi mesti harus dijelaskan, mengapa rawi tersebut dianggap tidak tsiqah[60], karena jika tidak, orang akan gegabah dalam penilaian tersebut.
Setelah diverifikasi ke kitab Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, perawi-perawi yang dianggap lemah (dhaif) oleh Riffat Hassan sebenarnya sama sekali tidak pernah dinilai lemah oleh al-Dzahabi. Zaidah yang di-dha’if-kan oleh Adz-Dzahabi adalah: (1) Zaidah ibn Salim yang meriwayatkan dari Imran ibn Umair; (2) Zaidah ibn Abi ar-Riqad yang meriwayatkan dari Ziyad an-Numairi; dan (3) Zaidah lain yang meriwiyatkan dari Sa’ad. Zaidah yang terakhir ini di-dha’if-kan oleh Bukhari sendiri. Kalau Bukhari sudah men-dha’if-kan, mustahil dia akan tetap memakainya. Dengan demikian, Zaidah yang dha’if  itu bukan Zaidah yang meriwayatkan dari Maisarah seperti pada Bukhari dan Muslim.[61] Zaidah-nya Bukhari Muslim ini adalah Zaidah ibn Qudamah ats-Tsaqafi, Abu ash-Shalat al-Kufi, meriwayatkan dari dia Ibn al-Mubarak, Abu Usamah dan Husain ibn Ali.[62] Maisarah yang di-dha’if-kan oleh adz-Dzahabi adalah Maisarah ibn ‘Abd rabbih al-Farisi itsumma al-Bashri at-Turasi al-Akkal, seorang pemalsu hadits. Sedangkan Maisarah-nya Bukhari Muslim adalah Maisarah ibn Imarah al-Asyja’i al-Kufi[63], bukan yang di-dhaif-kan oleh adz-Dzahabi. Sedangkan Abu Zinad perawi Bukhari Muslim adalah Abdullah ibn Zakwan yang oleh adz-Dzahabi sendiri dinilai tsiqah Syahrir.[64] Dalam al-Jarh wat-ta’dil ungkapan tsiqah Syahrir termasuk derajat kepercayaan yang tinggi. Begitu juga dengan Haramallah ibn Yahya. Adz-Zahabi sendiri menilainya sebagai salah seorang Imam yang dipercaya (ahadu al-aimmah ats-tsiqat)[65]. Hal ini menunjukkan bahwa Riffat Hassan telah melakukan kecerobohan dalam menilai hadits, sehingga hadits (walaupun setingkat hadits yang diriwayatkan Bukhari Muslim) yang menurutnya tidak sesuai dengan prinsip kesetaran gender harus ditolak.
2.    Implikasi Syariah
a.  Konsep kepemimpinan (qawwam)
   Riffat mengkritik penafsiran ayat-ayat tentang perempuan, di antaranya tentang konsep qawwam yang termaktub dalam surat An-Nisa’ ayat 34. Ia tidak terima karena ia menganggap bahwa hasil penafsiran ulama mengandung bias gender. Bentuk kritiknya adalah mengapa kata qawwamun diartikan sebagai pemimpin atau penguasa; bukan penopang, pelindung atau pencari nafkah?
    Riffat Hassan menyatakan bahwa jika kata qawwamun ditafsirkan sebagai penopang, berarti laki-laki adalah pelindung atau penopang bagi kaum perempuan. Menurutnya, kata qawwamun lebih tepat diartikan sebagai pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung kehidupan.[66] Dari penafsiran ini, Riffat Hassan beranggapan bahwa qawwamah tidak dapat diperoleh secara otomatis dan bersifat mutlak, melainkan bersyarat. Syarat untuk menjadi qawwam tersebut adalah dengan menjadi penopang, pelindung, atau pencari nafkah.
    Oleh karena itu, bagi Riffat Hassan ayat 34 surat An-Nisa’ tersebut mestinya tidak sepenuhnya dijadikan legitimasi dan justifikasi bahwa perempuan subordinat di bawah lelaki. Tapi lebih merupakan statement normatif yang menyangkut konsep Islam tentang pembagian kerja dalam sebuah struktur keluarga dan masyarakat. Artinya, secara ideal mestinya laki-laki harus menjadi pencari nafkah, bertanggung jawab mengenai nafkah keluarga, mengingat beban berat yang harus dipikul perempuan, sebab mereka mesti melahirkan anak, menyusui, merawat dan membesarkannya. Oleh karenanya, perempuan tidak harus dibebani mencari nafkah dalam waktu yang bersamaan.[67]
   Kata qawwamun itu sendiri menurut Riffat merupakan pernyataan Al-Qur’an yang menunjukkan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pembagian tersebut bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Dalam pembagian tersebut, kaum laki-laki bertugas mencari nafkah karena mereka tidak berkewajiban melahirkan anak. Pendek kata, laki-laki berfungsi produktif sedangkan perempuan reproduktif. Kedua fungsi ini memang terpisah namun saling melengkapi untuk menciptakan harmoni. Sehingga, menurut Riffat Hassan, di antara keduanya juga tidak ada yang lebih tinggi atau rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa Riffat Hassan tidak menginginkan adanya konsep kepemimpinan dalam keluarga. Karena kalau konsep kepemimpinan ada, maka laki-lakilah yang menjadi pemimpin dan perempuan adalah pihak yang dipimpin. Ia tidak menginginkan hal ini karena hal ini menunjukkan perempuan berada di bawah dan menunjukkan tidak ada kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
  Pandangan Riffat Hassan ini bertentangan dengan para mufassir yang telah diakui kredibilitasnya. Sebutlah misalnya Az-Zamahsyari dalam Al-Kasysyaf ‘an haqaaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil[68], Ibnu  Katsir dalam Tafsisr al-Qur’an al-Adzim[69], dan Al-Alusi dalam Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al- Adzim was-Sab’il matsani[70] yang menafsirkan bahwa kata qowwam dalam An-Nisa’ ayat 34 tersebut bermakna pemimpin, sebagaimana wali/khalifah sebagai pemimpin bagi rakyatnya. Jadi bisa disimpulkan bahwa suami (laki-laki) adalah pemimpin bagi istrinya. Kepemimpinan suami ini lebih jelas lagi kalau dicermati bagian akhir ayat yang dibahas, yang menggunakan kata taat: Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Penggunaan kata “taat” menunjukkan hubungan suami dengan istri bersifat struktural. Kalau tidak struktural, kata yang digunakan tentu bukan menaati, melainkan menyetujui, menerima pendapatmu, dan yang sejenisnya. [71] 

b.  Konsep Jilbab
  Dalam pandangan Riffat, masalah jilbab (purdah) sebenarnya merupakan masalah yang cukup kompleks. Menurutnya, munculnya konsep jilbab bermula dari adanya suatu sistem pembagian dua wilayah dalam masyarakat Islam, wilayah privat yaitu rumah dan wilayah umum yaitu tempat kerja. Perempuan berada di wilayah privat, sedangkan laki-laki di wilayah umum. Menurut asumsi umum masyarakat Islam, selama masing-masing pihak tetap berada di tempatnya, semuanya akan beres dan aman. Ini berarti sistem pemisahan atau pemencilan segresi (segregation system). Menurut pandangan umum masyarakat Islam, kedua jenis kelamin itu harus dipisahkan dan pengaturan semacam ini dianggap paling tepat dan paling baik. [72]
  Setelah Riffat Hassan menjelaskan asumsi umum masyarakat Islam, dia lalu mencoba bagaimana pandangan al-Quran tentang hal itu. Menurutnya, ideal moral yang dikehendaki al-Quran sebenarnya adalah prinsip kesahajaan. Al-Quran sangat menekankan bahwa perempuan harus bersahaja, bukan saja dalam berpakaian tetapi juga dalam berbicara, berjalan, bertingkah laku, dan lain sebagainya. Prinsip semacam ini menurutnya juga dianjurkan kepada laki-laki, meskipun selanjutnya hal itu lebih banyak ditujukan kepada perempuan.[73] Jika dalam praktiknya prinsip kesahajaan itu hanya ditekankan pada perempuan, hal itu tidak diinginkan oleh Riffat Hassan karena akan menjadi bias gender. Sebab pandangan tersebut terkesan masih diskriminatif. Seakan-akan perempuan yang dipojokkan dalam masalah ini dan tubuh mereka seakan-akan dipandang sebagai sumber fitnah bagi kaum laki-laki.
  Menurutnya, dalam masyarakat patriarki perempuan selalu menjadi objek seks. Maka al-Quran kemudian memerintahkan kepada perempuan agar tidak berpakaian dan bertingkah laku seperti objek seks, supaya orang tidak menuduhnya bahwa ia ingin diperlakukan sebagai objek seks. Dalam konteks seperti itulah, menurutnya, maka Nabi Saw. disuruh memerintahkan istri-istrinya dan kaum perempuan yang beriman, ketika akan meninggalkan rumah agar memakai jilbab, supaya dianggap perempuan shaleh dan tidak diganggu. [74]
  Dalam hal ini, Riffat Hassan melakukan kontekstualisasi konsep jilbab yang tertera dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 59[75], dengan mengambil sisi ideal moralnya, dan tidak ingin terjebak pada legal formalnya. Menurutnya, ideal moral dari pemakaian jilbab adalah agar perempuan tidak diganggu dan terhormat. Oleh karena itu, menurutnya, jilbab dapat diartikan sebagai pakaian yang menurut kepantasan setempat dan menjadikan perempuan dihormati kemanusiannya.
  Cara penafsiran seperti ini akan liar, karena kalau jilbab diartikan sebagai pakaian yang menurut kepantasan setempat, maka akan ada perbedaan  di masing-masing bentuk pakaiannya. Bahkan, walaupun wanita membuka auratnya di depan umum jika sesuai dengan rasa kepantasan di suatu tempat bisa diperbolehkan. Tentu hal ini akan menjadikan hukum Islam berubah, dari yang yang haram menjadi halal.

D.   Hubungan Keserasian Perempuan dan Laki-laki dalam Islam

Dalam mengusung konsep kesetaraan gender, sebagaimana kaum feminis[76] yang lain, Riffat Hassan berkiblat kepada Barat. Ia memandang bahwa kesetaraan gender harus harus sama (fifty-fifty), baik domestik maupun publik. Padahal, apabila kesetaraan diartikan bahwa segala sesuatu harus sama (50/50), maka akan didapati ayat-ayat al-Qur’an yang nantinya dimaknai diskriminatif terhadap kaum perempuan. Makanya ia dan kaum feminis lainnya tidak terima kalau ada penafsiran beberapa ayat al-Quran yang cenderung menganggap laki-laki dan perempuan tidak setara[77] sekalipun yang menafsirkan adalah para mufassir yang telah diakui kredibilitasnya. Terlebih lagi kesetaraan gender yang disuarakan oleh Riffat Hassan dan kaum feminis lainnya merupakan ideologi Marxis, yang menempatkan perempuan sebagai tertindas dan laki-laki sebagai penindas. Dengan ideologi yang demikian, kaum feminis muslim akan terus-menerus mencoba menggali dasar-dasar Islam tidak dengan cita-cita Islam, melainkan cita-cita yang dibangun atas kepentingan kaum feminis sendiri.[78]
Ratna Megawangi dalam bukunya Membiarkan Berbeda menyatakan bahwa ketimpangan harus dibedakan dengan diferensiasi. Diferensiasi dalam peran, status dan bakat perlu dilihat sebagai jenis-jenis berbeda yang tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif. Maka, diferensiasi peran pria dan wanita yang bersumber dari keragaman alami, harus dilihat sebagai “simply another mode of being”. Oleh karena itu, ia memandang bahwa perbandingan kuantitatif antara pria dan wanita, atau ukuran kesetaraan gender yang 50/50, perlu dihilangkan sebisa mungkin.[79]
Maka dari itu, istilah yang tepat dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah keserasian gender, bukan kesetaraan gender (50/50). Artinya, walaupun antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut adalah fitrah masing-masing, yang menegaskan bahwa antara yang satu dan yang lainnya ada saling keterkaitan dan saling melengkapi. Keserasian tersebut dibangun di atas syari’at, bersandar pada asas saling melengkapi satu sama lainnya, bukan perlawanan, serta kerjasama yang tidak mengandung persaingan.


E.    Kesimpulan
   Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa konstruksi teologi kesetaraan gender yang dibangun Riffat Hassan hanyalah mengadopsi konsep teologi feminisme yang berkembang di Barat. Padahal berbeda dengan perempuan di Barat yang memiliki sejarah yang kelam lantaran perempuan dipandang hina dan diperlakukan secara diskriminatif, dalam Islam perempuan justru dimuliakan. Kedatangan Islam telah mengeliminasi adat-istiadat jahiliyah yang merugikan kaum perempuan serta mengangkat  harkat dan martabat mereka. Kalau subordinasi terhadap perempuan di Barat mendapatkan legitimasi dari Bible, dalam al-Quran perempuan justru dimuliakan.
Dalam membangun teologi kesetaraan gender, Riffat Hassan melakukan tiga langkah, yaitu (1) pendekatan normatif-idealis dan historis-empiris, (2) melakukan dekonstruksi pemikiran keagamaan yang (menurutnya) bias gender, dan (3) melakukan rekonstruksi pemikiran keagamaan yang (menurutnya) tidak bias gender. Dalam usaha konstruksi teologi kesetaraan gender ini, Riffat Hassan justru terbukti cendrung melakukan bias gender, padahal dia menuduh para mufassir yang bias gender. Selain itu, ada beberapa implikasi yang ditimbulkan darinya, yaitu adanya penolakan terhadap hadits shahih dan terdapat implikasi syariah yang merubah hukum Islam.
Adapun dalam Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang benar adalah keserasian gender, bukan kesetaraan gender. Artinya, walaupun antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut adalah fitrah masing-masing, yang menegaskan bahwa antara yang satu dan yang lainnya memiliki hubungan saling keterkaitan dan saling melengkapi. Keserasian tersebut dibangun di atas syari’at, bersandar pada asas saling melengkapi satu sama lainnya (bukan perlawanan) serta kerjasama yang tidak mengandung persaingan. Wallahua’lam. []

Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual, Yogyakarta: Fakultas Syari'ah Press dan Forum Studi Hukum Islam, 2004
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, Beirut: Dar al-Fikri, t.t.
Abdurrahman, Khalid,  Ushul At-Tafsir wa Qawaiduh, Beirut : Dar An-Nafais. 1986
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (airo: Daar al-kutub al-Haditsah, 1976
Armas, Adnin, Tafsir Al-Qur’an atau Hermenutika Al-Qur’an dalam Jurnal Islamia. Thn. I. No.I
Al-Alusi,  Syihabuddin Mahmud  ibn Abdillah al-Husaini, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al- Adzim was-Sab’il matsani, , Beirut: Daar  al-Fikr, t.t
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Beirut: Dar al-Fikr, 1984
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993
Al-Baghdadi, Muhammad At-Tamimi, Ushuluddin, Beirut: Darul Kutub, 2002
Al-Faruqi, Isma’il Raji, Al Tawhid: Its Implications for Thought and Life, USA: International Institute of Islamic Thought, 1992
Al-Ghazali, Imam, Ihya’ Ulumuddin, Kairo: Daar al-Ma’arif, 1967
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, penterj. Mudzakir AS, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa dan Halim Jaya, 2007
Al-Suyuthi, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin, Tafsri al-Quran al-‘Adzim, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.t
Al-Twaijri, Muhammad bin Ibrahim, Ushuluddin al Islami, Riyad: Darul ‘Ashimah, 1414 H
Al-Zahabi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal,(Beirut: Dar al-Fikri, t.t.
Az-Zamahsyari, Al-Kasysyaf ‘an haqaaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil, Beirut: Daar Al-Fikr, 1988
Baidhawy, Zakiudidin, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Clarkson, J. Shannon dan Letty M. Russell, Dictionary of Feminist Theology, Kentucky: Westmister John Knox Press, 1996
Dzuhayatin, Siti Ruhaini dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam,Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICIHEP, dan Pustaka Pelajar, 2002
Eolson, Roger dan  Stanley J. Grenz, Twentieth-century theology: god and the world in a transitional age, USA: inter varsity press, 1992
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Fathullah, Amal, Ilm kalam,ponorogo: Darussalam, 2004
 Ghanaim, Muhammad Nabil, Dirasat fi at-Tafsir, Kairo:  Darul Hidayah, 1987
 Ghozali, Abdul Malik, Jasa Perawi Wanita, dalam majalah Gontor edisi 11 tahun VII April 2010
Hassan, Riffat, Women’s and Men’s Liberation, (New York: Greenwood Press, 1991)
                         ,  Rights of Women: Muslim Practice Versus Normative Islam, makalah yang disampaikan dalam  workshop dengan “Women in Islam”, disponsori oleh  the international planned Parenthood Federation yang diselenggarakan di Tunis pada Juli 1995
                          , Feminisme dan al-Quran: percakapan dengan Riffat Hassan”, dalam jurnal  Ulumul Quran Vol II, tahun 1990
                           , “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.), Women and Islam in Muslim Society,  (Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994
                          , Women, Religion, and Sexuality, Study of Impact of Religious Teaching on Women, Philadelphia: Trinity Press, t.t.
                              dan Fatimah Mernissi, Setara di Hadapan Allah: Relasi laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi  Islam Patriarki, Yogyakarta: LSPA Yayasan Prakarsa, 1995
Hawwa, Sa’id, Mensucikan Jiwa-Intisari Ihya’ Ulumddin, Jakarta: Robbani Press, 2001
Hillar, Marian, Liberation Theology, Houston: American Humanist Assosiation, 1993
Ibnu Katsir, Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar ad Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, t.t.p., Daarun thoyyibah:1999 M/ 1420 H
Imarah, Muhammad, Meluruskan salah paham Barat atas Islam, terj. Al-Gharb wa al-Islam: Aina al-khatta’ wa Aina al-Shawab,  Yogyakarta: Sajadah Press, 2007
Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan, Yogyakarta: LKiS, 2003
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Vol. III No. 5
Lowy, Michael, Teologi Pembebasan, pent: Roem Topatimasang, Yogyakarta: Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, cet. 3,  2003
Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi,Bandung:  Mizan 1999
Mustaqim, Abdul, Paradigma Tafsir Feminis, Membaca al-Quran dengan Optik Perempuan: Studi Pemikiran Riffat Hassan tentang Isu Gender dalam Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008
Parsons, Susan Frank, The Cambridge companion to feminist theology, Cambridge: Cambridge University Press, 2002
Ruether, Rosemary Redford, Sexism and God-Talk: Toward A Feminist Theology, Boston: Beacon Press, 1983
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra, 2007
Thahhan, Mahmud, Ushul al-Takhrij wa Dirasatul Asanid, Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1979
Trible, Phyllis et.al, Feminist Approach to the Bible, Washington, DC: Biblical Archaelogy Society, 1995
Wadud, Amina ,Quran Menurut Perempuan, pent. Abdullah Ali, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006





[1] Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) V  Institut Studi Islam Darussalam (ISID)  Gontor
[2] Henri Shalahuddin, Menelusuri Paham kesetaraan Gender dalam Studi Islam: Tantangan terhadap Konsep Wahyu dan Ilmu dalam Islam Indonesia, dalam  Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Vol. III No. 5, h. 58.
[3] Buku-buku yang membahas tentang kesetaraan gender antara lain: Siti Ruhaini Dzuhayatin, Budhy Munawar-Rachman, Nasaruddin Umar dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICIHEP, dan Pustaka Pelajar, 2002), Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 2001),  Fadilah Suralaga, Pengantar Kajian Jender, (Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah dan McGill Project/IISEP, 2003),  Musdah Mulia, Gender dalam Perspektif Islam, (Jakarta : Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2007),  Jamhari dan Ismatu Ropi, Citra Perempuan dalam Islam: Pandangan Ormas Keagamaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Amelia Fauzia dan Oman Fathurrahman, Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), Muhammad Ridwan dan Ahmad Barizi, Cetak Biru Peran Agma: Merajut Kerukunan, Kesetaraan Gender, dan Demokratisasi dalam Masyarakat Multikultural, (Departemen Agama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), dan lain-lain.
[4] Mengenai perlakuan diskriminatif pada perempuan di Barat bisa dilihat di John Mary Ellmann, Thinking About Woman, (New York: Harcourt, 1968), Abu A’la Maududi, Al-Hijab, (Bandung: Gema Risalah Press, 1995), dan John P McKay, bennet D. Hill and John Buckler, A History of Western Society, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1983).
[5] Lihat Dinar Dewi Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Vol. III No. 5, h. 26
[6] Lihat Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 160 dan Siti Ruhaini Dzuhayatin, Budhy Munawar-Rachman, Nasaruddin Umar dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICIHEP, dan Pustaka Pelajar, 2002), h. 29
[7] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi, (Bandung: Mizan, 1999), h. 118.
[8] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?,  h. 150
[9] Dalam sebuah berita yang dimuat di situs BBC news pada 31 Oktober 2005, ia disebut sebagai the pioneers of Islamic feminist theology (pelopor teologi feminisme Islam) saat menghadiri acara international congress on Islamic feminism yang diadakan di Spanyol. Lihat selengkapnya: http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/europe/4384512.stm (diunduh pada 19 Januari 2011). Selain itu, ia juga dinyatakan sebagai seorang reformis pemikiran Islam  di bidang isu-isu gender Islam. (lihat Ghazala Anwar, Wacana Teologi Muslim, dalam buku Zakiudidin Baidhawy, Wacana Teologi Feminis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 14                                              
[10] Riffat Hassan, Women’s and Men’s Liberation, (New York: Greenwood Press, 1991), h. 66-67
[11] Riffat Hassan, Women’s and Men’s Liberation, h. 68
[12] Riffat Hassan, Rights of  Women: Muslim Practice Versus Normative Islam, makalah yang disampaikan dalam  workshop dengan tema “Women in Islam”, disponsori oleh  the international planned Parenthood Federation yang diselenggarakan  di Tunis pada Juli 1995,  h. 92
[13] Kemunculan teologi feminisme berawal sejak akhir 1960-an di mana karya ilmiah tentang studi perempuan dalam agama telah bermunculan dan kemudian  berkembang pada  1970-an. Lihat Maria Jose F. Rosado Nunes, Suara-suara Perempuan dalam Amerika Latin, dalam Zakiyuddin Baidhawy, Wacana Teologi Feminis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 63-65. Lihat juga Letty M. Russell dan J. Shannon Clarkson, Dictionary of Feminist Theology, (Kentucky: Westmister John Knox Press, 1996), h. ix dan Susan Frank Parsons, The Cambridge companion to feminist theology, (Cambridge University Press, 2002), h. xiii
[14] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, h. 150
[15] Teologi pembebasan lahir dalam agama Kristen pada tahun 1960-an di Amerika Latin. Lihat Michael Lowy, Teologi Pembebasan, pent: Roem Topatimasang (Yogyakarta: Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, cet. 3,  2003),  h. 39-41
[16] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, h. 150
[17] Stanley J. Grenz, Roger Eolson, Twentieth-Century Theology: God And The World In A Transitional Age, (USA: inter varsity press, 1992),h. 211
                [18] Marian Hillar, Liberation Theology, (Houston: American Humanist Assosiation, 1993), h. 35-52
[19] Pembacaan realitas sosial dalam teologi pembebasan dipengaruhi oleh teori Marxis. Adapun paradigma yang digunakan adalah sosial-konflik atau teori marxis yang sudah dimodifikasi. Karena diambil dari Marx,  maka tentu saja pemahaman ini selalu melihat basis materialistis sebagai pondasi masyarakat yang mendasari segala  superstruktur (hukum, moral, agama, dan institusi politik kemasyarakatan).  Superstruktur  ini  dalam pandangan Marxis bisa dimanipulasi atau diubah sesuai kepentingan.  Berbeda dengan paradigma marxisme murni yang menganggap agama dipakai kelas penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya, sehingga pengaruh agama harus dihilangkan dari kehidupan masyarakat, paham teologi pembebasan tetap ingin mempertahankan agama. Namun agama ini bukan untuk melegitimasi penguasa, melainkan sebagai alat untuk membebaskan golongan yang dianggap tertindas. Lihat Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi, (Mizan: Bandung, 1999), h. 150
[20]Basis agama dalam Islam  meliputi iman kepada Allah dan keesaannya, sifat-sifat, perbuatan, iman terhadap wahyu dan pengiriman Rasul, iman terhadap hari kebangkitan dan pembalasan di akhirat. Lihat Amal Fathullah, Ilm kalam,  (Ponorogo: Darussalam, 2004), h. 3
[21]Isma’il Raji Al-Faruqi misalnya dalam  bukunya At-Tawhid: Its Implications for Thought and Life tidak sekedar membahas pokok-pokok landasan agama, tapi juga membahas bagaimana implikasinya dalam ranah pemikiran dan kehidupan nyata, sehingga ekonomi, sosial, dan politik juga tidak lepas dari pembahasan. Al Baghdadi dalam Ushuluddin bahkan membahas tentang derajat wanita. Muhammad bin Ibrahim al-Twaijri dalam Ushuluddin al Islami juga tidak melepaskan pembahasan tentang infaq, unsur kebahagiaan, dan perempuan di samping pembahasan tentang pokok agama itu sendiri. Lihat  Isma’il Raji al Faruqi, At-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (USA: International Institute of Islamic Thought, 1992), Muhammad At Tamimi al Baghdadi, Ushuluddin, (Beirut: Darul Kutub, 2002), dan Muhammad bin Ibrahim al Twaijri dalam Ushuluddin al-Islami (Riyad: Darul ‘Ashimah, 1414 H).
[22]Istilah  Barat bukan dilihat secara demografi melainkan ia adalah merupakan sebuah peradaban, dimana yang menjadi sokoguru peradabannya adalah Yunani-Romawi dan Judeo-Kristiani. Barat merupakan campuran dari peradaban Yunani kuno yang dikawinkan dengan peradaban Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa Eropa terutamanya Jerman, Inggris, dan Perancis. Prinsip-prinsip asas dalam filsafat, seni, pendidikan dan pengetahuan diambil dari Yunani, prinsip-prinsip mengenai hukum dan ketatanegaraan diambil dari Romawi. Lihat Amatullah Shafiyyah, Kiprah Politik Muslimah Konsep dan Implementasinya, h.7-11 dan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), h. 134
[23] Riffat Hassan, The Issue of Woman-Man Equality in the Islamic Tradition, dalam women’s and Men’s Liberation, (New York: Greenwood Press, 1991), h. 66-69
   [24] Perempuan di Barat sejak zaman klasik sampai zaman modern disamakan dengan budak (hamba sahaya) dan anak-anak dianggap lemah fisik dan akalnya. Setidaknya itu adalah pandangan tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles di zaman pra-Kristen, diikuti oleh St. Clement dari Alexandria, St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas pada abad pertengahan, hingga John Locke, Rousseau dan Nietzche di awal abad modern. Perempuan juga dinggap sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini, dianggap setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik. Bahkan pada tahun 1595, seorang professor dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius mengenai apakah perempuan itu manusia atau bukan. Lihat John Mary Ellmann, Thinking About Woman, (New York: Harcourt, 1968), Abu A’la Maududi, Al-Hijab, (Bandung: Gema Risalah Press, 1995), dan John P McKay, bennet D. Hill and John Buckler, A History of Western Society, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1983).
[25] Adat-istiadat jahiliyah yang dihapus dalam Islam seperti mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan dilahirkan, mengawini perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan mereka sesuka hati, sampai pernah ada kepala suku yang mempunyai tujuh puluh hingga sembilan puluh istri. Semua ini dikecam dan dan dihapuskan untuk selama-lamanya. Berbagai pola perkawinan seperti nikah ad-dahsyan (anak sulung laki-laki dibolehkan menikahi janda (istri) mendiang ayahnya), nikah syighari (Dua orang bapak saling menyerahkan putrinya masing-masing kepada satu sama lain untuk dinikahinya) , nikah al-badal (saling bertukar istri hanya dengan kesepakatan kedua suami tanpa perlu membayar mahar), dan zawaj al-istibda’(seorang suami boleh dengan paksa menyuruh istrinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang istri dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula, semata-mata karena mereka ingin mendapatkan bibit unggul dari orang lain yang dipandang mempunyai keistimewaan tertentu) dihapuskan karena sangat merugikan dan menindas perempuan. Lihat W. Robertson Smith, Kinship and Marriage in Early Arabia, (London: Davies Press, 2007)
[26] Dalam Bible,  terdapat ayat-ayat yang bernuansa melecehkan kaum perempuan. Berikut contoh-contohnya: 1. Kejahatan laki-laki lebih baik daripada kebajikan perempuan, dan perempuanlah yang mendatangkan malu dan nista (Sirakh 42: 14). 2. Setiap keburukan hanya kecil dibandingkan dengan keburukan perempuan, mudah-mudahan ia ditimpa nasib orang berdosa (Sirakh 25: 19). 3. Permulaan dosa dari perempuan dan karena dialah kita sekalian mesti mati (Sirakh 25:24). 4.  Wujud kutukan Tuhan terhadap perempuan adalah kesengsaraan saat mengandung, kesakitan ketika melahirkan dan akan selalu ditindas laki-laki karena mewarisi dosa Hawa (kejadian 3:16). 5. Anak perempuan tidak mendapatkan waris kecuali jika tidak ada pewaris lagi dari laki-laki (Bilangan 27:28). 6. Seorang istri tidak punya hak waris dari suaminya (bilangan 27: 8-11). 7. Perempuan tidak boleh mengajar (I Timotius 2 :12).
[27] Berikut contoh bahwa al-Quran semua manusia, baik perempuan maupun laki-laki: 1. Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak akan didzalimi sedikit pun.(An-Nisa’: 124) 2. Sungguh laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuanmukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatan, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama ) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (Al-Ahzab: 35). 3. Hai sekalian manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS. Al-Hujuraat:13).4. dll
[28] Riffat Hassan, Feminisme dan al-Quran: percakapan dengan Riffat Hassan”, dalam Jurnal  Ulumul Quran Vol II, tahun 1990, h. 87
[29] Menurut Riffat Hassan, perempuan dalam agama Kristen, Yahudi, dan Islam dianggap makhluk sekunder dan didiskriminasi disebabkan adanya asumsi-asumsi teologis yang keliru, terutama terletak pada konsep penciptaan manusia pertama. Yaitu: (1) bahwa makhluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah laki-laki, bukan perempuan, karena perempuan diyakini diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, maka secara ontologis perempuan derivatif dan sekunder, (2), bahwa perempuan, bukan laki-laki, yang merupakan penyebab utama dari apa yang biasanya dianggap sebagai dosa manusia atau terusirnya manusia dari surga, sehingga semua perempuan harus diperlakukan dengan rasa benci, curiga dan hina, dan (3), bahwa perempuan diciptakan tidak hanya “dari” laki-laki tapi juga “untuk” laki-laki, sehingga eksistensinya hanyala sekunder, pelengkap, dan tidak memiliki arti fundamental. Lihat  Riffat Hassan, The Issue of Woman-Man Equality in the Islamic Tradition, h. 68
[30] Terutama isu-isu seperti laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan[30], warisan laki-laki dua kali lipat daripada perempuan[30], kesaksian satu orang laki-laki sama dengan dua orang perempuan,  serta  perempuan kurang akal dan kurang agama.
[31] Pernyataan Riffat Hassan ini senada dengan tokoh feminis muslim yang lain, yaitu Amina Wadud. Dalam bukunya Quran Menurut Perempuan, Amina Wadud menyatakan bahwa karya-karya tafsir selama ini ditulis oleh laki-laki, yang berarti laki-laki dan pengalaman laki-laki dilibatkan dalam penafsiran. Sementara perempuan dan pengalaman perempuan ditiadakan, atau ditafsirkan menurut visi, perspektif, kehendak, atau kebutuhan laki-laki. Lihat Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan, pent. Abdullah Ali, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 17
[32] Secara etimologis dekonstruksi berarti pembongkaran dari dalam. Dekonstruksi merupakan alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran baku. Kris Budiman, Kosakata Semiotika (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 21, dikutip dari Muhammad Syahrur, Prinsip-Prinsip Hermeneutika al-Quran Kontemporer, bagian pengantar penerjemah, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2004), h. xvii
[33] Sebutlah di zaman Nabi misalnya ada Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar bin Khattab. Aisyah dikenal sebagai ahli fikih handal yang sering memeriksa para perawi hadits, dan juga seorang mujtahid perempuan.  Aisyah juga dikategorikan sebagai perawi hadits wanita yang dapat meriwayatkan hadits terbanyak setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Abbas. Ia tak hanya hafal, tapi juga memiliki ketajaman berpikir dan cukup kritis dalam pemahaman hadits. Sedangkan Hafsyah dikenal sebagai seorang penyair, juru pidato handal dan perawi hadits. Tidak hanya di zaman Nabi, pada zaman –zaman berikutnya juga banyak  perempuan yang terlibat dalam dunia keilmuan. Ibnu Hajar  dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib bab Perawi Wanita (Kitab an-Nisa’), melansir jumlah perawi wanita dalam Kutub Sittah kurang lebih 331 perawi, baik dari kalangan Sahabiyat (sahabiyyat) maupun Tabi’in (tabi’iyyat). Muhammad Akram Nadwi  berkesimpulan bahwa al-muhadditsat (para perawi wanita) sebagai the woman scholars in Islam (ulama wanita Islam). Demikian juga para perempuan di era kontemporer, banyak perempuan yang bisa dikategorikan sebagai ulama disebabkan keseriusan mereka dalam menuntut ilmu. Lihat Abdul Malik Ghozali, Jasa Perawi Wanita, dalam majalah Gontor edisi 11 tahun VII April 2010, h. 22-23 dan Muhammad Imarah, Meluruskan salah paham Barat atas Islam, terj. Al-Gharb wa al-Islam: Aina al-khatta’ wa Aina al-Shawab,  (Yogyakarta: Sajadah Press, 2007), cet. 2, h. 232-236
[34] Muhammad Nabil Ghanaim, Dirasat fi at-Tafsir, (Kairo:  Darul Hidayah, 1987), h. 20. Keempat syarat tersebut menurut Manna’ al-Qaththan perlu ditambah lagi dengan syarat yang lain, yaitu membersihkan diri dari hawa nafsu, menguasai dasar-dasar ilmu yang berkaitan dengan al-Quran, mempunyai pemahaman yang kuat, dan menguasai ilmu bahasa Arab beserta cabang-cabangnya. Lihat Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, penterj.Mudzakir AS, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa dan Halim Jaya, 2007), h. 462-465
[35] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2007),  h. 465-466
[36] Riffat Hassan mengaku memulai karirnya sebagai teolog feminis pada tahun 1974. Waktu itu, ia diminta untuk memberikan ceramah tentang perempuan dalam Islam karena kapasitasnya sebagai penasehat guru besar pada Perhimpunan Mahasiswa Islam (Muslim Student’s Association, MSA) cabang Universitas Negeri Oklahoma di Stillwater. Ia pun semakin dikenal sebagai tokoh teolog feminis Islam dan sering diundang untuk menghadiri acara-acara besar yang membahas masalah masalah isu gender. Pada tahun 1979 misalnya,  ia diminta untuk terlibat dengan proyek Trialog antara sarjana Yahudi, Kristen, dan Islam yang disponsori oleh Kennedy Institute of Ethics di Washington DC. Trialog ini dimaksudkan untuk menjelajahi isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dalam tiga agama besar tersebut. Lihat Riffat Hassan, women’s and Men’s Liberation, (New York: Greenwood Press, 1991),  h. 65 dan Fatimah Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah: Relasi laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi  Islam Patriarki,  (Yogyakarta: LSPA Yayasan Prakarsa, 1995), h. 41
[37] Riffat Hassan, Feminisme dan al-Quran: percakapan dengan Riffat Hassan”, dalam jurnal  Ulumul Quran Vol II, tahun 1990, h. 87
[38] Rosemary Redford Ruether, Sexism and God-Talk: Toward A Feminist Theology, (Boston: Beacon Press, 1983), h. 12
[39] Maria Jose F. Rosado Nunes, Suara-suara Perempuan dalam Teologi Amerika Latin, dalam Zakiyuddin Baidhawy (ed.), Wacana Teologi Feminis,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 63
[40] Phyllis Trible, et.al, Feminist Approach to the Bible, (Washington, DC: Biblical Archaelogy Society, 1995), h. 7 dan 47
[41] Lihat penjelasan halaman 4. Lihat juga catatan kaki nomor 24, 25, 26, dan 27
[42]Riffat Hassan secara eksplisit memang tidak menyatakan bahwa ia menggunakan metode Fazlurrahman. Tapi melihat kesamaan metode yang dipakai dan seringnya Riffat Hassan mengutip pendapat Fazlurrahman dalam karya-karyanya, maka tidak dinafikan adanya peminjaman teori Fazlurrahman oleh Riffat Hassan. Lihat Abdul Mustaqim dalam Paradigma Tafsir Feminis, Membaca al-Quran dengan Optik Perempuan: Studi Pemikiran Riffat Hassan tentang Isu Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008)
[43] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007),  h. 56
[44] Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, Membaca al-Quran dengan Optik Perempuan: Studi Pemikiran Riffat Hassan tentang Isu Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008), h. 43
[45]Gerak pertama dari teori ini adalah dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur'an, yakni upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami konteks mikro dan makro pada saat al-Qur'an diturunkan. Dengan pemahaman itu akan dapat melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih luas pada umumnya saat itu. Penelitian dan pemahaman tersebut, akhirnya menghasilkan rumusan narasi atau ajaran al-Qur'an yang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistemik serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat normatif. Sedang gerak kedua dari teori double movement adalah dari masa turunnya al-Qur'an kembali ke masa kini untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai sistematis dan umum dalam konteks pembaca al-Qur'an era kontemporer sekarang ini dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial modern dan humanitis kontemporer sebagai alat yang cukup baik untuk memberikan pemahaman yang baik pula tentang sejarah. Lihat: Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual, (Yogyakarta: Fakultas Syari'ah Press dan Forum Studi Hukum Islam, 2004), h. 142-143
[46] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman, h. 70
[47] Adnin Armas, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya Terhadap Studi Al-Qur’an, dalam  Kumpulan Makalah Peneliti INSISTS, t.t, h. 28
[48] Riffat Hassan, “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.), Women and Islam in Muslim Society,  (Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994), h. 116
[49] Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsri al-Quran al-‘Adzim, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga), h. 16
[50] Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Daar al-kutub al-Haditsah, 1976), h. 264-265
[51] Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa-Intisari Ihya’ Ulumddin, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 429
[52] Khalid Abdurrahman, Ushul At-Tafsir wa Qawaiduh, (Beirut : Daar An-Nafais,  1986. Cet.2. h.79-80
[53] Khalid Abdurrahman, Ushul At-Tafsir wa Qawaiduh, h. 462
[54] Adnin Armas, Tafsir Al-Qur’an atau Hermenutika Al-Qur’an, dalam Jurnal Islamia, Thn. I. No. I, h. 44
[55] Hassan, The Issue of Woman-Man Equality in the Islamic Tradition, 65-66
[56] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (Kairo: Daar al-Ma’arif, 1967 ), h. 378-383
[57] Riffat Hassan, Women’s Right and Islam from the ICPD to Beijing, h. 11
[58] Hadits tersebut adalah:
  حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
Artinya:
Bercerita kepada kami Abu Kuraib dan Musa bin Hizam, berkata mereka: bercerita kepada kami Husain bin ‘Ali dan Zaidah dari Maysaroh al-Asyja’I dari Abu Hazim dari Abu Hurairah berkata: berkata Rasulullah SAW: “Berwasiatlah kepada perempuan dengan cara yang baik, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya bagian tulang rusuk yang paling bengkok ialah bagian atasnya. Jika engkau hendak meluruskannya, dia akan patah; dan jika engkau membiarkannya, dia akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kepada perempuan dengan cara yang baik” (HR. Bukhari no. 3084)

[59] Mahmud Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasatul Asanid,  (Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1979), h. 208-232
[60] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), jilid II, h. 161
[61] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, h. 64-65
[62] Ibn hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), Jilid III, h. 264
[63] Ibn hajar al-Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, jilid IV, h. 230
[64] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, (Beirut: Daar al-Fikr, t.t),  h. 418
[65] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, h. 472
[66] Riffat Hassan, Women’s Right in Islam, h. 130
[67] Riffat Hassan, Women’s Right and Islam from The ICPD to Beijing, h. 79
[68] Lihat Az-Zamahsyari, Al-Kasysyaf ‘an haqaaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1988), JIlid I,  h. 523
[69]Lihat Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir al-Qursyi ad Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.t.p: Daarun thoyyibah1999 M/ 1420 H), Jilid II, h. 292
[70] Lihat Syihabuddin Mahmud  ibn Abdillah al-Husaini al-Alusi,  Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al- Adzim was-Sab’il matsani,( Beirut: Daar  al-Fikr, t.t), h. 41.
[71]Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 276
[72] Riffat Hassan, Women, Religion, and Sexuality, Study of Impact of Religious Teaching on Women (Philadelphia: Trinity Press, t.th.), h. 121
[73] Riffat Hassan, Feminisme dan al-Quran: percakapan dengan Riffat Hassan”, dalam jurnal  Ulumul Qur'an Vol II, tahun 1990, h. 87
[74] Riffat Hassan, Feminisme dan al-Quran, h. 89
[75] Bunyi ayat tersebut adalah:   
ياأيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلبيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورارحيما  (الأحزاب:59)
   Artinya:”Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Al-Ahzab: 59)
[76] Kaum feminis selain Riffat Hasan adalah seperti Amina Wadud, Fatima Mernissi, dan Asghar Ali Engeneer
[77]Isu-isu yang sering diangkat oleh para feminis ialah beberapa ayat-ayat al-Quran yang  menurut mereka sering dijadikan argumen oleh kaum muslimin selama ini bahwa laki-laki dan perempuan tidak setara,  seperti perempuan diciptakan dari laki-laki (QS. An-Nisa’: 1), laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (QS. An-Nisa’: 34), warisan laki-laki dua kali lipat daripada perempuan (QS. An-Nisa’: 11), serta kesaksian satu orang laki-laki sama dengan dua orang perempuan (QS. Al-Baqarah: 282).
[78] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, h.  150-157
[79] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, h. 227

Sumber: http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=32&Itemid=100

Tidak ada komentar:

Posting Komentar