Rabu, 11 April 2012

Wacana Kesetaraan Gender dalam Pandangan Pemuda Muslim

 Oleh:
Muhammad Fauzy*


"Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." Q.S. Al-Anfal 65.




Beberapa pekan ini media massa nasional dihiasi oleh hiruk pikuk demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai elemen komponen bangsa. Belum usai kisruh Hambalang dengan andil petinggi dijajaran Demokrat didalamnya, kini kita kembali disuguhi kebijakan tidak populis yang dilontarkan oleh presiden negeri ini, yakni rencana naiknya harga Bahan Bakar Minyak. Beragam komponen bangsa menyikapinya dengan bermacam aksi, dari yang simpatik hingga anarkis dapat kita saksikan dilayar kaca televisi kita masing-masing.


Sebagai pemuda, saya pun memiliki pandangan terkait dinamika kehidupan yang terjadi dilingkungan sekitar. Goncangan sektor sosial kemasyarakatan mulai nampak semakin tajam ketika pemerintah selaku pengemban amanah dari rakyatnya terkesan acuh bahkan cenderung mengabaikan aspirasi dari rakyatnya. Jika kita cermati secara seksama maka pemerintah negeri ini seperti tengah menikmati irama “anjing menggonggong, tidak menggigit”.


Infiltrasi hegemoni kuffar kian merasuk dalam jantung ummat Islam. Kapitalisme global yang lahir dari rahim postmodernisme bertengger atas nama liberalisasi, kilahnya: tak ada yang tetap, semua bisa disesuaikan dengan menu relativistik. Traumatic Barat yang akut terhadap institusi gereja berupaya diekspor secara massif ke seluruh belahan bumi.


Kisruh rancangan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah persoalan, bagi kita selaku Muslim hal ini perlu dikritisi, apakah memang demikian adanya atau memang “sengaja di ada-adakan” dengan seribu satu macam pembenaran. Muslimin dimanapun berada terlebih lagi selaku da’i harus senantiasa sigap. Fokus kita mesti tajam. Jangan sampai untuk kesekian kalinya kita ditelikung oleh pengecer kapitalistik berkedok wakil rakyat.


Kini, setidaknya terdapat 2 rancangan undang-undang yang tengah digodok di DPR, yakni RUU Perguruan Tinggi (RUU PT) serta RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG). RUU PT sangat kental beraroma materialistik pragmatis. RUU KKG yang didalamnya bersembunyi idiologi feminis jahat berupaya merombak segala hal yang berkenaan dengan peran serta posisi wanita. Meruntuhkan otoritas ulama menjadi rentetan penting dari agenda yang mereka canangkan. Semangat kebencian terhadap laki-laki menjadi pakem sentral yang wajib mereka gaungkan.


Syariat Islam ingin diubah sesuai hasrat nafsu mereka. Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender kini memasuki babak akhir. Bahkan beberapa pekan silam Profesor Neng selaku ahli hukum dari Universitas Indonesia berkesempatan hadir dalam Rapat Umum Dengar Pendapat dengan beberapa anggota dewan. Saat itu beliau mengkritisi secara mendasar terminology bahasa “Kesetaraan dan Keadilan Gender”. Jelas ditinjau dari aspek kearifan local saja nama RUU ini pun menghadapi problem. Jangan dikira suara yang keluar dalam menyikapi RUU KKG ini hanya satu warna. Dinamika yang terjadi pun cukup tajam.


Kesalahan mendasar dari RUU ini dapat kita lihat dari definisi “gender” itu sendiri. Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin kejenis kelamin lainnya. Definisi yang lahir dari framework “kontekstualisasi lokal”. Tak ada asas ke-Tuhan-an dalam RUU KKG, Pancasila pun tak diikutsertakan menjadi bagian dari RUU ini. Yang diizinkan menghiasi etalase asas RUU ini adalah kemanusiaan, keadilan gender, persamaan substantif, non-diskriminasi, perlindungan, pemberdayaan, partisipasi, akuntabilitas dan kesinambungan.


Bagi kita selaku Muslim jelas bahwa masing-masing pihak baik itu wanita maupun pria punya peran dan tanggung jawab masing-masing. Keduanya saling mengisi dan melengkapi. Dalam Islam, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang berbeda. Namun keduanya di hadapan Allah punya posisi yang setara, artinya ketika laki-laki menjalankan tugasnya dengan baik dan perempuan pun demikian maka keduanya akan mendapatkan pahala. Definisi “kesetaraan” dan “keadilan” dalam RUU ini pun mengandung kekeliruan. Segala sesuatunya harus sama dari segi jumlah. Bangsa ini nantinya dipaksa untuk merelakan 30% kaum wanitanya untuk berjibaku dalam ranah publik.


Otomatis perhatiannya terhadap keluarga akan berkurang karena ia dipaksa untuk “berjuang” dalam wilayah public yang menghendaki waktu dominannya bertepi disana. Pertanyaan kita selanjutnya,”Mau dikemanakan 30% anak bangsa yang ditinggal oleh ibunya? Bagaimana dengan 30% anak-anak Indonesia jika ibu mereka aktif di bidang politik dan pemerintahan? Apakah wanita Indonesia telah siap & sanggup menjalankan secara bersamaan kewajiban sebagai pengasuh generasi dengan jaminan sorga dibawah telapak kaki ibu dan wanita sebagai tiang Negara yang bertugas menyanggah secara fisik dan fundamental berbagai sector dalam ruang publik?


Jangan lagi tanya porsi kebersamaan bersama keluarga tercinta. Karena nanti akan banyak terlontar jawaban “Lho saya ini kan sedang berjuang juga”. Inilah penyusupan secara sistematis untuk meruntuhkan institusi keluarga dalam ranah gender.


Ketaatan seorang istri kepada suami merupakan buah dari ketakwaan kepada Allah SWT. Hal ini jelas sangat berbeda dengan paradigma wanita aktivis kesetaraan gender, bagi mereka kata “taat dan berbakti” kepada suami sebisa mungkin dihilangkan dalam kamus kehidupan sehari-hari. Mereka menganggap wanita-wanita yang setia mengurus keluarga dengan penuh cinta kasih berada dalam kungkungan hegemoni laki-laki. Bahkan saya pernah membaca dalam sebuah kisah wanita pegiat kesetaraan gender yang baru saja melahirkan seorang anak dirumah sakit. Wanita tersebut minta kepada perawat diruangannya agar segera menyingkirkan bayi yang baru lahir tersebut dalam dekapannya ketempat yang terpisah. Ia gerah dengan keberadaan sang bayi apalagi ketika diminta untuk menyusuinya. Baginya menyusui itu hal yang menjemukan. Entah apa yang ada dalam benaknya.


Saya pun teringat kisah beberapa tahun silam tepatnya pada tahun 2005 dimana Amina Wadud, seorang feminis liberal sekaligus professor Islamic Studies di Virginia Commonwealth Unversity, menjadi imam sekaligus khatib dalam shalat Jumat yang berlangsung di Gereja Katedral Sundram Tagore Gallery 137 Greene Street New York serta diikuti oleh sekitar 100 jamaah laki-laki dan wanita dalam shaf yang bercampur. Bahkan Muazinnya pun seorang wanita tanpa mengenakan kerudung.


Mengembangkan komunitas homoseksual dan gay bisa menjadi paket dalam konteks kehidupan social bermasyarakat sebagaimana secara impilsit dapat dimainkan pada pasal 7 RUU KKG ini.
Dalam perkembangan wacana RUU ini dari sekian organisasi masyarakat yang hadir saat Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR pada Kamis 15 Maret 2012 hanya Muslimah HTI yang menolak tegas RUU KKG ini.


Saya tidak dapat membayangkan apa jadinya ketika RUU KKG ini nantinya jika sampai disahkan. Struktur tatanan sosial kemasyarakatan akan centang perenang. Sejak usia dini anak-anak harus diajarkan tentang kesetaraan gender sesuai pasal 15 (d). Maka kita akan mudah menyaksikan berkeliarannya homoseksual dan lesbi ditengah masyarakat. Kita tidak diperkenankan menghardiknya apalagi melarang segala aktivitas kelainan seksualnya. Bisa-bisa ‘hotel prodeo’ menjadi tempat yang akan kita singgahi ketika kita melarang mereka hidup satu atap dalam bingkai “rumah tangga”.


Ya, RUU KKG dengan sangat legowo menawarkan pidana kurungan penjara bagi siapapun yang kiranya dirasa melakukan bias gender sebagaimana tertera dalam pasal 70. Muslimin mesti mengawal perjalanan RUU ini. Tentu sinergisitas lembaga dakwah menjadi katalisator kuat untuk menekan bahkan jika memungkinkan menghapus RUU KKG ini.


*Penulis aktif di Divisi Pendidikan INSISTS & Kaderisasi Tim FAKTA. Saat ini tengah belajar tentang kuttab & menempuh pendidikan S1 jurusan Pendidikan Luar Sekolah UNJ.


sumber:  http://www.facebook.com/notes/muhammad-fauzy/wacana-kesetaraan-gender-dalam-pandangan-pemuda-muslim/10150676998888101

1 komentar:

  1. Saya merinding baca tulisan ini....kelihatan bahwa segala carut marut keadaan negeri ini berawal dari sini

    BalasHapus