oleh:
Istilah mazhab Chicago mencuat saat saya mengikuti
seminar Feminisme dan Kesetaraan Gender pada 22/12/2011 lalu. Istilah
ini dilontarkan oleh seorang Doktor Sosiologi perempuan di perguruan
tinggi Islam negeri di Jakarta ketika ia menjadi salah satu pembicara
seminar. “Dulu saya ini memang bermazhab Syafi’i tapi sekarang saya
bermazhab Chicago”, ungkapnya saat seminar.
Gerakan feminisme selalu
berkembang dengan beragam mazhab. Tapi sikap-sikap radikal tampaknya
tidak bisa ditanggalkan. Contohnya seperti yang saya temukan dalam
sebuah blog milik seorang feminis yang menulis pengalamannya selama
hamil. Dalam tulisannya yang berjudul, “Feminis, ASI dan Klas”, ia
seperti ingin memperlihatkan kebenciannya menjadi seorang Ibu. “Dulu,
saat hamil, saya sering sesumbar: tidak mau menyusui anak. Saya hanya
akan kasih susu Sapi. Saya tidak mau menghabiskan waktu untuk menyusui.
Saya sangat paham hak anak, tapi my body is my right! Enak saja
semua tanggung jawab ini jadi beban perempuan. Mulai dari hamil,
melahirkan dan menyusui. Rasanya tidak adil”, begitu ungkapnya.
Gaya
feminis seperti di atas dapat disebut radikalisme feminis mazhab
Chicago, baik itu dengan menirukan pemikiran feminis secara sebagian
atau keseluruhan dari Barat. Tentu gerakan seperti ini mengkhawatirkan,
karena gerakan ini dari tahun ke tahun semakin radikal, tepatnya sejak
Indonesia meratifikasi CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita.
Dari hasil ratifikasi tersebut,
lahir UU No. 7 tahun 1984, yang kemudian disusul dengan terbitnya UU.
No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
upaya legalisasi aborsi melalui UU Kesehatan dan adanya upaya membuat
Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam tandingan yang dibuat oleh
Prof. Musdah Mulia bersama tim pengarusutamaan gendernya pada tahun 2008
lalu. Dalam bidang politik, aktivis feminis juga berada di belakangnya
keluarnya UU Pemilu tahun 2008 tentang kuota Caleg perempuan sebanyak 30
persen. (Dinar Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya, Jurnal ISLAMIA Vol III No. 5, hlm. 27).
Sejarah Feminisme
Istilah feminisme sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Latin, femina, yang artinya perempuan. Konon dari kata fides dan minus yang kemudian menjadi fe-minus.
Gerakan feminisme sendiri lahir dari Barat, sekitar pada abad 18,
dimana para wanitanya pada masa itu, diperlakukan secara tidak manusiawi
dan menjadi korban inquisisi (penyiksaan atas
kesalahan dalam beragama). Bisa di pastikan bahwa gerakan feminisme
merupakan gerakan yang lahir dari pemberontakan total terhadap segala
sesuatu yang di anggap telah mendiskriminasi/menindas perempuan. (Hamid
Fahmy Zarkasy, Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam, Jurnal ISLAMIA vol III, hlm. 3).
Bukti
bahwa feminisme dan gender berasal dari Barat dapat kita telusuri dari
literatur mereka, menurut Mary Wollstonecraft dalam bukunya yang
berjudul A Vindication of The Rights of Women, pada abad ke 18,
perempuan mulai bekerja di luar rumah karena didorong oleh kapitalisme
industry. Maka, tidak heran jika perempuan Barat pada zaman industri
saat itu dibingungkan dengan dua pilihan: menjadi wanita karir ataukah
Ibu Rumah Tangga (lihat Taylor, Enfranchisement of Women, 1851).
Dalam
perkembangannya, aktivis feminis radikal mengusik pembagian hak dan
tanggung jawab seksual serta reproduksi perempuan dan laki-laki yang
dianggap tidak adil. Sebab perempuan sering diposisikan sebagai alat
pemuas laki-laki. Feminisme pada akhirnya mengakui keabsahan homoseks
dan lesbianisme secara religius, kemudian tanpa malu-malu lagi, para
penyokong feminis radikal juga mendeklarasikan bahwa perempuan dapat
hidup dan memenuhi kebutuhan seksnya tanpa laki-laki. Itulah ide awal
yang melahirkan praktek seks menyimpang yang disebut lesbianisme di Barat. (Hamid Fahmy Zarkasy, op. cit., hlm. 5).
Hal
ini sejalan pula dengan tanggapan dari Rena Herdiyani, selaku Direktur
Eksekutif LSM Kalyanamitra yang merupakan salah satu penggagas RUU
Kesetaraan Gender, saat saya tanyai tentang hak-hak transgender dalam
RUU Kesetaraan Gender via email, Jum’at 17/02 lalu, “Tidak secara
spesifik memuat hak-hak transgender, tetapi UU ini diharapkan dapat
melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi
berdasarkan apapun, termasuk jenis kelamin, etnis, status perkawinan,
kehamilan, usia, kecacatan, penyakit atau kondisi kesehatan yang
menimbulkan stigma, orientasi seksual, identitas gender, status sosial,
status ekonomi, jenis pekerjaan, atau status lainnya”.
Mengancam Keluarga
Salah
satu pasal dalam RUU Kesetaraan Gender yang bisa menimbulkan perdebatan
adalah pasal 1 ayat 2. Pasal itu berbunyi: “Kesetaraan Gender adalah
kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi,
dan seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi,
kontrol dalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan”.
Berdasarkan
pasal di atas, pasal ini menganjurkan pada perempuan Indonesia agar
bisa setara posisi dan kondisinya dengan laki-laki di semua bidang
kehidupan, termasuk ranah agama. Mengenai hal ini yang paling sering
dipersoalkan oleh aktivis Feminis adalah Hak Waris antara laki-laki dan
perempuan yang berbeda dalam Hukum Waris Islam.
Selain itu,
melalui RUU ini, para aktivis feminis menggugat perempuan yang posisinya
bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga dan kondisinya tidak diizinkan untuk
bekerja di luar rumah oleh suaminya. Mereka menganggap bahwa suami yang
tidak mengizinkan para istrinya untuk bekerja di luar rumah sebagai
salah satu kekerasan dalam rumah tangga (lihat juga pasal 9 ayat 2 UU
No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Tentunya,
kondisi semacam itu seharusnya disikapi secara bijak oleh negara, atas
dasar apa perempuan tidak diizinkan bekerja oleh suaminya? Jikalau
memang istri tidak diizinkan bekerja karena tidak bisa membagi waktunya
antara pekerjaan dan keluarga atau lebih memprioritaskan waktunya untuk
pekerjaan, negara tidak berhak untuk mengkriminalisasi dengan hukuman
penjara selama 3 tahun (lihat pasal 49 poin b UU. No. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga).
Yang
mengherankan, kenapa di negara mayoritas Muslim justru perempuannya
ingin menerapkan suatu paham yang jelas sangat berbeda dengan kultur
bangsanya sendiri? Atau bahkan berbeda dengan nilai-nilai agama yang
dianutnya? Coba kita lihat agama lain, Kristen misalnya, dari jauh-jauh
hari, tepatnya sejak tahun 2006, perempuan Kristen sudah diantisipasi
untuk menghindari gerakan feminism ini dan tidak mengadopsinya (SHINE: Wanita Kristiani Harus Hindari Gerakan Feminisme, 04
Oktober 2006). Bahkan gereja Katolik Prancis juga sudah mewaspadai
bahaya teori gender ini karena teori gender yang diajarkan bertentangan
dengan ajaran Katolik (Gereja Prancis Waspadai Teori Gender, Indonesia Malah Bangga, hidayatullah.com, 29 September 2011).
Sesuai
dengan pasal 28J ayat 2 UUD 1946, atas dasar apapun (baik itu
berdasarkan CEDAW atau Kesetaraan Gender), seseorang yang menjalankan
hak dan kebebasannya harus tunduk pada pembatasan yang telah ditetapkan
oleh undang-undang, termasuk tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
agama.
Oleh karena itu, seharusnya feminisme mazhab Chicago tidak
bisa diterima di Indonesia, karena selain mempunyai kultur yang
berbeda, perempuan Indonesia, khususnya perempuan muslimah tidak punya
pengalaman buruk seperti perempuan Barat. Dengan demikian, tidak salah
jika saya mengatakan gerakan feminisme mazhab Chicago yang radikal dapat
mengancam keutuhan keluarga, khususnya keluarga muslim.
assalamu alaikum... makasih ilmu barunya terus berjuan
BalasHapus